Hutan, Penawar Jenuh Liputan

hutan.jpeg

Di masa pandemi seperti ini, jurnalis pun butuh imunitas yang kuat di tengah beragam liputan. Ancaman penularan mengintai di mana-mana. Belum lagi, harus mampu memahami isu-isu baru yang terus bergulir.

Sebagai manusia biasa, jurnalis adakalanya mengalami rasa jenuh. Dinamika kerja yang menantang, juga menguras waktu, energi, dan otak, jika tak dikelola dengan bijak, bisa menyebabkan stres yang merembet pada masalah kesehatan.

Apalagi di masa pandemi seperti ini, jurnalis pun butuh imunitas yang kuat di tengah beragam liputan. Ancaman penularan mengintai di mana-mana. Belum lagi, harus mampu memahami isu-isu baru yang terus bergulir.

Kami pun dituntut untuk seimbang mengangkat berita baik dan berita buruk. Dalam hiruk-pikuk virus korona baru, berita duka dan kabar negatif bisa mengundang kepanikan warga. Karena itu, jurnalis didorong dapat mengangkat pula kabar baik dan kisah-kisah inspiratif.

Di awal masa pandemi, liputan seputar Covid-19 sempat membuat saya merasa jenuh. Seorang pejabat daerah terkonfirmasi positif dan menimbulkan kehebohan masyarakat di Jambi, tempat saya bertugas.

Berhari-hari topik yang sama harus saya ulas dengan berbagai kebaruannya. Rasa jenuh semakin memuncak. Ingin rasanya menyegarkan kembali otak. Mengambil cuti beberapa hari ke satu tempat barangkali ide yang menarik.

Di puncak rasa jenuh itu, seorang narasumber menghubungi saya, Tedjo Sukmono, yang kerap saya panggil Pak Tedjo. Ia adalah iktiologis dari Universitas Jambi yang juga aktif di Palang Merah Indonesia Jambi.

Selama awal pandemi, Pak Tedjo dan timnya bergerilya menyemprotkan disinfektan di tempat-tempat publik yang rawan penularan virus korona baru, termasuk di tempat-tempat ibadah, pasar, hingga taman bermain.

”Mbak, nanti siang kami akan melakukan penyemprotan disinfektan di Pasar Angso Duo,” ujarnya lewat pesan Whatsapp.

Saya pun bergabung ke pasar. Suasana pasar saat itu begitu sepi karena sebagian pedagang tak berjualan selama Covid-19 merebak. Pembeli pun sedikit.

Selain mengikuti visual penyemprotan disinfektan, saya juga menggali cerita dari para pedagang yang penjualannya anjlok selama pandemi. Selesai meliput, kami mengobrol di halaman parkir pasar.

Di tengah obrolan itulah, Pak Tedjo menceritakan proses penelitian terbarunya tentang keragaman spesies ikan air tawar di Sumatera. ”Besok saya akan melanjutkan riset terbaru soal ikan. Barangkali Mbak mau bergabung?” ujar Pak Tedjo.

Mendengar itu saya mendadak bersemangat kembali. Ajakan bergabung pun saya sambut dengan antusias.

Esok paginya kami meluncur menuju Hutan Harapan yang menjadi lokasi penelitian ikan. Lokasi hutan itu di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Hutan Harapan merupakan satu-satunya hutan tropis dataran rendah Sumatera yang masih tersisa.

Tedjo membawa empat asisten penelitinya. Kendaraan gardan ganda membawa kami melaju beriringan menuju hutan, lalu menembus rimba menuju lokasi penelitian. Jika perjalanan lancar, kami akan tiba malam hari.

Rangkaian penelitian ikan sumatera telah dimulai Tedjo sejak 2011. Ia mendata hingga menguji sampel dari puluhan sungai dan danau di pedalaman Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau. Pada sejumlah kesempatan, saya turut serta dalam penelitian tersebut.

Salah satu temuannya yang cukup menarik adalah tentang perubahan awal genetika pada ikan-ikan gabus (Channa striata) pada danau-danau terisolir di perairan tawar Hutan Harapan, tahun 2013. Temuan itu membuat saya terpukau. Mulai dari situlah, setiap kali Pak Tedjo mengajak ke lapangan, selalu saya sambut antusias.

Barangkali pula liputan kali ini dapat menjadi obat penawar rasa jenuh yang tengah mendera. Di saat pandemi, meliput ke pedalaman bagaikan melarikan diri dari ruang bencana.

Di hutan yang masih sangat asri, hening, dan hijau itu, kita bagaikan mengisi ulang baterai baru. Udara terasa segar. Suara burung yang bersahut-sahutan terdengar bagaikan musik di tengah alam. Monyet-monyet ekor panjang bisa tiba-tiba muncul dan menyembul dari celah pepohonan.

Meski beberapa kali perjalanan terhenti karena ban kendaraan terjeblos ke dalam lubang, kondisi itu malah bagaikan petualangan seru. Kawasan hutan sekunder yang kami masuki masih lebat. Jalan yang kami lalui masih bertanah karena belum diaspal.

Salah seorang peneliti lokal yang turut mendalami ikan dan amfibi, Musadat (41), bercerita, 10 tahun silam kondisi hutan yang kami datangi bahkan jauh lebih istimewa.

”Nyaris tak ada celah yang dapat ditembus sinar matahari saking lebatnya hutan ini,” kata pemuda yang bergabung dalam program restorasi ekosistem di Hutan Harapan ini.

Musadat hampir sepanjang hidupnya tinggal di kawasan penyangga hutan. Terbiasa memancing ikan untuk dijadikan lauk, ia mengenang begitu melimpahnya ikan di masa lalu. Namun, belakangan ini keragaman jenis ikan yang diperolehnya menurun. Ini terjadi seiring dengan maraknya penebangan liar dan gelombang masuknya perambah liar ke dalam hutan.

Ia pun mendapati banyak tepian sungai rusak oleh beragam aktivitas ilegal. Termasuk praktik penyetruman di sungai, yang tak hanya mematikan ikan-ikan besar, bahkan juga benih-benih ikan. Seluruh aktivitas liar yang merusak ekosistem hutan terus menekan keragaman spesies ikan.

Boleh dikata, sepanjang tiga hari perjalanan menyusuri sungai-sungai yang membelah hutan menjadi liputan yang menyenangkan. Saya mengikuti kegiatan tim riset yang memancing ikan, menjala, hingga mendata, menguji, dan mendokumentasikan sampel-sampel ikan. Dari situlah mereka kemudian memetakan sebaran populasi ikan.

Sesaat saya melupakan rutinitas, seperti menemukan hiburan baru yang menyegarkan kembali otak. Liputan singkat ini akhirnya menjadi obat penawar di tengah rasa jenuh yang melanda.

https://www-beta.kompas.id/baca/di-balik-berita/2020/09/24/hutan-penawar-jenuh-liputan/
Hasil liputan riset ikan: https://interaktif.kompas.id/baca/ikan-pulau-emas/

Irma Tambunan

Irma has been working as a journalist for the last 15 years. Since 2004, she has worked at Indonesian KOMPAS Daily, specialized in environmental issues. She attended some science fellowships such as the Environmental Reporting Fellowship in 2012 held by GIZ-Germany, and SjCOOP Asia Fellowship for the Young Science Journalists, from 2013 to 2014, supporting by the World Federation of Science Journalists (WFSJ).

Previous
Previous

Menjadi Jurnalis Sains

Next
Next

It Isn’t All Black and White