Karena Prahara Iklim, Piring Pun (Akan) Merindukan Nasi
Selepas jam makan siang, langkah kaki Heni (38) bolak-balik dari dapur ke jajaran meja warung makannya. Tak hanya tubuhnya yang sibuk bergerak, pikiran dan hatinya pun huru-hara memikirkan kenaikan harga bahan pangan, termasuk beras. ”Kamu tidak lihat wajahku galau akhir-akhir ini?” ujarnya saat dihampiri Kompas.
Tiap berbelanja ke pasar, pengelola Warung pecak ikan di Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Banten, itu merasa resah. Kepalanya pusing menghadapi kenaikan harga beras hingga menembus Rp 100.000 per kilogram (kg) dalam dua bulan terakhir. Saat ini, dia mengeluarkan uang sekitar Rp 652.000 per kg untuk membeli 50 kg beras. Sebelumnya, uang yang dibayar berkisar Rp 550.000 per kg.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat, rata-rata nasional harga beras di pasar tradisional senilai Rp 13.800 per kg pada awal September 2023. Per awal November 2023, harganya meningkat menjadi Rp 14.650 per kg.
Kenaikan harga itu memaksa Heni untuk mencari penjual lain dan mengganti jenama beras. “Penjual sebelumnya menaikkan harga tapi timbangannya dikurangi. Karung beras 50 kg, dapatnya cuma 40 kg. Ya sama sajalah. Mending cari penjual lainnya,” kata Heni dengan nada jengkel, Selasa (7/11/2023).
Selain mencari penjual beras yang tidak membebani modal usaha, Heni juga menaikkan harga beras di warung makannya. Sebelumnya, dia menjajakan seporsi nasi seharga Rp 5.000 tetapi sekarang Rp 6.000.
Tak hanya itu, ‘matanya’ pun makin waspada mengawasi konsumen yang dapat mengambil nasi secara bebas. “Kalau ambil nasi sampai ‘munjung’, kami hitung dua porsi. Karena ada juga pembeli yang enggak mengaku ambil nasi banyak,” ujarnya.
Artinya, pelanggan tak bisa lagi mendapatkan seporsi nasi hanya dengan Rp 5.000. Jika ‘kekeuh’ ingin membeli nasi seharga Rp 5.000, porsinya mungkin menyusut. Ke depan, penyusutan itu berpotensi berlanjut karena penurunan produksi beras akibat merosotnya lahan sawah sekaligus anomali iklim seperti El Nino, La Nina, maupun Dipol Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD).
El Nino dan IOD positif menyebabkan berkurangnya curah hujan secara ekstrem sehingga berpotensi menimbulkan kekeringan. Sebaliknya, La Nina dan IOD negatif cenderung meningkatkan curah hujan sehingga risiko banjir menguat.
Tim Jurnalisme Data Kompas memproyeksikan berkurangnya porsi nasi yang tersedia di atas piring karena merosotnya produksi beras nasional sepanjang 2024-2045. Hasilnya menunjukkan, produksi beras (2023) yang terkonversi dalam 2,43 piring, akan menurun menjadi 2,21 piring per orang per hari pada 2030 dan 1,63 piring per orang per hari pada 2045. Hitungan angka-angka itu dihasilkan dengan skenario tanpa adanya anomali iklim.
Proyeksi porsi nasi didapatkan dari perkiraan produksi beras per tahun sepanjang 2024-2045. Konversi volume beras 1 kg diasumsikan setara dengan 8 piring nasi. Adapun perkiraan tersebut didapatkan dari pemodelan luas lahan sawah terhadap produksi beras berdasarkan data BPS pada 2003-2023.
Kompas juga menemukan, IOD positif dan negatif berdampak paling signifikan pada penurunan porsi nasi yang tersedia di atas piring warga.
Apabila terjadi IOD positif, rata-rata penduduk Tanah Air hanya bisa memperoleh 2,05 piring nasi per orang per hari pada 2030 dan 1,52 piring nasi per orang per hari pada 2045.
Langkah untuk menaikkan harga nasi sebesar Rp 1.000 per porsi juga ditempuh Ranti (67), penjual warung ramesan di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. “Pelanggan saya kebanyakan pengemudi ojek dan pekerja kantoran, Bagi mereka, saya tetap menjual nasi-lauk yang murah meriah meskipun harganya sedikit naik. Misalnya, nasi telur yang sebelumnya Rp 8.000 per porsi menjadi Rp 10.000 per porsi. Bukan cuma beras yang harganya naik, telur juga,” tuturnya sambil menggoreng telur di depan pintu rumahnya yang menghadap gang sempit.
Pelanggan warung nasi pun merasakan porsi yang menyusut. "Dulu beli nasi seharga Rp 5.000 di warteg untuk dua kali makan sudah terasa mengenyangkan. Setelah harga beras naik, porsinya berkurang dan tak sebanyak dulu," kata Yenie (47), warga Ciledug, Tangerang, Banten, saat ditemui, Rabu (29/11/2023).
Karena porsinya berkurang, asisten rumah tangga itu memilih memasak nasi di rumah. Namun, dia terpukul dengan harga beras yang naik dari Rp 11.000 per kg pada 2022 menjadi Rp 15.000 per kg saat ini. "Porsi nasi untuk saya dan suami berkurang, sementara anak saya tetap. Kami juga memperbanyak makan sayuran dan sop agar merasa kenyang," kata Yenie.
Anang Saputra (29), pengemudi ojek daring, juga merasakan menyusutnya porsi nasi di warung makan. "Biasanya sepiring dapat 1,5 atau 2 centong nasi, sekarang hanya 1 centong," ujarnya saat ditemui di Palmerah, Jakarta.
Di rumah, kenaikan harga beras juga membuatnya mengurangi belanja dari 1-2 liter per hari menjadi 0,5 liter per hari. Di sisi lain, pendapatan kotornya sekitar Rp 50.000 - Rp 100.000 per hari.
Kenaikan harga beras berisiko mendongkrak inflasi dan garis kemiskinan. BPS mencatat, beras menyumbang andil inflasi sepanjang Januari-Oktober 2023, yakni sebesar 0,49 persen. Per Maret 2023, beras masih menempati posisi tertinggi kontributor garis kemiskinan, yakni 19,35 persen di kota dan 23,78 persen di desa.
Oleh sebab itu, Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi menggarisbawahi pentingnya beras sebagai bantuan pangan yang disalurkan di tingkat pemerintah pusat bagi keluarga penerima manfaat. Di tingkat daerah, dia mendorong pemerintah setempat mengandalkan pangan lokal sebagai komponen dalam program bantuan. Sayangnya, sejumlah daerah justru menunjukkan tren ketersediaan pangan lokal tinggi, seperti ubi dan sagu, namun pemanfaatan atau tingkat konsumsinya rendah
Produksi merosot
Berkurangnya jumlah nasi yang tersedia di atas piring masyarakat berkaitan dengan merosotnya produksi beras, baik karena menyusutnya luas lahan sawah maupun diperparah oleh anomali iklim. Data BPS menunjukkan, luas lahan sawah pada 2003 dan 2013 masing-masing mencapai 7,87 juta hektar dan 8,12 juta hektar.
Pada 2023, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 686 tahun 2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019, menyebutkan, luas lahan sawah sebesar 7,46 juta hektar. Artinya, penurunan luas lahan sawah berkisar 0,2 persen per tahun.
Anomali iklim berisiko menggerus berkurangnya produksi beras tersebut. El Nino dan IOD positif dapat menyebabkan berkurangnya curah hujan secara ekstrem sehingga berpotensi menimbulkan kekeringan. Sebaliknya, La Nina dan IOD negatif cenderung meningkatkan jumlah curah hujan sehingga risiko banjir menguat.
Anomali-anomali iklim di Samudra Pasifik dan Hindia dapat terjadi dalam periode berbeda maupun berbarengan. Contohnya, Pada 2023 ketika El Nino dan IOD positif terjadi bersamaan, BPS memperkirakan, produksi beras Indonesia mencapai 30,89 juta ton atau melorot 2,05 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, kajian Kementerian Pertanian memperkirakan, Indonesia bisa kehilangan 380.000 ton beras jika El Nino berintensitas sedang terjadi sedangkan intensitas kuat membuat kehilangan 1,2 juta ton beras.
Indonesia mesti menjaga produksi beras minimal di angka 35 juta ton per tahun. “Kalau tidak terjadi apa-apa (anomali iklim), produksi tidak akan seperti ini (menurun),” ujar Arief.
Anomali iklim, lanjutnya, juga memengaruhi aspek ketersediaan dalam menyusun atlas ketahanan dan kerawanan pangan di tingkat nasional yang dimutakhirkan tiap bulan. Per akhir September 2023, sebanyak 22 provinsi tergolong aman, 12 provinsi tergolong waspada, dan provinsi lainnya tergolong rentan.
Arief menambahkan, agar produksi beras dalam negeri menguat, kesejahteraan petani patut menjadi perhatian. Misalnya, saat panen raya atau produksi berlimpah, harga di tingkat petani tak boleh anjlok.
Supaya berdaya tahan terhadap anomali iklim, petani membutuhkan akses terhadap informasi cuaca. “Idealnya, satu desa memiliki satu perangkat sensor cuaca yang terintegrasi dengan BMKG untuk menunjang aktivitas pertanian. Sumber biayanya dapat berasal dari dana desa,” kata Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Bayu Dwi Apri Nugroho.
Selain itu, petani membutuhkan benih varietas padi yang spesifik pada karakteristik lokasi lahan beserta cuacanya demi memperkuat produksi. Misalnya, bibit padi yang tahan kering dan tidak membutuhkan air untuk ditanam di sawah tadah hujan.
Dampak anomali iklim pada produksi padi juga tampak di provinsi produsen beras utama, seperti Jawa Barat. Hal itu tercermin pada data yang dihimpun ISN LAB dari penelitian berjudul Building Resilience: Addressing Climate Change Impacts on Rice Production Based on Agricultural Infrastructure in West Java Province, Indonesia, yang terbit pada 2023.
Data penelitian tersebut menunjukkan, produksi padi pada 2019 sebanyak 9,08 juta ton atau turun 5,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun data yang dihimpun Kompas dari Bureau of Meteorology Australia menyebutkan IOD positif terjadi pada 2019 sehingga curah hujan di Indonesia cenderung menurun.
Penelitian itu menyimpulkan, Jawa Barat tergolong wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh sebab itu, Jawa Barat membutuhkan infrastruktur yang menguatkan tata kelola pengairan dan pemanfaatan mekanisasi.
Di tingkat petani, anomali iklim justru membuat ‘jurang’ nasib. Imam (44) dan Suryana (48), petani asal Desa Ranjeng, Kecamatan Losarang, Indramayu, Jawa Barat, sama-sama mengeluarkan modal sekitar Rp 20 juta untuk sawah seluas 1 hektare. Sayangnya, pada Agustus 2023, Imam tak bisa panen akibat serangan hama tikus dan kekeringan. Sebaliknya, Suryana bisa memperoleh 2 ton gabah dan mendapatkan harga sekitar Rp 7.000 per kilogram (kg).
Beras yang rentan terhadap anomali iklim bakal membuat piring merindukan nasi yang melekat di atasnya. Namun, kerinduan itu bisa jadi tak masalah bagi piring asalkan ada pangan lokal lain yang mampu menggantikan.
Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan "ISN-LAB" by SISJ dan didukung Google News Initiative"
Artikel ini sebelumnya telah terbit di kompas.id