Aceh Besar Terancam Krisis Air Bersih

Udara sejuk sangat terasa ketika berada di kolam penampungan Mata Ie, yang berlokasi di dekat Markas Resimen Induk Kodam Iskandar Muda, Gampong Geundrieng, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Kolam ini berada di lereng bukit yang ditumbuhi banyak pohon rindang. Kolam itu juga sering dinamai kolam zamrud karena memiliki air yang begitu bening, bersih, dan berwarna hijau kebiruan.

Jumat, 2/9/2023 lalu, media ini mengunjungi lokasi tersebut. Disana terlihat banyak pengunjung yang berdatangan. Ada yang berenang, duduk santai di kios deretan kolam sambil menikmati mie, dan ada juga ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian.

Salah satu pengunjung bernama Ami (30) saat dijumpai mengatakan sangat bersyukur karena kolam penampungan Mata Ie sudah  kembali berair. Dirinya menceritakan bulan lalu sangat kewalahan saat harus mencuci pakaian kotor, karena di rumahnya pun tidak memiliki sumber air bersih.

“Sumur di rumah kemarin itu juga mengalami kekeringan, gak ada air. Kalau ada pun sangat keruh. Makanya saya sangat kewalahan ketika kolam Mata Ie kering. Sekarang saya senang, karena  kolam Mata Ie sudah memiliki air kembali,” ujarnya. 

Namun kondisi itu berbeda pada Juli 2023 lalu.  Kolam penampungan Mata Ie kering total. Tanah retak terlihat di sepanjang kolam, hanya ada batu kerikil, sampah plastik, dan daun kayu. Pemandangan lain nampak pada saluran pipa yang terhubung ke atas bukit, hampir dimakan karat dan berlumut. Tak hanya itu, warung-warung berjejeran di pinggir kolam pun sepi tanpa pengunjung.

Kekeringan sumber mata air di Aceh besar sudah sering terjadi. Hal ini diakui oleh salah satu warga Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar bernama Nurul (27).  Ia mengaku dalam beberapa tahun terakhir tidak dapat menikmati air bersih.

“Sejak 2017 sudah terjadi kekeringan di kolam Mata Ie, bahkan sempat beberapa kali pemerintah Aceh Besar dan masyarakat melakukan shalat minta hujan. Padahal dahulu tidak pernah terjadi kekeringan walaupun pada saat musim kemarau,” katanya.

Aktivis karst yang juga ahli Speleologi (ilmu tentang gua) Aceh, Abdillah Imron Nasution, menyebutkan bahwa Mata Ie,  yang dulunya mata air tipe yang mengalir sepanjang tahun (perineal) kini telah berubah menjadi mata air yang tergantung hujan (intermitten). “Sekarang fungsinya Mata Ie saat ini hanya sebagai penampung temporer,” ungkapnya.

Perubahan karakteristik sumber air bersih, Mata Ie, adalah salah satu dari ancaman krisis air bersih di Aceh Besar. Selain debit air Mata ie yang sekarang bergantung pada hujan, warga di dusun Desa Naga Umbang, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, juga mengalami krisis air bersih.

Keterangan: para ibu-ibu sedang mencuci pakain di aliran kolam penampungan Mata Ie ( Jumat, 2/9/2023) Foto: Cut Mery.

“Air sumur masyarakat masih ada yang kotor, berminyak, bau, dan bahkan belakangan ini sering kering. Masyarakat mengalami krisis air bersih karena tidak layak konsumsi sehingga warga harus mengangkut air dari tempat lain,” ujar Yenni, salah satu warga desa pada media ini, Rabu, 18 Oktober 2023.

Rusaknya Kesatuan Sistem Karst Aceh Besar

Direktur Deputi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh Nasir Buloh, mengatakan krisis air bersih yang menimpa Aceh Besar disebabkan oleh terganggunya sistem karst di wilayah tersebut. “Di Aceh Besar struktur lahan berupa gunung yang didalamnya merupakan kawasan karst yang terhubung satu sama lain. Ketika kesatuan karts itu terdampak?, maka akan mempengaruhi kesatuan lainnya,” katanya.

Menurutnya, penambangan batu gamping yang dilakukan oleh PT  Solusi Bangun Andalas (SBA) adalah salah satu faktor yang mengganggu keseimbangan lingkungan di Aceh Besar. Berdasarkan laporan yang diterima Walhi Aceh,  warga yang berada sekitar pabrik semen, sering mengeluh krisis air. Jangankan bertani, untuk kebutuhan sehari-hari tidak cukup. Malahan, air-nya berwarna kuning bercampur minyak (limbah pabrik).

“Saat kita turun ke lokasi warga bilang tidak ada air. Seperti di Gampong Naga Umbang dan sekitarnya. Mereka mengeluh kualitas air di sana berwarna kuning, berminyak, dan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari,” sebutnya.

Menurut Nasir, seharusnya pihak perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan tersebut dan bersama dengan pemerintah mencari solusi pemulihan lingkungan melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) membuat program atau pengadaan agar masyarakat tidak mengalami krisis air.

“Karena masyarakat sekitar pun menyadari faktor krisis air akibat aktivitas pabrik yang ada di Aceh Besar,” ungkapnya.

Keterangan : Kondisi gunung yang memprihatinkan akibat aktivitas PT SBA yang terus mengeruk batu gamping sebagai bahan baku pembuatan semen. Foto by : Junaidi Hanafiah

Bukan hanya berdampak hilangnya ekosistem air bersih, sebagian rumah warga Naga Umbang juga mengalami keretakan, dan sumur ambles akibat aktivitas pabrik semen yang melakukan blasting atau peledakan.

Kegiatan penambangan PT SBA, menurut Nasir, juga berkontribusi terhadap perubahan karakteristik Mata Ie. Ia menjelaskan, kekeringan yang terjadi di Aceh Besar harus di lihat dari  kesatuan lanskap atau bentang lahan. Berbicara kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS) harus dilihat secara utuh dari kondisi hulu, tengah, sampai hilir-nya.

“Jadi semuanya saling berhubungan antara Mata Ie sampai Lhoknga,” ujar Nasir.

“Dengan sendirinya pada saat Mata Ie yang menjadi sumber air bersih bagi warga Banda Aceh dan Aceh Besar ikut mengering. Sewaktu-waktu terjadi kekeringan Walhi menduga juga akibat dari aktivitas pertambangan yang dilakukan PT SBA,” tambah Nasir.

Tanggapan PT SBA” Pengelolaan Sumber Daya Alam  untuk Kemajuan Daerah

Fakta tersebut juga disampaikan oleh Yeni, warga Desa Naga Umbang, Kecamatan Lhoknga Aceh Besar. Ia bersama masyarakat lainnya pun, berulang kali meminta pertanggungjawaban  pada pihak PT SBA.

“Sekitar tiga atau empat tahun lalu pernah  dilaporkan dan kita melakukan pertemuan dengan CSR PT SBA. Mereka juga menghadirkan konsultan, namun upaya yang mereka ambil adalah memperbaiki pipa PDAM, tapi sampai saat ini tidak terjawab persoalan di Naga Umbang,” katanya. 

Parahnya, dampak yang disebabkan oleh perusahaan bukan hanya kekeringan, namun juga merembes pada dinding rumah warga sekitar tambang.  Rumah warga mengalami keretakan dan sumur ambles akibat aktivitas pabrik semen yang sering melakukan blasting atau peledakan.

Secara terpisah media ini mengirim email berupa sejumlah pertanyaan kepada pihak PT Solusi Bangun Andalas pada, Rabu, 13 Oktober 2023.

Dari hasil wawancara tertulis tersebut, Head of Media PT SBA Faraby Azwany, menjelaskan pabrik semen tersebut memiliki izin operasional perusahaan yang sah dan juga dokumen AMDAL yang diperbaharui sejak tahun 2006, 2015, dan terakhir di tahun 2021.

Lebih lanjut Faraby mengatakan, selama ini perusahaan telah melakukan monitoring udara sesuai ketentuan yang ditentukan oleh regulasi PermenLHK No. 19 tahun 2017, dengan hasil pengukuran emisi dibawah nilai ambang batas. SBA juga memiliki alat monitoring emisi udara yang sudah terintegrasi ke KLHK sehingga KLHK bisa langsung memonitornya secara real time.

“PT Solusi Bangun Andalas (SBA) senantiasa menjalankan bisnis dan operasional dengan memastikan kesehatan dan keselamatan bagi karyawan, kontraktor, dan warga masyarakat di sekitar lingkungan operasional, dengan mematuhi seluruh peraturan dan hukum yang berlaku,” jelas Faraby.

Terkait warga Kecamatan Lhoknga khususnya di Desa Naga Umbang, mengeluh krisis air, air kuning, dan berminyak, pihak perusahaan mengaku tidak tahu. “Mohon informasinya kapan keluhan ini terjadi? Kami sangat terbuka untuk berkomunikasi dengan warga untuk mengetahui persis masalahnya dan mencapai solusi".

Faraby menyebutkan, di dalam lokasi tambang SBA terdapat satu gua yaitu; “Gua Weung Dalam” dengan kondisi yang masih utuh namun sudah tidak aktif.  Walaupun “Gua Weung Dalam” masuk dalam wilayah tambang, namun Faraby mengatakan pihaknya berkomitmen tidak melakukan aktivitas penambangan apapun di area tersebut dan SBA senantiasa menjaga keutuhan dan kealamian gua.

“Adapun pola pelestarian gua yaitu dengan menentukan buffer zone/batas aman dari aktivitas penambangan (tidak ditambang) dan Memasang rambu informasi kawasan gua,” ungkapnya.

Demikian pun, keberlanjutan PT SBA di Aceh Besar tanpa dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan selalu menjadi harapan suatu perusahaan. Sumber daya alam dalam hal ini bahan baku pembuatan semen menjadi salah satu faktor kunci untuk dapat dikelola serta dimanfaatkan dengan bijak.

“Yang tidak kalah penting adalah kondusifitas iklim investasi di suatu daerah dalam hal ini Aceh, agar perusahaan dapat mengembangkan bisnisnya sehingga memberi dampak serta kontribusi positif kepada kemajuan suatu daerah,” tegas Faraby.

 Pentingnya Menyelamatkan Karst Aceh Besar

Ketua Wahana Lingkungan (Walhi) Aceh Nasir Buloh mengatakan penyelamatan karst Aceh Besar penting dilakukan untuk mempertahankan ekosistem air.

Kata Nasir, PT SBA harus bertanggung karena telah merusak sumber air yang menyebabkan hilangnya air bersih bagi masyarakat Aceh Besar dan Banda Aceh. dalam hal ini , pemerintah dan perusahaan harus mengambil sikap tegas  dalam penyelamatan lingkungan dengan cara melakukan kolaborasi.

“Adanya kolaborasi kebijakan-kebijakan untuk melindungi kawasan yang sisa atau kawasan resapan air, baik di Lhoknga dan Mata ie,” ungkapnya.

Penyelamatan terpadu, kata Nasir, dapat ditempuh dengan cara pemulihan lingkungan maupun perbaikan kawasan yang telah rusak menggunakan dana CRS yang dimiliki PT SBA, agar masyarakat dapat memenuhi air bersih untuk keberlangsungan kehidupan.

Tulisan ini dilaksanakan atas dukungan Society Indonesia Scinence Jounalism (SISJ), CNN Indonesia Academy, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di iNews Lhoksumawe

Previous
Previous

‘Ambon Keringe’ Krisis Air di Kota Ambon dan Hilangnya Wilayah Resapan

Next
Next

Perang Tak Imbang Warga Pulau Pari Melawan Krisis Iklim