Kisah Pelanduk Dilindungi dan Disantap
DESA DEDAP-Perubahan lingkungan membawa status pelanduk (Tragulus napu) kian terancam punah. Namun, tradisi menyuguhkan dagingnya sebagai hidangan istimewa di atas meja membawa tantangan besar bagi masa depan satwa itu.
Berburu pelanduk menjadi tradisi di Desa Dedap, Kecamatan Putri Puyu, Kabupaten
Meranti, Riau. Setiap kali menjelang hari raya, para pemburu masuk hutan. Salah satunya yang dilakukan Darmadi (50), April lalu. Wajahnya berbinar-binar mendapatkan 4 ekor pelanduk sewaktu berburu bersama adiknya, Edi Ilham (48) dan anaknya Saddam (20).
Selama turun temurun, daging pelanduk menjadi santapan istimewa di wilayah pesisir
Riau, mulai dari Bengkalis, Meranti, dan Siak. Karena dianggap istimewa, daging itu wajib
tersaji di meja makan pada hari-hari istimewa pula. Tak hanya di hari raya keagamaan,
tetapi juga saat kenduri di desa, aqiqah anak, atau pesta pernikahan.
Begitu pula ketika kedatangan tamu istimewa, akan tersaji daging pelanduk khusus untuk sang tamu. Dagingnya lembut dan gurih sangat lezat dimakan, dibandingkan hewan ternak seperti ayam, kambing, dan sapi. “Seratnya haluslah. Wooo, hanya dengan dimasak dengan bumbu gulai dan rendang biasa, waduh enaknya,” paparnya, Selasa (17/5/2022).
Menurut Imah (70), ibu Darmadi, semasa dirinya masih kecil, pelanduk berkeliaran di
sekitar kebun kampung atau hutan semak belukar dekat rumah. Sehingga, tak sulit untuk
mendapatkannya.
Darmadi yang dikenal mahir berburu pelanduk, masih ingat akan kisah pelanduk yang disebut kancil sebagai kisah legenda di buku-buku bacaan anak. Kancil selalu dikisahkan
sebagai hewan cerdik dan pemberani. Kenyataannya berbeda, kancil ternyata binatang
pemalu. “Hewan ini mudah sekali terkejut dan akan langsung lari. Biasanya saat ada hewan
lain, ia terdiam membeku atau ada kita datang yang mengejutkannya. Sejenak kemudian, ia
akan berlari zigzag ke dalam hutan,” ujarnya.
Cerita pelanduk dan Dedap Durhake bagaikan ikatan tak terpisahkan dengan masyarakat berpenduduk 2.564 jiwa ini. Bahkan, kisah pelanduk dikenal luas di Nusantara. Peneliti Biologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Ibnu Maryanto pernah meneliti keberadaan spesies mamalia di babak cerita relief Lalitavistara Candi Borobudur. Simbol-simbol yang paling banyak ditemukan di candi adalah kelompok mamalia dan burung.
Termasuk di sana terukir simbol-simbol kancil sebagai hewan yang cerdik dan pandai.
Berdasarkan cerita dan simbol tersebut wajar jika mamalia satu ini merupakan kegemaran
warga sejak dahulu. Bahkan cerita kancil diadopsi menjadi kisah dan sebagai sumber cerita
pengetahuan dalam sastra dan sejarah saat kurikulum Bahasa Indonesia tahun 1974.
Terdapat dongeng kancil dan kisah Dedap Durhake dalam kisah di buku itu.
Kini, diperkirakan masih tersisa secuil hutan alam tersisa di pesisir itu. Letaknya di Desa Dedap, dimana Pulau Dedap Durhake, persis di seberang daratan Desa Dedap. Di situlah kantong habitat pelanduk masih tersisa. Tak hanya pelanduk, beragam jenis satwa hidup di sana.
Ada dua jenis lain yang juga kerap diburu. Yang paling kecil berwarna bintik-bintik hitam, disebut kancil. Ada lagi binatang yang lebih besar dan bertanduk, mereka
sebut rusa.
Adapun, pelanduk berwarna cokelat kekuning-kuningan. Berat tubuh dewasanya sekitar 3-4 kilogram. Binatang inilah yang paling sering dijadikan sajian istimewa.
Kebiasaan berburu atau menangkap pelanduk yang dilakukan masyarakat juga diakui Kepala Desa Dedap, Mansur (48). Menurutnya hal itu sudah menjadi kebiasaan dalam menyambut suasana perayaan keagamaan atau kenduri. Sebab, memasak dan memakan daging kancil menjadi santapan istimewa umumnya adalah tradisi warga pesisir terutama di Desa Dedap sudah sejak zaman nenek moyang.
Meski begitu, untuk mendapatkannya bukan hal mudah karena harus semakin jauh ke dalam hutan. Jaraknya mencapai 15-an kilometer dari kampung terdekat. Memakan waktu berhari-hari untuk sekali berburu.
Edi Ilham (41) menceritakan kebiasaannya berburu sejak usia menjelang 30 tahun. Ia memilih berburu di malam hari agar lebih mudah dapat. Kalau siang hari, pelanduk gampang lari
jika mengendus keberadaan manusia.
Jika ia terpaksa berburu di siang hari, biasanya menggunakan jebakan. Itu terbuat dari tali yang dibentuk seperti jaring berwarna gelap. Dalam menjalin talinya, caranya mirip seperti membuat jaring ikan.
Saat waktu berburu tiba, jaring diikatkan antar pohon lalu ditutupi dedaunan. Dengan cara itulah, kancil tak mengira ada jebakan di sana. Sewaktu tak sengaja menginjak jaring tersebut, kakinya akan langsung terjerat.
Lain lagi cara yang dilakukan Nur (48). Selain membuat jaring, ia lebih suka berburu
dengan senapan angin. Tapi, diakuinya, belakangan ini tak pernah lagi berburu karena
pelanduk nyaris punah. “Sekarang tidak lagi. Sudah tidak ada lagi pelanduknya. Selain itu
juga sudah dilarang,” ujarnya.
Jika hasil buruan berlebih, biasanya akan dijual kepada orang lain. Harganya mencapai Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per ekor. “Warga suka makan daging pelanduk, namun tidak semua orang bisa menangkap,” katanya.
Kelihaian warga lokal berburu pelanduk makin dikenal luas. Tak jarang, pelanduk dipesan orang dari luar daerah. “Biasanya para pekerja atau mandor-mandor di kebun sawit atau usaha tanaman industri, atau pegawai ekplorasi minyak yang datang dari kota,” ungkapnya lagi.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi menyebutkan Tragulus napu masuk ke dalam status spesies yang dilindungi. Ia berada pada nomor urut 128. Daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan pelanduk napu/tragulus napu/Greater Mousedeer dengan status Least Concern (risiko rendah).
Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar KSDA Riau, Fifin Arfiana Jogasara melalui Pelaksana Tugas Seksi Konservasi Wilayah IV Balai Besar KSDA Riau IV Riau. Gunawan,
memastikan bahwa konservasi pelanduk telah diatur dalam Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018. Spesies itu termasuk jenis yang dilindungi yakni Tragulus napu. ”Yang di Riau adalah jenis Tragulus napu. Peredaran wilayah habitatnya adalah di hutan dataran tinggi, dataran rendah. “Pelanduk ini senang hidup di hutan alam,” tambahnya.
Mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990, Pasal 21 ayat 2, setiap orang dilarang untuk memiliki, menyimpan, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati. Berdasarkan aturan tersebut sanksi pidananya maksimal 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Artinya, siapapun yang memburu dan memperdagangkannya, dapat diganjar hukuman karena status spesies itu dilindungi.
Namun, Gunawan mengakui pihaknya belum pernah menindak perburuan dan perdagangan liar pelanduk. Apalagi, pendataan populasi, belum pernah dilakukan. Pihaknya hanya mengetahui pelanduk tersebar di banyak wilayah seperti di Siak, Dumai,
Bengkalis, Pelalawan, dan Meranti tanpa tahu persis jumlahnya. Sejauh ini, lanjutnya, prioritas konservasi masih bertumpu pada spesies gajah dan harimau sumatera. “Pelanduk belum menjadi prioritas,” ujarnya.
Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera, Subhan mengatakan operasi penindakan terhadap kejahatan kehutanan ini sangat intensif dilakukan KLHK. Ada lebih dari 1.400 operasi penindakan kejahatan kehutanan dalam lima tahun terakhir.
Sebagai upaya pencegahan, dilakukan operasi pembersihan jerat. Tim pernah berhasil menemukan 22 jerat yang masih aktif dan 2 jerat lain yang nonaktif. Jerat-jerat tersebut untuk berbeda-beda peruntukkannya, yakni mulai dari untuk gajah, harimau kijang, pelanduk, babi hutan, landak dan beberapa jenis burung.
Pihaknya juga telah memetakan jaringan perburuan dan perdagangan satwa liar. Praktik itu, lanjutnya, dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.****
**Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerja sama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN).
**Simak tulisan kedua dan ketiga Imelda Vinolia dalam website Suara Riau.
Hilangnya “Rumah Pelanduk” Hutan Alam Pesisir
Tak Sekadar di Atas Kertas, Perlindungan Pelanduk Menanti Komitmen