Ibu dan Anak, Mereka yang Tersingkir dan Terbenam dalam Kepulan Asap
Kepulan asap hitam tampak membumbung dari belakang atap SDN Suralaya dan SDN Kahal. Tampak persis dari bangunan depan dua sekolah tersebut, asap hitam pekat meluncur dari tiga cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Maklum saja, jarak dari kawasan PLTU Suralaya ke SDN Suralaya dan SDN Kahal hanya sekitar 2,4 kilometer.
Asap pekat meluap ke udara itu jelas berdampak ke lingkungan sekitar. Salah satu yang langsung terlihat, debu yang menempel di rumah, mobil, dan tembok sekolah.
Pukul 09.00 WIB. Anak-anak sekolah dasar tampak berkeliaran membeli jajanan cilok, seblak, bubur ayam, siomay, dan es kelapa.
“Yang paling cantik di kelas saya, namanya Amel,” begitu ujar Okta (8), salah seorang siswa kelas tiga SDN Suralaya pada Prohealth.id, Selasa (28/11/2023).
Hari itu, Okta bersama lima orang teman lain sedang istirahat. Mereka sesekali bercanda dengan sesama kawan lain di halaman depan sekolah.
Dari jarak dekat Prohealth.id, mencoba mengukur tinggi badan Okta dan dua kawan laki-lakinya sekitar tengkuk penulis yang punya tinggi 160 cm. Artinya, tinggi tiga anak ini masih di bawah rata-rata karena kurang dari 115 cm. Sementara, tinggi tiga teman Okta yang lain mencapai lebih 120 cm. Berat badan Okta juga di bawah rata-rata. Dua puluh lima kilogram.
Tak hanya Okta, anomali tumbuh kembang juga dialami Aldo, anak laki-laki berusia 3,5 tahun yang lahir dan besar di Suralaya. Menurut ibu Aldo, Jemima (bukan nama sebenarnya), Aldo rajin makan-makanan bergizi.
Aldo juga tidak memiliki masalah nafsu makan. Favorit Aldo antara lain sayur-sayuran, ayam, dan ikan goreng. Aldo juga mendapatkan asupan air susu ibu (ASI) eksklusif serta sudah mendapat imunisasi rutin lengkap.
Semasa hamil, Jemima mengakui tidak mengalami kendala apapun. Ia mengonsumsi makanan sehat sesuai anjuran kader posyandu selama proses kehamilan. Setiap kunjungan cek kesehatan, ia juga dibekali tablet penambah darah.
“Selama hamil saya makan ikan, telur, sayur-sayuran dari kebun. Kayak sayur singkong, kangkung. Kalau bayam jarang saya (konsumsi). Susu juga saya tidak minum, waktu hamil saya coba, tidak cocok. Malah mual,” ungkap Jemima.
Namun, sebelum persalinan, Jemima mengaku sempat bolak-balik puskesmas selama satu pekan. Ketika masuk proses persalinan, kondisi Jemima menurun sehingga mau tak mau harus dirujuk ke RS Panggung Rawi di Kota Cilegon.
Aldo lahir dengan berat badan awal 3,2 kg. Jemima merasa tak ada masalah dengan Aldo, mengingat sang putra sudah bisa berjalan pada usia 1,5 tahun.
Berat badan Aldo kemudian cenderung fluktuatif sepanjang tahun 2022. Berkisar 10-11 kilogram.
“Ini turun [berat badan] karena sakit panas dan pilek,” kata Jemima kepada Prohealth.id pada (27/11/2023).
Barulah sekarang berat badan Aldo mencapai 12,3 kg pada Juli 2023, dan per November 2023 sudah mencapai 13 kg.
Di buku Kesehatan Ibu dan Anak yang selalu dibawa Jemima saat cek rutin posyandu, Prohealth.id melihat hanya perkembangan berat badan Aldo yang kerap tercatat. Sementara, catatan mengenai rekam jejak pertumbuhan tinggi badannya sama sekali tidak ada.
Kondisi Aldo dan Okta mencerminkan eksisnya potensi risiko masalah kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah tercemar. Dikutip dari World Health Organization (WHO), tinggi badan anak laki-laki usia 8 tahun seharusnya sekitar 116-120 cm, sementara berat badan anak laki-laki usia tersebut minimal 26 kg. Sementara untuk anak usia 36 bulan-48 bulan atau setara 3-4 tahun, berat badan anak laki-laki adalah 14,3 kg.
Kondisi ini patut diperhatikan mengingat data dari WHO, UNICEF, dan World Bank pada 2021 menunjukkan bahwa masalah tumbuh kembang anak, disebut dengan stunting, merupakan jenis malnutrisi yang paling banyak ditemukan pada balita, yaitu 144 juta balita stunting di seluruh dunia. Data itu juga menyebut, sebanyak 53 persen kasus stunting berada di Asia.
Dikutip dari dokumen; Petunjuk Teknis Berbasis Bukti: Diagnosis dan Tata Laksana Stunting Secara Komprehensif untuk Dokter Spesialis Anak, terbitan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), stunting mendapat perhatian khusus secara global karena merupakan pertanda adanya kekurangan gizi untuk pertumbuhan otak. Berakibat pada penurunan fungsi kognitif, dan terjadinya perubahan program metabolisme zat gizi makro sehingga lemak terakumulasi dan berdampak ke peningkatan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung koroner, dan lain-lain.
Petunjuk teknis itu menyebut, kedua dampak terakhir mempunyai konsekuensi jangka panjang bagi negara. Kualitas sumber daya manusia rendah yang berpotensi menghambat kemampuan suatu bangsa untuk bebas dari kemiskinan.
Indonesia, pada 2022 tercatat sebagai negara ke-4 penyumbang balita stunting terbesar setelah India, Nigeria, dan Pakistan. Dampak pada kualitas kognitif terlihat dari data OECD tahun 2018. Remaja Indonesia menempati urutan ke-71 dari 77 negara untuk skor sains, matematika, serta membaca.
Tingginya angka stunting berdampak pada Human Capital Index Indonesia yang menunjukkan bahwa seorang bayi yang lahir di Indonesia hanya mampu mengembangkan 53 persen potensinya di bawah rerata Asia Tenggara.
Stunting adalah penyakit yang membutuhkan kompetensi dokter spesialis anak, baik untuk diagnosis maupun tata laksana, agar tidak overdiagnosis dan overtreatment. Sayangnya, sejak diumumkan tentang kondisi stunting pada 2007, penanganan stunting tidak pernah melibatkan dokter apalagi dokter spesialis anak.
“Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika penurunan angka stunting sangat lambat,” tulis IDAI dalam dokumen juknis tersebut.
Dokter spesialis anak yang tergabung dalam IDAI baru terlibat dalam pencegahan stunting secara nyata dalam penyusunan naskah ilmiah antropometri anak dan remaja. Naskah ilmiah itu mendasari terbitnya Permenkes No. 2 Tahun 2020 yang secara resmi mewajibkan pengukuran panjang/tinggi badan balita dalam pemantauan pertumbuhan di masyarakat.
Menurut Dokter Spesialis Anak Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), perlu kehati-hatian dalam mendiagnosa gejala stunting pada anak. Secara umum, stunting memang diawali dengan tanda tinggi badan yang di bawah standar deviasi grafik dari WHO. Namun, indikator lainnya adalah kekurangan gizi kronik, dan ini adalah ciri yang kerap diabaikan orang tua dan masyarakat secara umum.
“Jadi, intinya adalah, tidak semua balita pendek itu stunting karena yang stunting itu disebabkan oleh kekurangan gizi kronik. Disebut juga nutritional stunting,” ujar dr. Damayanti yang disiarkan dalam Youtube IDAI pada Januari 2023 memperingati Hari Gizi Nasional.
Ia menyebutkan, ada dua faktor utama anak menjadi kekurangan gizi. Pertama, karena asupan tidak adekuat (mencukupi kebutuhan zat gizi yang diperlukan bayi). Kondisi ini bisa karena faktor kemiskinan keluarga, atau juga karena faktor ketidaktahuan orang tua. Kedua, masalah gizi kronik bisa disebabkan karena anak yang sering sakit, entah karena diare atau penyakit menular lainnya.
“Jadi penyebabnya dari penyakit tidak menular ini, misalnya yang menyebabkan batuk. Maka penting imunisasi, ini bisa diatasi,” tuturnya.
Penyumbang lain kasus stunting karena gizi kronik biasanya dari bayi yang lahir prematur, bayi dengan alergi metabolisme tambahan, dan tidak pernah ditangani secara khusus.
“Jadi, kenaikan berat badan tidak adekuat itu bisa terlihat. Kalau bayi naik minimal per bulan 750 gram. Tapi dia cuma naik 600 gram, itu sudah weight faltering. Kalau dibiarkan, berat badannya akan di bawah dua deviasi dan jadi underweight. Daya tahan tubuh anak menurun, jadi gizi kurang dan gizi buruk.”
Polusi Picu Penyakit Ibu dan Anak
Suralaya sebagai salah satu wilayah yang terpapar langsung dengan polusi akibat asap pembakaran PLTU, masuk dalam Kecamatan Pulomerak, bagian dari Kota Cilegon.
Riset mengenai dampak kesehatan (HIA) oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang diluncurkan pada September 2023 lalu menemukan, polusi udara dari kompleks PLTU batubara Suralaya berdampak buruk terhadap kesehatan.
Dalam riset disebutkan, pembakaran batubara seperti di kompleks PLTU Suralaya menimbulkan polusi udara yang terdiri dari partikel halus PM2.5, nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan ozon (O3), yang semuanya dapat menyebar dalam jarak jauh dan menyebabkan penyakit pada manusia, mulai dengan gejala awal batuk kronis.
Di Indonesia, rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan terkadang melebihi 50 μg m-3, yang dengan kata lain melanggar pedoman WHO terkait batas tahunan sebesar 5 μg m-3, dengan faktor 10.
Dalam temuannya, CREA menyebutkan polusi udara dari kompleks PLTU Suralaya berpotensi menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun.
Tak hanya itu, perempuan hamil di wilayah yang terdampak juga sangat rentan terhadap masalah kesehatan. Polusi udara dari kompleks PLTU Suralaya menyebabkan 936 kelahiran prematur, dan 612 bayi lahir dengan berat badan lahir rendah.
Selain itu, PM2.5 dan NO2 juga merusak sistem pernapasan, sehingga emisi yang dikeluarkan dari kompleks ini menyebabkan 1.790 kunjungan ke unit gawat darurat asma dan 1.010 kasus asma baru.
Kondisi ini selaras dengan data dari Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun 2022, khusus di Kecamatan Pulomerak. Kecamatan Pulomerak memiliki cakupan penanganan neonatal dengan komplikasi tertinggi dibandingkan kecamatan lain di Kota Cilegon.
Neonatal dengan komplikasi, adalah neonatal dengan penyakit dan atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR, sindrom gangguan pernapasan, dan kelainan kongenital maupun yang termasuk klasifikasi kuning dan merah pada pemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM).
Komplikasi inilah yang menjadi penyebab kematian terbanyak yaitu asfiksia, bayi berat lahir rendah, dan infeksi. Komplikasi ini sebetulnya dapat dicegah dan ditangani, tetapi terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan, hingga kemampuan tenaga kesehatan.
Masalah tumbuh kembang anak juga dibuktikan dengan temuan dari data Dinas Kesehatan Kota Cilegon bahwa Kecamatan Pulomerak menempati posisi kedua, persentase terbanyak balita dengan berat badan sangat kurang dan kurang pada usia 0-59 bulan.
Faskes Belum Optimal
Untuk mengetahui aktivitas peninjauan tumbuh kembang anak di Suralaya dan sekitarnya, Prohealth.id mengunjungi posyandu dan puskesmas.
Informasi yang Prohealth.id dapatkan dari salah satu warga asli Suralaya, Edi Suriana, menyatakan bahwa Puskesmas yang tersedia di Suralaya saat ini adalah Poliklinik Desa. Poliklinik itu binaan badan usaha milik negara (BUMN) PT Indonesia Power, Unit Pembangkitan Suralaya bersama UPTD Puskesmas DTP Pulomerak.
Sesampainya di lokasi Poliklinik Desa sekitar pukul 14.30 WIB, Prohealth.id tidak menemukan aktivitas apapun dalam poliklinik tersebut. Tidak ada pula papan informasi praktik dokter atau tenaga medis lain. Kosongnya aktivitas di poliklinik tersebut diakui Edi merupakan tanda malafungsinya fasilitas kesehatan untuk warga Suralaya.
“Di sini memang tidak ada kegiatan apa-apa,” ungkap Edi. Kondisi ini terbukti ketika Prohealth.id mencoba mengecek bagian depan poliklinik yang tampak tidak terawat dengan baik. Debu yang pekat dari sisa asap PLTU tampak membekas di bangku depan poliklinik dan jendela ruangan.
Saat dikonfirmasi oleh tim Prohealth.id, Sekretaris Perusahaan PLN Indonesia Power Agung Siswanto membenarkan adanya poliklinik binaan Indonesia Power di wilayah PLTU Suralaya. “Poliklinik melayani pegawai, sepertinya tidak ada aktivitas tapi berjalan,” terang Agung melalui pesan singkat pada Kamis, (23/12/2023).
Agung juga menambahkan bahwa poliklinik tersebut tidak eksklusif untuk pegawai Indonesia Power saja, tetapi poliklinik umum. Sehingga seharusnya poliklinik tersebut difungsikan sebagai fasilitas kesehatan untuk masyarakat setempat.
Sementara itu, Samanah, pejabat Kecamatan Pulomerak tak berkomentar banyak saat diminta tanggapannya mengenai kondisi kekosongan fasilitas kesehatan dan temuan anak-anak berpotensi mengalami masalah kesehatan dan tumbuh kembang di Suralaya.
Perempuan yang menjabat Kepala Seksi Perekonomian dan Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Pulomerak ini beralasan, poliklinik di wilayah Suralaya sudah memiliki penanggung jawab sendiri karena merupakan binaan perusahaan.
Ia lalu berdalih, selama ini selalu ada pendampingan teknis dari kader kesehatan untuk menjaga kesehatan masyarakat di Suralaya dan kelurahan lain di wilayah Pulomerak. Ia juga menyebut, setiap kelurahan punya otoritas dalam melayani masyarakat.
“Teknis kesehatan itu ya di Puskesmas. Kami tidak bisa intervensi,” tutur Samanah saat bertemu dengan Prohealth.id di kantornya pada 28 November 2023.
Ia menambahkan, selama ini stunting menjadi fokus utama pemerintah kota dan kecamatan.
Samanah menyebut, beberapa kelurahan di wilayah Kecamatan Pulomerak sangat masif dalam menggencarkan penurunan prevalensi stunting dan gizi buruk. Salah satunya Kelurahan Lebak Gede.
Sementara untuk wilayah Kelurahan Suralaya, Samanah menyampaikan bahwa pencatatan kasus stunting tidak ada karena rasio penduduknya dinilai tidak sepadat kelurahan lain.
“Di Suralaya memang tidak ada yang mendata ada stunting. Jadi ya, aman-aman saja. Secara data begitu, tapi tak menutup kemungkinan kelurahan lain seperti Mekarsari, Tamansari, itu ada [kasus stunting],” tutur Samanah.
Ia bahkan optimis dengan kucuran dana yang meningkat untuk mengatasi stunting, serta dana operasional untuk kader posyandu, maka wilayah Pulomerak bisa segera zero stunting pada tahun depan.
Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan ISN Lab by Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan didukung Google News Initiative (GNI).
Liputan ini sebelumnya telah terbit di Prohealth.id