Primadona Jagung Bikin Hutan Kritis

Petani seolah sedang euforia komoditi jagung. Lahan pertanian kebun disulap jadi lahan jagung. Kawasan hutan tak luput dari sasaran petani. Hutan lindung diubah menjadi area perladangan jagung.

Pemandangan memprihatinkan tersaji di wilayah Kecamatan Donggo dan Soromandi. Kawasan hutan dengan kontur perbukitan hingga pegunungan kini disulap jadi lahan jagung.

Pantauan Lombok Post, pada jalur kiri dan kanan jalan raya Soromandi-Donggo telah dipagari warga. Di dalam pagar, terlihat lahan yang  baru  selesai digarap untuk persiapan tanam.

Tak hanya pada lahan dataran, tanah dengan kemiringan mencapai 60 hingga 90 derajat dijadikan areal ladang jagung. Nyaris tak terlihat hutan rimbun dengan pohon-pohon lebat. Hanya tersisa pohon keras seperti asam. Sementara, di wilayah Donggo hanya terlihat beberapa pohon kemiri dan jati. Itupun di beberapa titik saja.

Salah seorang petani di Kecamatan Donggo Jihad mengakui jika tanaman jagung menjadi primadona saat ini. Karena menurut mereka sangat menguntungkan. Terlebih lagi, harga jagung kian naik. ’’Sebagian besar kami petani memilih tanam jagung. Lebih menguntungkan dan biayanya hemat bila dibanding padi atau kedelai,’’ aku Jihad saat ditemui di ladangnya di wilayah Donggo.

Harga jagung yang tinggi membuat petani tergiur. Pada panen raya pertengahan tahun ini, harga terendah jagung kering mencapai Rp 4.200 per kilogram. Hasrat petani menanam jagung kian tinggi, mengingat harga jagung sekarang mencapai Rp 5 ribu hingga Rp 5.700 ribu per kilogram. ’’Pemasaran juga mudah kalau jagung. Begitu selesai panen, sudah ada yang datang beli,” ungkapnya.

Jihad tidak mengetahui lahan jagungnya sekarang ini masuk kawasan hutan lindung atau tidak. Dia mengakui hanya menyewa lahan per tahun dengan harga jutaan rupiah dari warga pemilik lahan. ’’Dulu memang hutan di sini. Tapi dari tahun ke tahun sudah dijadikan ladang jagung,’’ ujarnya.

Perluasan lahan jagung ini berimbas buruk terhadap hutan. Perladangan secara masif dari tahun ke tahun membuat hutan terkikis. Bayangkan, tiap tahun kerusakan hutan mencapai 200 hektare.

Perladangan untuk tanaman jagung menjadi penyumbang terbesar kerusakan hutan. Para petani membuka ladang baru pada lahan yang curam. Parahnya lagi, sebagian petani nekat membuka lahan tanaman jagung pada hutan tutupan negara. Pohon-pohon berusia puluhan tahun ditebang hingga tak tersisa. Gunung semulanya gundul kini sudah dicukur botak.

Petani biasanya membuka lahan baru menjelang musim hujan. Lahan yang selama ini tak tersentuh garapan menjadi incaran mereka.

Jelang musim tanam ini, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB mencatat, peyumbang terbesar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) disebabkan ulah manusia. Salah satunya, pembersihan lahan dengan pembakaran menyambut musim hujan

’’Kesengajaan dan kelalaian manusia sering menjadi penyebab adanya karhutla,’’ kata Kabid Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam DLHK NTB Mursal.

Perambahan hutan secara masif terjadi sejak 2017 lalu. Itu sejak petani yang semula menanam padi beralih ke jagung. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bima Jaidun mengenang kondisi hutan tahun 2016 sebelum terjadi perambahan hutan secara besar-besaran. Dia mencontohkan wilayah Parado. ’’Dulu, hutan Parado masih sangat hijau dan lebat,’’ katanya.

Memasuki tahun 2017, petani beralih menanam jagung. Hutan yang dulunya hijau dijadikan ladang jagung. Puncak perambahan hutan di tahun 2019 hingga sekarang ini. Parado yang dulunya memiliki kawasan hutan seluas 18.000 hektare kini hanya tersisa 5.000 hektare saja. ’’Khusus Parado, hutan yang dijadikan lahan jagung mencapai 13. 000 hektare,’’ sebutnya.

Kepala DLHK NTB Julmansyah menyebut, Bima dan Dompu memiliki 202 ribu hektare kawasan hutan. Dari luasan hutan itu, sebanyak 58 ribu hektare lahan sudah menjadi lahan jagung.

’’Secara keseluruhan dari 400 ribu hektare lebih kawasan hutan di wilayah NTB, 190 ribu hektare sudah ditanami jagung,’’ katanya.

Kondisi hutan yang kian kritis ini disoroti Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Achmad Sukisman Azmi. Ketua Dewan Jagung Nasional ini meminta kepada petani agar memperhatikan kemiringan tanah yang dijadikan lahan menanam jagung. "Kita menganjurkan di atas 20 derajat kemiringannya, di sini 40 derajat akibatnya terjadi longsor," terang Sukisman.

Kerusakan Hutan 200 Hektare Tiap Tahun

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB mencatat, laju kerusakan hutan di NTB mencapai 60 persen dari total kawasan hutan 1.071.722 juta hektare. Direktur Walhi NTB Amry Nuryadin, laju kerusakan hutan NTB lebih dari setengah itu disebabkan beberapa faktor. ’’Misalkan aktvitas pertambangan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan pariwisata,’’ katanya. 

Berdasarkan data DLHK NTB, luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan tahun 2016 mencapai 578.645,97 hektare atau sekitar 29 persen dari luas wilayahnya. Luas lahan kritis terluas berada di Kabupaten Bima dengan luas lahan kritis 161.120,5 hektare.

Sementara, pada tahun 2018 luas perambahan hutan mencapai 131.990,87 hektare. Sementara pada 2020, luas lahan kritis di dalam dan luar kawasan hutan mencapai ratusan ribu hektare. Dengan rincian, lahan sangat kritis 23.218,61 hektare; kritis 154.538,31 hektare; agak kritis 400.730,46 hektare, dan potensial kritis 1.275.700,48 hektare.

Perambahan hutan lindung untuk ladang jagung di NTB.

Sementara, lahan hutan yang gundul terindikasi dirambah masyarakat untuk tanaman semusim seperti jagung seluas 96.238,24 hektare. Tersebar di Lombok Barat 12.330 hektare, Lombok Tengah 6.686 hektare, Lombok Utara 4.299 hektare, Lombok Timur 9.002 hektare, Sumbawa Barat 53 hektare, Sumbawa 30.291 hektare, Dompu 16.690 hektare, Bima 15.790 hektare dan Kota Bima 1.093 hektare.

“Semua sudah menyentuh hutan lindung dan sampai ke kawasan konservasi. Sebenarnya tidak ada masalah dengan jagung, yang masalah ketika jagung masuk ke kawasan hutan,” kata Kepala Dinas LHK NTB Julmansyah.

Dia menerangkan bahwa keuntungan ekonomi membuat masyarakat kalap. Ditambah dengan pabrik pengering jagung yang berada di tepi hutan. ’’Sektor pertanian menegasikan kehutanan,’’ ujarnya.

DLHK NTB mencatat ratusan ribu hektare lahan kritis berada di dalam maupun luar kawasan hutan tahun 2023. Kawasan hutan gundul seluas 96.238,24 hektare dan tersebar di sembilan kabupaten. Dengan rincian, Lombok Barat 12.330 hektare, Lombok Tengah 6.686 hektare, Lombok Utara 4.299 hektare, Lombok Timur 9.002 hektare, Sumbawa Barat 53 hektare, Sumbawa 30.291 hektare, Dompu 16.690 hektare, Bima 15.790 hektare, dan Kota Bima 1.093 hektare.

’’Lahan kritis tersebut akibatnya maraknya aktivitas perambahan kawasan hutan untuk tanaman musiman seperti perkebunan jagung. Kerap terjadi di Bima, Dompu, dan Kabupaten Sumbawa bagian timur,’’ jelas Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Rehabilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas LHK NTB Lalu Saladin Jufri.

Masyarakat merambah kawasan hutan dalam pengembangan perkebunan jagung setempat. Mayoritas terjadi di Pulau Sumbawa seperti Kabupaten Sumbawa bagian timur, Bima, Kota Bima, dan Dompu. Menurutnya, masyarakat mencari keuntungan instan dengan menanam jagung dibandingkan komoditas lainnya. ’’Keuntungan yang diperoleh hanya dalam kurun waktu beberapa bulan saja,’’ ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah pusat menargetkan NTB sebagai sentra produksi jagung nasional. Persoalannya, pemerintah menargetkan produksi panen tinggi hingga 10 kali lipat dari luasan lahan tersedia. ’’Persoalan tersebut yang akhirnya membuat masyarakat akhirnya merambah kawasan hutan,’’ ujarnya.

Pemprov NTB sebenarnya tidak tinggal diam dalam menyikapi perambahan hutan. Namun keterbatasan jumlah personel petugas kehutanan menjadi kendalanya. Sehingga praktik perambahan hutan sulit dikendalikan.

Beberapa tahun lalu, petugas kehutanan dikeroyok warga saat berupaya menghentikan perambahan hutan. "Petugas dikeroyok kalau ke sana. Polhut dikeroyok gara-gara menghentikan perambahan hutan," jelasnya.

Di era Gubernur NTB Zulkieflimansyah  melakukan moratorium penebangan dan peredaran hasil hutan kayu di wilayah NTB. Hal tersebut sesuai Instruksi Gubernur Nomor: 188.4.5-75/Kum Tahun 2020 tanggal 18 Desember 2020 yang ditindaklanjuti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan surat Nomor 522/02/PH/DISLHK/2021 yang ditujukan ke Kepala Balai KPH/Tahura se-NTB.

Moratorium penebangan dan peredaran hasil hutan kayu tersebut dilakukan melihat situasi dan kondisi saat ini serta berdasarkan kajian dan pemantauan di lapangan. Tindak perusakan hutan semakin mengkhawatirkan.

Perladangan liar, kebakaran hutan serta tindak perusakan hutan akibat pembalakan liar, menyebabkan ekosistem kawasan hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya mengalami kerusakan yang cukup parah. Sehingga  kondisi hutan di NTB berada pada taraf darurat illegal logging.

Sehingga perlu mengambil langkah segera guna mengatasi kondisi tersebut dengan menertibkan peredaran hasil hutan kayu. Dan memutus mata rantai peredaran kayu ilegal antar pulau. Serta memberikan jeda bagi pemulihan kerusakan ekosistem hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya melalui upaya terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.

Jagung Booming, Lahan Padi dan Kedelai Menyusut

Areal tanaman padi dan kedelai di wilayah Kabupaten Bima terus menyusut. Berkurangnya lahan padi terjadi dalam tiga tahun terakhir. Sementara lahan untuk tanam kedelai telah menyusut sejak lima tahun yang lalu.

Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Bima Chairul Munir menerangkan, terus menyusutnya areal tanaman padi dipengaruhi beberapa faktor. Misalkan warga yang beralih atau lebih cenderung menanam komoditi jagung dan bawang merah.

Faktor lainnya, disebabkan kondisi lapangan akibat kekurangan air yang mengairi sawah. Selain itu, juga dampak atau pengaruh dari perluasan pembangunan dan pemukiman warga. Namun pengaruh dua hal tersebut tidak terlalu signifikan.

’’Yang jelas, faktor utama menyusutnya lahan padi ini, sejak booming komoditas jagung. Sebab jagung tidak hanya ditanam di ladang, namun juga di sawah-sawah,” katanya.

Dulunya, luas lahan tanam padi di Kabupaten Bima bisa mencapai 79.000 hingga 80.000 ribu hektar setiap tahun. Namun sekarang luasnya tanam sejak Oktober 2022 sampai dengan Juni 2023 hanya mencapai 44.936 hektar.

’’Kabupaten Bima dulunya sentra produksi padi. Sekarang, lahan terus menyusut hampir 50 persen,” sebut dia.

Jika kondisi tersebut terus terjadi, dia memprediksikan kemungkinan 5 atau 10 tahun ke depan Kabupaten Bima terpaksa mendatangkan beras dari luar daerah. ’’Melihat kondisi sekarang, tidak memungkinkan lagi ada perluasan lahan padi. Apalagi para petani juga sudah nyaman menanam jagung karena dianggap lebih menjanjikan,” katanya.

Selain padi, lahan tanaman kedelai juga terus berkurang. Ini imbas beralihnya tanaman jagung. Saat ini, lahan yang tersisa hanya sekitar 2. 455 hektar. Luas ’’Lahan tanam itupun tersebar di wilayah Kecamatan Bolo, Palibelo, dan Madapangga,’’ rincinya.

Pemerintah berupaya mengembalikan lahan tanaman kedelai dengan memanfaatkan lahan-lahan marjinal di wilayah Kecamatan Soromandi. Kemudian memberikan bantuan benih, pestisida hingga pupuk kepada kelompok tani. ’’Pemerintah pusat juga mendukung pengembangan komoditi kedelai ini dengan memberikan jaminan harga,” tandasnya.

Dibayangi Banjir, Longsor, dan Kekeringan

Banjir dan tanah longsor kerap terjadi di Pulau Sumbawa. Ini dipicu akibat kerusakan hutan dan hilangnya kawasan resapan di wilayah tersebut.

Ketua Forum Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup (FORDAS-LH) NTB Markum menjelaskan, ada sejumlah fakta-fakta penyebab banjir. Di antaranya, telah terjadi perubahan tutupan vegetasi di kawasan hutan dan di luar hutan yang masif di wilayah hulu yang dipicu perambahan dan aktivitas perladangan.

’’Kondisi topografi lahan di Pulau Sumbawa sebagian besar berbukit dengan kecuraman di atas 30 persen sehingga memicu terjadinya aliran air lebih cepat saat terjadinya hujan,’’ ujarnya.

Jumlah kekeringan pada skala waktu 1 Bulan (SPEI-1) pada periode 1985-2014 pada 22 stasiun BMKG. (Sumber ISN Lab)

Akibat rusaknya lahan tutupan, menurutnya, memicu sebagian besar air hujan mengalir sebagai limpasan permukaan menuju ke wilayah hilir, tempat pemukiman warga. "Dengan curah hujan hanya 50-70 mm saja, telah terbukti mengakibatkan banjir besar di Bima, Dompu dan Kabupaten Sumbawa pada tanggal 4-6 April 2023," ujarnya.

Di sisi lain, Kabupaten Bima dibayangi kekeringan. Sebanyak 39 desa yang tersebar di 11 kecamatan berpotensi krisis air bersih. "Warga terdampak krisis air di 39 desa sebanyak 23.098 jiwa," kata Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bima Isyra.

Dari kajian BPBD, salah satu pemicu utama sehingga puluhan desa bisa berpotensi krisis air akibat hutan gundul. Kawasan hutan itu kebanyakan digunakan masyarakat untuk perluasan penanaman jagung.

Akibatnya, mata air di masing-masing puluhan desa setempat semakin berkurang. Sehingga 39 desa ini tercatat sebagai wilayah yang berpotensi dilanda kekurangan air bersih sepanjang musim kemarau. "Salah satu pemicunya hutan gundul. Alasan itu bukan lagi rahasia umum," beber mantan Camat Tambora ini.

Kejadian kekeringan dalam kurun waktu 30 tahun. (Sumber ISN Lab)

BPBD menyebutkan, 11 kecamatan yang berpotensi krisis air bersih ini meliputi Kecamatan Woha, Wawo, Palibelo, Belo, Donggo dan Soromandi. Kemudian Kecamatan Bolo, Madapangga, Monta, Parado, dan Kecamatan Wera.

Dari 11 Kecamatan ini, Palibelo berpotensi paling banyak terdampak krisis air. Di wilayah setempat terdapat sebanyak 12 desa yang berpotensi terdampak.

Sementara, BPBD NTB mencatat sembilan kabupaten/kota di Provinsi NTB telah melaporkan adanya bencana kekeringan pada pekan terakhir Juli ini. ”Hanya Kota Mataram yang tidak ada laporan. Di tahun-tahun sebelumnya seperti itu juga,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB Ahmadi.

Bencana kekeringan telah ditindaklanjuti pemda. Ahmadi menyebut ada delapan pemda yang telah menetapkan status siaga darurat. Antara lain, Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Utara, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Kota Bima, dan Kabupaten Bima.

Secara keseluruhan bencana kekeringan di sembilan kabupaten/kota telah berdampak terhadap 169.331 kepala keluarga (KK) atau sekitar 591.793 jiwa. ’’Ini terjadi di 339 desa pada 70 kecamatan,’’ sebutnya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam rilis terbaru mengeluarkan peringatan dini kekeringan meteorologis di sejumlah wilayah. Seperti Kecamatan Sambelia, Lombok Timur dan Bayan di Lombok Utara pada level awas; level siaga di Kecamatan Utan, Kabupaten Sumbawa; dan level waspada di Kecamatan Buer, Kabupaten Sumbawa.

Menurutnya, pemda yang telah menetapkan siaga darurat kekeringan diharapkan menyiapkan anggaran untuk penanganan. Bisa melalui Belanja Tidak Terduga (BTT). Anggaran tersebut bisa digunakan untuk pendistribusian air bersih kepada masyarakat yang terdampak kekeringan. ”Termasuk juga provinsi. Nanti kami akan sharing untuk membantu kebutuhan air bersih masyarakat,” sebut Ahmadi.

Pengeluaran anggaran untuk penanganan bencana kekeringan telah disepakati masing-masing kabupaten/kota. Pemprov akan mengupayakan hal serupa. Selain dari BTT di APBD, BPBD akan mencari dukungan anggaran kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Saat ini, anggaran pemprov cukup terbatas. Namun, untuk keperluan menghadapi bencana kekeringan, mau tidak mau harus ada anggaran yang disediakan. ”Tidak bisa tidak. Daripada masyarakat susah,” tegasnya.

(Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan ISN Lab by SISJ dan didukung Google News Initiative)\

Artikel ini sebelumnya telah terbit di lombok post

Previous
Previous

Petani di Kaki Bukit Barisan Terkebat Perubahan Iklim

Next
Next

Hilangnya Surga Sandbank di Pesisir Kuta