Kelelawar Hitam: Tersaji di Meja Makan. Nyaris Punah di Alam


Kelelawar hitam Sulawesi. Image credit: Sheherazade

Oleh: Isvara Savitri

Selera lidah telah memicu perburuan masif kelelawar hitam (Pteropus alecto). Meski populasinya terus menyusut, daging kelelawar melimpah di pasar-pasar ekstrem. Membawanya tersaji di meja makan.

Permintaan daging kelelawar atau populer dengan nama paniki nyaris tak ada habisnya. Pasar ekstrem yang menjual daging satwa liar itu menyebar di Kota Manado, Tomohon, Minahasa,  Minahasa Selatan, Minahasa Utara, hingga Bitung.

Daging paniki dipasok tak hanya dari Sulsel, tetapi juga Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Tenggara (Sultra). Bahkan, ada juga yang dikapalkan dari Kalimantan, NTT, NTB, dan Maluku Utara. Perburuan massal selama puluhan tahun telah menjadi ancaman serius kepunahan spesies ini.

Pedagang daging satwa liar di Pasar Tomohon, Frans (50) menceritakan dirinya biasanya menjual 200-300 ekor atau 50-75 kilogram daging kelelawar hitam per hari. Mendekati hari raya, volume permintaan bakal naik. Itu biasanya mendekati hari raya besar keagamaan, kemerdekaan, hingga hari Pengucapan (Minahasan’s Thanksgiving). “Bisa mencapai 500 ekor per hari,” ujar Frans, Sabtu (14/5/2022).

Di sisi lain, Founder Konservasi Kelelawar Sulawesi, Jusuf Kalengkongan, menyebut bahwa permintaan daging satwa liar dari restoran-restoran khas Minahasa meningkat beberapa tahun terakhir dikarenakan banyaknya pemberitaan kuliner ekstrem di Sulut. Pemberitaan tersebut membuat turis yang datang ke Sulut ingin mencoba kuliner ekstrem.

“Di Pasar Bersehati misalnya, dari normalnya penjualan 200-300 ekor kelelawar hitam per hari itu bisa naik 700-800 ekor kelelawar untuk Manado saja, untuk memenuhi permintaan restoran. Dan itu diorder langsung oleh penyedia jasa wisata,” terang Jusuf.

Tingginya permintaan membuat para pedagang meraup untung besar. Salah seorang pedagang daging satwa liar di Pasar Tomohon, Robert (35), memperoleh pendapatan Rp 2 juta hanya dari penjualan daging kelelawar hitam.

Kalau dulu, katanya, kelelawar masih mudah diburu di alam Sulut. Seiring permintaan pasar yang terus bertambah, perburuan pun semakin masif. Belakangan, kelelawar hitam semakin sulit ditemukan di alam. Demi memenuhi kebutuhan pasar, ia pun mendatangkan pasokan daging kelelawar dari luar daerah.

Daging kelelawar dari luar daerah biasanya dipasok sudah dalam kondisi mati. Supaya awet, sewaktu dikirim, daging tersimpan dalam kotak berisi es balok.

Pemasok Daging Kelelawar Hitam

Ada 2 jenis kelelawar yang paling banyak diperdagangkan di Sulawesi, yakni kelelawar sulawesi (Acerodon celebensis) dan kelelawar hitam (Pteropus alecto). Sheherazade & Susan dalam Jurnal Global Ecology and Conservation volume 3  berjudul Quantifying the bat bushmeat trade in North Sulawesi, Indonesia, with suggestions for conservation action (2015) menyebut ada sekitar 500 ton pasokan daging kelelawar per tahun di Sulut. Sedangkan Latinne, Alice, dkk dalam Jurnal Global Ecology and Conservation volume 3 berjudul Characterizing and Quantifying The Wildlife Trade Network in Sulawesi, Indonesia (2020), memperkirakan 600.000 hingga 1 juta ekor kelelawar yang dipasok ke Sulut setiap tahunnya.

Dari jumlah tersebut, 32 persen pasokan kelelawar hitam didatangkan dari Sulsel. Diikuti Sultra (24 persen) dan Gorontalo (13 persen). Ada pula pasokan dari Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Maluku Utara tetapi jumlahnya tidak besar.

Co Executive Director Prakarsa Konservasi Ekologi Regional Sulawesi (PROGRES) Sulawesi sekaligus Peneliti Kelelawar, Sheherazade, mengungkapkan pada 1970-an, daging kelelawar masih dipasok lokal. Namun, karena permintaan daging kelelawar hitam sangat besar dan semakin meningkat, populasi di Sulut habis dan permintaan menjalar ke provinsi lain. “Awalnya di Gorontalo, namun karena pasokan tidak banyak, permintaan daging kelelawar hitam berpindah ke Sulteng, Sulbar, Sultra, dan Sulsel,” kata Shera.

Bahkan, Shera menyebut ada kapal khusus dari Buton, Sultra yang dipakai mengambil daging kelelawar dari Nusa Tenggara. Pasokan daging kelelawar tersebut kemudian dikumpulkan di Sulsel sebelum didistribusikan ke daerah lain di Pulau Sulawesi. Meski begitu, ada pula daging kelelawar dari Buton yang langsung dijual ke beberapa pengepul di Sulut.

Perdagangan kelelawar hitam di Sulawesi. Image credit: Isvara Savitri

Pasokan daging kelelawar yang didatangkan dari luar daerah ini menjadi salah satu indikator populasi kelelawar hitam di Sulut menurun drastis. Salah seorang warga asal Modoinding berinisial Frandi Priring (26) yang sampai sekarang terbiasa mengonsumsi kelelawar dari hasil buruan, mengaku kini kesulitan mendapatkan kelelawar dari habitatnya. Beberapa tahun lalu, Frandi dan sang ayah bisa berburu kelelawar di kebun. Kini, mereka  harus menempuh jarak kurang lebih 3-10 kilometer masuk ke dalam hutan untuk memburu kelelawar.

Untuk menangkap kelelawar, Frandi menggunakan jaring yang dipasang di atas pohon dengan ketinggian tertentu. “Kalau pas banyak, bisa dapat sampai 20 hingga 30-an ekor dalam satu perangkap. Bisa untuk makan satu minggu,” terangnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK), Diah Irawati Dwi Arini. Pada tahun 2010 saat ia meneliti keberadaan kelelawar hitam di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) di Bolaang Mongondow, Arin hanya berhasil menjaring 1 ekor kelelawar hitam. “Waktu itu saya sekitar 3 hari di Gunung Imandi Maelang, hanya ketangkap satu kali. Metodenya dengan memasang jaring di ketinggian 600 hingga 700 mdpl,” jelas Arin.

Peneliti Kelelawar sekaligus Founder Konservasi Kelelawar Sulawesi, Jusuf Kalengkongan, menyebut bahwa sejak tahun 2015, koloni kelelawar di Sulut bahkan hingga Gorontalo memang sudah tidak terdeteksi lagi keberadaannya. Kini, yang tersisa hanya beberapa keluarga kelelawar yang hidupnya terpisah.

Menurut Shera, kelelawar hitam memiliki jumlah ribuan individu per koloni dalam satu situs. Jika ada warga yang masih berhasil memburu kelelawar hitam di Sulut, Shera menyebut kelelawar hitam sedang melintas untuk mencari makan. Pasalnya, kelelawar memiliki dua lokasi berbeda untuk beristirahat (resting site) dan mencari makan (foraging site). Kelelawar bisa bermigrasi atau mencari makan sejauh puluhan kilometer. Bisa dari satu provinsi ke provinsi lain. Misalnya saja di Australia, mereka ada migrasi musiman, menempuh jarak belasan hingga puluhan kilometer.

Kepentingan Komersial

Sulitnya pelestarian kelelawar hitam salah satunya disebabkan karena spesies ini belum masuk ke daftar hewan dilindungi. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 92 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, jenis kelelawar hitam belum termasuk satwa yang dilindungi.

Dalan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) kelelawar hitam juga baru memiliki status Least Concern (LC). Namun, dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), kelelawar hitam masuk ke dalam kategori Appendix II yang artinya spesies ini terancam punah jika perdagangan terus dilanjutkan tanpa ada pengaturan.

Para peneliti berpendapat bahwa perdagangan daging kelelawar khususnya kelelawar hitam di Sulut harus dihentikan agar perburuan kelelawar hitam juga berhenti. Shera menyebut, faktor utama masyarakat Minahasa masih mengonsumsi daging kelelawar hitam hingga kini karena barangnya selalu tersedia di pasar. “Kalau dalam hal komersial harus dihentikan di Sulut. Percuma berkoar-koar sudah mau punah, tapi daging kelelawar hitam masih ada di pasar. Masyarakat kan tidak tahu kalau jumlah kelelawar hitam di Sulut bahkan Gorontalo sudah berkurang, makanya dipasok dari provinsi lain,” ujar Shera.

Meski berlangsung turun temurun, konsumsi daging kelelawar hitam di Sulut tidak ada hubungannya dengan budaya masyarakat melainkan faktor konsumerisme. Hal tersebut diungkapkan oleh Peneliti Kelelawar sekaligus Dosen Kehutanan Universitas Sam Ratulangi Manado, John Tasirin. “Sekarang sudah masuk ke konsumerisme karena dikonsumsi sehari-hari dalam jumlah besar. Kalau dulu, orang hanya tangkap kelelawar hitam menggunakan tongkat, pisau, atau senapan angin, sehingga dalam satu malam hanya mendapat 1-10 ekor untuk dikonsumsi sendiri,” jelas John.

Kelelawar hitam di meja makan. Image: Isvara Savitri

Padahal, jika pasokan daging kelelawar dihentikan, tidak akan menjadi masalah besar bagi masyarakat Minahasa. Pasalnya, konsumsi daging kelelawar oleh masyarakat Minahasa dianggap sama seperti daging lainnya. “Kalau tidak ada, tidak apa-apa juga. Kami semua di sini makan apa saja,” ujar pedagang daging satwa liar Robert.

Hal yang sama juga diungkapkan Frandi. “Kalau soal manfaat, saya tidak tahu, cuma tahu kalau dimakan ya rasanya enak,” tambah Frandi.

Di sisi lain, semua jenis kelelawar merupakan reservoir alami berbagai macam virus dan berpotensi menularkan penyakit zoonosis. Shera mencontohkan Virus Nipah (NiV) yang pernah mewabah di Malaysia sekitar tahun 1998. Virus Nipah berasal dari kelelawar yang menginfeksi babi melalui kencing ketika kelelawar tersebut mencari makan di sekitar peternakan babi. Babi yang terinfeksi virus tersebut kemudian bisa menularkan penyakit kepada manusia.

“Secara ilmiah, penularan virus dari kelelawar ke manusia membutuhkan perantara lain seperti babi, karena kelelawar tidak memiliki kesamaan genetik dengan manusia, sedangkan babi secara genetik sangat mirip dengan manusia sehingga berpotensi menularkan penyakit zoonosis,” tutur Shera.(*)

*) Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerja sama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN).

Simak tulisan kedua dan ketiga Isvara Savitri di Tribun Manado.

Masih ada Harapan Kelelawar Hitam di Sulawesi Utara

Hilangnya Kelelawar Hitam Mengancam Kepunahan Buah

Previous
Previous

Kisah Pelanduk Dilindungi dan Disantap

Next
Next

Gerak Kolaboratif Cegah Rotan Manau di Jambi Punah