Gerak Kolaboratif Cegah Rotan Manau di Jambi Punah
Oleh: Elvidayanti Darkasih, KBR
Indonesia memasok 80 persen bahan baku rotan di seluruh dunia. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara produsen rotan terbesar. Di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi, jenis rotan manau selama bertahun-tahun menjadi sumber mata pencaharian Orang Rimba, masyarakat adat di sana. Namun, populasinya semakin menurun akibat eksploitasi besar-besaran. Kondisi ini berdampak pada kesejahteraan Orang Rimba. Jurnalis KBR Elvidayanty Darkasih berbincang dengan kelompok adat dan sejumlah pemangku kepentingan tentang upaya mencegah kepunahan rotan manau. Laporannya dibacakan Astri Yuana Sari. Ini merupakan karya hasil fellowship biodiversitas SISJ-EJN 2022.
Hari sudah beranjak siang, baru 3 batang rotan manau yang dipanggul Merosul. Ia adalah Orang Rimba, masyarakat adat yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi. Padahal 5 tahun lalu, tak kurang dari 20 batang bisa diperolehnya hanya dalam tempo 4 jam. Sulitnya mencari rotan tak sebanding dengan hasil yang didapat.
“Sebenarnya kalo harganya masih rugi, sebab manau kalau yang dekat-dekat sini sudah habis, adanya manau yang jauh di dalam. Jadi, kalau sudah jauh dari dalam, payah mengeluarkannya.”
Beteguh, sesama Orang Rimba juga susah payah mencari rotan bersama anggota keluarganya.
"Kalau ngumpulin di dalam ngambil dari batangnya itu sekitar 2 minggu, dan melansir keluarnya itu seminggu kurang lebih tapi itu setiap hari dari pagi sampai sore melangsir terus, melangsir terus. Yang lebih capek, tanjakannya tinggi-tinggi, sampai pinggang sakit, bahu di sini ga ada rasanya lagi,"
Selama 3 minggu berburu, hasilnya bahkan belum cukup untuk melunasi hutang ke toke atau tengkulak.
"Rata-rata 200 ribu, (kerja yang 3 minggu itu?) Iya paling satu orang itu 200 ribu minimal. (Itu masih dipotong utang?) Iya, karena kan kalau kita kerjanya ga ada modal, ga ada makan. Jadi utang dulu baru cari rotan,"
Orang Rimba terpaksa meminjam duit ke toke untuk membiayai pencarian rotan. David adalah salah satu toke di sana. Satu batang rotan manau dibeli David seharga 9 ribu rupiah, namun kondisinya harus mulus, tanpa cacat, dengan panjang minimal 3 meter. Posisi tawar Orang Rimba lemah di hadapan para toke. Selain soal pinjaman, harga pun toke yang tentukan. Pemangku adat Orang Rimba, Tengganai Besemen.
“Tapi dia bilang kalo trip depan kita makan modal sendiri, tidak berhutang sama dia, dia bilang harganya 10 ribu. Tapi mana yang makan modal toke, tetap itu 9 ribu. Itulah gara-garanya tidak bisa berhenti orang kerja, karena setiap trip tetap tekor, jadi tidak bisalah berhenti kerja.”
Eksploitasi besar-besaran membuat rotan manau langka. Pada 1996, Badan Lingkungan PBB bahkan sudah menetapkan hasil hutan non kayu ini sebagai jenis tumbuhan yang terancam punah padahal nilai ekonominya tinggi karena merupakan bahan utama pembuatan mebel. Dodo dari pusat penelitian konservasi tumbuhan dan kebun raya LIPI mengatakan, perlu metode khusus untuk mengambil rotan manau agar tetap lestari.
“Pemanenan rotan manau harus bijaksana, karena rotan manau merupakan rotan tunggal atau tidak berumpun. Apabila ditebang maka tanaman tersebut langsung menjadi hilang atau mati. Penebangan sebaiknya tidak dibabat habis, penebangan sebaiknya setelah rotan menghasilkan buah sehingga tumbuh generasi baru. Akan lebih baik jika masyarakat melakukan budidaya di kebun, jadi pengambilan rotan tidak lagi di hutan.”
Pada tahun 2006 upaya budidaya pernah diinisiasi LIPI dengan cara menanam kembali ke alam atau reintroduksi. Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi menjadi lokasi reintroduksi 600-an bibit rotan manau, namun hasilnya kurang memuaskan lantaran lokasinya tersebar dan bibitnya berasal dari Kebun Raya Bogor. Karenanya muncul gagasan untuk membuka lahan khusus atau demplot sebagai lokasi reintroduksi. Demplot akan dikelola orang Rimba, kata Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II, Saefullah.
Bagus juga ini. Nanti mungkin bisa saya coba ke kawan-kawan dijadikan target. Coba nanti kami tawarkan di forum pertemuan temenggung, coba tawarkan ke mereka cari lokasi untuk demplot rotan manau.”
Wacana pembentukan koperasi juga mengemuka, tujuannya agar Orang Rimba lepas dari jerat toke dan lebih sejahtera.
“supaya dari orang Rimba untuk Orang Rimba, termasuk orang luar juga yang hasil hutan dari kawasan jualnya jangan keluar, harganya juga bisa bersaing.”
Koperasi bisa menjadi wadah edukasi tentang konservasi rotan. Melalui Lembaga ini pengambilan hasil hutan juga dapat dibatasi untuk mencegah kepunahan.
“selama ini kan Orang Rimba ngeluarin ya ngeluarin aja, tanpa ada perhitungan kuota dari kita. Sebenarnya memang harus ada sih, tidak hanya rotan, damar, yang kayak gitu kan harusnya ada perhitungan kuotanya ya? Ini kan kami lagi coba inventarisasi sebaran HHBK (hasil hutan bukan kayu), mungkin kalo misalnya sudah kami peroleh datanya bisa kita tetapkan kuotanya berdasarkan kelimpahan yang ada di dalam kawasan.”
Demikian SAGA Jurnalis KBR, Elvidayanty Darkasih. Saya Astri Yuana Sari.
*) Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerja sama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN).