Menjadi Jurnalis Sains

jurnalis.jpeg

Banyak orang bertanya pada saya: Bagaimana caranya agar bisa menulis untuk majalah sains internasional?

Mungkin mereka semua heran dan bingung. Saya adalah seorang perempuan tanpa pendidikan pascasarjana di bidang sains. Juga, saya bukanlah seorang jurnalis senior dengan pengalaman puluhan tahun di desk science. Yang mungkin lebih mengherankan lagi, saya tinggal di tengah perkebunan di Deli Serdang.

Namun nama saya sempat beberapa kali muncul di majalah Nature, sebuah publikasi ilmiah paling bergengsi di dunia.

Lalu, mengapa dan bagaimana?

Sedari dulu saya selalu bermimpi besar. Sewaktu  SMP, saya ingin menjadi presiden. Ketika SMA, saya ingin menjadi Sekjen PBB. Semua itu terdengar gila bagi seorang perempuan biasa-biasa saja seperti saya. Tapi saya pikir, impian besar menjadikan hidup saya lebih menarik untuk ditinggali.

Ketika saya diterima menjadi mahasiswa di Departemen Biologi IPB, saya mempunyai mimpi dan harapan yang sekarang terasa sangat utopis: “Aku ingin membuat Indonesia maju karena ilmu pengetahuan,”.

Masa-masa kuliah adalah masa terbaik dalam hidup saya. Sebuah masa dimana saya merasakan ekstase akan pemahaman ilmu. Saya ingat ketika saya mempelajari mekanisme fotosintesis. Dulu, bagi saya, warna hijau tumbuhan adalah hal biasa. Namun hati ini bergetar saat mengetahui betapa luar biasanya prilaku molekul-molekul di balik hijaunya daun. Seperti halnya elektron-elektron di klorofil yang “excited” terkena cahaya matahari, saya jg merasa “excited” saat cahaya ilmu pengetahuan menembus hati saya.

Dari situ, saya selalu ingin membagikan perasaan senang mendapatkan pengetahuan. Biasanya saya bercerita dengan teman-teman saya dan menulis di buku harian. Mungkin inilah awal mula perkenalan saya dengan science writing.

Di tahun ketiga kuliah, saya bertemu dengan dosen saya: Pak Bambang Suryoroto, seorang ahli primata dan biologi manusia. Saya masih ingat ketika saya berjalan di koridor kampus dan beliau memanggil saya utk memberikan makalah yang beliau cetak dari jurnal Nature. Entah kenapa, saat itu saya mulai merasa menjadi bagian dari komunitas ilmiah. Meskipun saya hanyalah seorang mahasiswa sarjana.

Sesaat sebelum lulus, saya katakan pada beliau bahwa saya ingin menjadi science writer. Beliau mendukung dan mengatakan Indonesia belum memiliki banyak penulis sains. Bahkan hampir tidak ada.

Lucunya, setelah lulus, saya lupa dengan impian dan rencana-rencana besar itu. Saya sibuk melamar kerja dan beasiswa karena ternyata, seberapa besar pun mimpi dan idealisme saya, saya belum bisa lepas dari tuntutan sosial: setelah sarjana harus kerja! Dan semua lamaran saya berakhir pada penolakan-penolakan tragis.

Meski begitu, saya tetap menulis soal sains. Tulisan saya mengenai neurosains dan kapabilitas perempuan dalam politik menarik perhatian editor di The Jakarta Post. Dari situ, tulisan-tulisan saya lainnya mengenai biodiversitas dan evolusi hampir selalu dimuat. Editor tersebut menyukai pendekatan saya yang mereka bilang “fresh”. Tapi mereka bertanya: “What is your affiliation?

Saya bingung bukan kepalang. Karena saya benar-benar tidak punya afiliasi alias pengangguran. Akhirnya saudara saya mengusulkan: freelance science journalist.

Titik awal karir saya dalam jurnalisme sains adalah sebuah aklamasi diri.

Setelah aklamasi ini, saya merasa punya tanggung jawab untuk menjadi jurnalis sains sesungguhnya. Saya berselancar di internet dan menemukan situs “World Federation of Science Journalists”. Saya belajar sendiri tanpa bantuan guru ataupun kolega. Dan kemudian saya mulai menulis untuk SciDev.Net. Ternyata menulis berita tidak semudah menulis opini karena ia berbicara soal kejadian di luar pikiran kita. Saya juga kesulitan mewawancara ilmuwan Indonesia yang jarang membuka email dan tampil di dunia maya dan juga kesulitan menuliskan hasil wawancara mereka menjadi suatu cerita.

Tapi saya tetap bertahan.

Suatu hari saya mendapatkan email dari WFSJ yang mengajak saya mengikuti program pelatihan jurnalisme sains SjCOOP Asia. Disinilah jurnalisme terasa nyata bagi saya. Setelah sekian lama sendiri, saya terhubung dengan wartawan-wartawan sains di berbagai media di Indonesia. Mereka inilah yang selanjutnya mendirikan SISJ bersama dengan saya dan menghubungkan saya dengan banyak ilmuwan dan pengambil kebijakan.

SjCOOP Asia mengharuskan saya utk menulis lebih dari satu outlet. Saya, yang hanya menulis sebulan sekali untuk SciDev, berharap bisa menulis utk Nature dan Science. Terdengar seperti mimpi di siang bolong karena setahu saya, kedua jurnal ini belum pernah sekalipun menampilkan byline dari jurnalis di Asia Tenggara.

Berkali-kali saya gagal. Kegagalan yang memalukan, kegagalan yang konyol, kegagalan yang tragis. Tapi entah kenapa saya bertahan. Saya selalu berpikir bahwa Indonesia adalah bagian dari dunia dan sains haruslah bersifat universal. Saya yakin suatu saat saya bisa menulis mengenai sains Indonesia utk dunia sains internasional.

Dan akhirnya, tulisan opini saya mengenai Islam dan sains diterbitkan oleh Nature. Sang editor menyukai kerja dan hasil pemikiran saya. “It looks fantastic!”. Sejak saat itu, saya mulai menuliskan opini soal sains di Indonesia, di negara berkembang, dan di dunia Islam. Dari sinilah, jejaring saya dengan ilmuwan, jurnalis, dan pengambil kebijakan mulai meluas dng cepat. Saya jg belajar world-class science journalism dari editor2 Science dan Nature. Pengalaman berharga yang saya gunakan untuk meluaskan publikasi artikel berita dan feature untuk Science Magazine dan BBC Future.

Sampai saat ini, saya masih banyak mengalami kegagalan. Tapi saya yakin, passion saya di bidang ilmu pengetahuan akan terus membuat saya bertahan.

Dyna Rochmyaningsih

is a freelance science journalist whose works have appeared in Science Magazine and Nature. From her home in North Sumatra, she has written news analysis, features, and opinions that intersected science and society in Indonesia, the Global South, and the Islamic World. Dyna got her B.Sc in biology from Bogor Agricultural University and is an alumnus of SjCOOP Asia, a science journalism program organized by the World Federation of Science Journalists (WFSJ).

Previous
Previous

Why It’s Important to Cover Non-iconic Species

Next
Next

Hutan, Penawar Jenuh Liputan