Krisis Air Bersih Hantui Warga Kala Abrasi Kikis Pesisir Sulawesi Barat

Terjangan ombak besar perlahan mengikis pesisir Mampie. Kebun-kebun kelapa di tepian pantai bertumbangan, ombak terus melaju mendekati pemukiman. Sedikit demi sedikit, daratan di Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, ini tergerus. Kebun dan rumah-rumah warga pun hilang jadi laut. Fenomena ini terjadi sejak 1990-an.

Darwin, kepala dusun di Mampie, salah satu yang mengalami kehilangan lahan.

“Hilang. Hanya sertifikat saja yang masih ada. Tiap tahun saya masih bayar pajaknya. Dulu, di sana, banyak rumah dan kebun-kebun yang luas. Sekarang sudah hilang,” katanya, Juli lalu.

Darwis menunjuk ke arah laut. Berusaha menggambarkan kehidupan lampau yang kini ditelan laut. Di sana,  pernah ada rumah dan jalan melintang. Hamparan kebun kelapa, meneduhkan. Juga banyak pohon jeruk dan pepohonan lain. Parit tempat kerbau berkubang. Semua tinggal kenangan.

Darwis dan warga lain terpaksa harus pindah rumah jauh dari pantai. Abrasi terus ‘mengejar’ pemukiman walau di sebagian tepian pantai sudah terbangun tanggul. Tambak pun ada di mana-mana.

Abrasi terus terjadi hingga kini, menyisakan sedikit lahan buat warga. Masalah bertambah karena sumur-sumur warga terintrusi air laut. Sumber air tawar pun sudah asin.

Saya datangi belasan sumur warga, air terasa asin, dan berwarna kuning kecoklatan. “Dulu, sumur di sini jernih. Itu yang dipakai minum,” kata Hansiani, warga Mampie.

Hansiani dan beberapa tetangganya menampung air hujan sebagai sumber air tawar. Mereka memasang corong dari botol bekas di ujung atap dengan pipa yang bermuara di sebuah tong besi.

Saat musim kemarau, warga tak punya air bersih selain mengandalkan air galon dan air sumur yang jauh dari Mampie.

Sejak air tanah asin, banyak tanaman mengering dan mati. Pohon-pohon mangga yang dulu subur kini menjulang tanpa daun.

Hasira, warga Mampie yang lain juga ceritakan kesulitan air bersih. “Beli air galon,” katanya.

Sekali beli, enam galon, dengan Rp6.000 per kemasan. Air itu akan habis selama empat sampai enam hari. “Tergantung pemakaian,” katanya.

Dia kadang cuci baju sekolah dengan air galon.

Hasira mengeluh pengeluaran membengkak karena beli air bersih. Dalam setahun dia mengeluarkan uang Rp6,9 juta untuk air galon. Sedangkan sumber ekonomi keluarga hanya suaminya yang kerja serabutan.

“Biasa kita jual kelapa. Kita jual Rp3.200 per dua biji. Semenjak abrasi, kelapa di sini sudah sedikit.”

Tak hanya di Mampie, Polewali Mandar,  warga Majene, kabupaten tetangga, juga alami kesulitan air tawar karena sudah terintrusi air laut.

Jumari, warga Dusun Pabettengan, juga Sekretaris Desa Pesuloan, pesisir Majene, ceritakan soal kesulitan air bersih karena sumur-sumur di sana sudah terasa asin.

“Kalau mau cari sumur yang asin, di sinilah tempatnya,” katanya.

Serupa di pesisir Kambunong, Mamuju Tengah. Air tawar hilang sejak satu dekade lalu karena intrusi air laut. Biasa, satu keluarga sekali beli 10 galon untuk penuhi keperluan sehari-hari. Tak jauh beda di Pelattoang, Majene, air sumur warga tak pernah tawar lagi.

“Jika musim barat di situ [pesisir Sulbar] kecenderungannya akan terjadi banjir rob,” kata Dwi Susanto, ilmuwan atmosfer dan kelautan University of Maryland.

Kenapa? Pesisir Sulbar, katanya,  secara geografi terletak pada tepian Selat Makassar, tempat arus lintas Indonesia (arlindo) berlangsung.

Arlindo adalah arus yang merangkak dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, melalui perairan Indonesia.

Jumari melihat kondisi air sumur di Pesuloan, Majene. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Ketika musim barat, arlindo yang masuk melalui Selat Luzon menuju Selat Karimata dan menerus ke Laut Jawa. Ia bergerak bersama angin menuju ke arah timur, di Pantai Barat, bertemu dengan arlindo di Selat Makassar.

“Maka, Sulawesi Barat dan Selatan muka lautnya akan tinggi. Kalau angin keras, ya air laut juga akan numpuk,” kata Dwi.

Dari ujung ke ujung Sulbar, membentang 677 kilometer garis pantai, tempat orang memulai peradaban, membentuk perkampungan hingga menjadi kota yang gemilang. Secara administrasi, lima kabupaten berada di pesisir.

Setidaknya 88.000 penduduk pesisir Sulbar terancam paparan gelombang ekstrem dan abrasi, menurut Indeks Risiko Bencana 2023.

Sejak 2021, bencana yang disusul banjir laut itu setidaknya merusak 18 hektar dan menelan kerugian hingga ratusan juta rupiah, di tengah kapasitas rendah pemerintah Sulbar dalam penanggulangan bencana.

Bukan hanya itu. Topografi Selat Makassar begitu beragam. Lantai selat sisi barat (paparan Sunda) menjorok ke arah Mamuju dan membentuk tebing sempit, dan ‘menghimpit’ arus. “Ibaratnya begini. Jika pipa besar, terus dikasih sambungan pipa kecil, itu nanti arus yang lewat di pipa kecil akan besar sekali. Akhirnya kan, semprotannya lebih kenceng.”

Karena kondisi itulah, kata Dwi, pesisir Sulbar rentan terhadap abrasi.

Gempuran abrasi  bertahun-tahun meninggalkan petaka berkepanjangan bagi warga pesisir. Mengubah garis pantai lebih dekat kampung dan di bawah tanah, air laut menyusup lapisan akuifer, mengubah cadangan air tanah mereka yang semula tawar jadi asin hingga tak layak konsumsi lagi.

“Intrusi air laut, secara teoritik, bisa dibangkitkan oleh rusaknya beberapa komponen ekosistem pesisir. Seperti kerusakan ekosistem terumbu karang, tutupan mangrove hilang atau berkurang di pantai, dan peningkatan abrasi pantai,” kata Widodo Setiyo Pranowo, peneliti Ahli Utama pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Saya menunjukkan sebuah peta, dengan tujuh titik pemukiman pesisir mengalami intrusi air laut, yakni di Kambunong (Mamuju Tengah), Tapandullu (Mamuju), Pelattoang dan Pesuloang (Majene), Tangnga-tangnga dan Mampie (Polewali Mandar).

Widodo merujuk data model Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2008, yang digunakan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2010.

Secara umum, kata Widodo, dalam model itu, wilayah pesisir Kambunong, Tapandullu, Pelattoang, Pesuloang, Tangnga-Tangnga, memiliki indeks kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim sangat rendah. Sedang wilayah pesisir Mampie, indeks kerentanan pesisir tinggi.

Namun, Widodo terkejut, ketika mengetahui wilayah itu kini mengalami krisis karena intrusi air laut yang menyusup ke sumur air tawar warga.

Kondisi ini, katanya, salah satu indikator peningkatan kerentanan pesisir secara cepat.

Widodo juga membandingkan dua data gelombang di pesisir Sulbar.

Data pada 2010 menunjukkan, tinggi gelombang di pesisir Sulbar bagian selatan mencapai 1-1,25 meter,  sedikit lebih tinggi daripada bagian utara, 0,75-1 meter.

Sedangkan, data terkini dari Januari 2021-Oktober 2023, Widodo menemukan, ketinggian maksimum dari gelombang di pesisir Sulbar, mencapai 2,3 meter.

“Ketinggian maksimum terjadi antara Desember hingga Januari,” kata Widodo.

Dengan begitu, katanya, berdasarkan analisis dari kedua dataset gelombang itu, diduga saat ini terjadi peningkatan cuaca laut ekstrem.

Frekuensi cuaca laut ekstrem yang meningkat selama 15 tahun (2008-2023) terakhir, kata Widodo, terjadi dalam waktu cukup cepat (rapid onset of climate change impact).

Peningkatan ini, katanya, akhirnya berpotensi meningkatkan indeks kerentanan pesisir Sulbar terhadap perubahan iklim.

Dia khawatir, dampak perubahan iklim secara cepat itu akan berkombinasi (coupling) dengan dampak lambat (slow onset of climate change impact), seperti kenaikan muka air laut.

Data pada 2020 terlihat, dalam dua abad terakhir, temperatur bumi terus naik hingga satu derajat celcius. Kalau temperatur bumi naik, begitu pula permukaan laut.

Lapisan es terakhir di belahan utara meleleh, menambah volume air laut, dan memberikan titik tertinggi pasang mencapai daratan, melewati tanggul laut, dan membanjiri segalanya di pesisir juga pulau-pulau kecil berdataran rendah.

Menurut IPCC, permukaan laut bisa naik sekitar dua meter, di akhir abad ini dan peristiwa ekstrem permukaan laut yang dulu sekali dalam satu abad akan terjadi saban tahun. Sejak 1993, air laut telahnaik setinggi 10,16 cm.

“Ketika terjadi peningkatan tinggi muka laut secara signifikan, maka gelombang laut akan makin leluasa menjalar ke pantai, meningkatkan potensi membanjiri daratan pantai,” kata Widodo.

Dengan begitu, katanya, akan makin meningkatkan potensi intrusi air laut ke air tanah di pesisir Sulawesi Barat.

Menurut laporan IPCC pada 2019, pada musim kekeringan, intrusi air laut kian meningkat.

Laut makin mendekati jalan di pesisir Pesuloan, Majene. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Gagal penuhi hak air bersih

Muhammad Reza Sahib, dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) mengatakan, secara tradisional, distribusi air di Indonesia tidak merata jadi perlu intervensi negara.

Bagi Reza, kawasan pesisir sudah lama terabaikan. Dia contohkan, betapa mudah pemerintah  izinkan aktivitas tambang di pesisir, yang berisiko merusak area itu termasuk cadangan air bersih.

Pengelolaan sumber air dan layanannya di pesisir Indonesia pun, katanya, amat buruk.

“Itu tanggung jawab siapa? Itu tanggung jawab negara.”

Hak air, katanya,  adalah hal dasar dalam hak ekonomi sosial dan budaya. “Hak atas air itu hak positif,  jika tidak dipenuhi maka terjadi pelanggaran.”

Pemerintah Sulawesi Barat tengah berupaya mengadakan air bersih di pesisir. “Yang lagi sementara proses itu di Majene dan Polewali Mandar,” kata Rachmad, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Barat.

Penanganan krisis air di pesisir, kata Lalong Tangdilinting, Kepala Bidang Cipta Karya, perlu upaya lain selain memanfaatkan sumber air dari sungai dan mata air.

Persoalan abrasi sampai intrusi air laut jadi momok bagi Pemerintah Sulawesi Barat. “Hasil pantauan kita, Desember 2022, ada beberapa daerah yang parah karena air laut sudah masuk sampai pemukiman,” kata Khaeruddin Anas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Barat.

“Itu tidak bisa kita pungkiri, itu adalah [penyebab] intrusi air laut.”

Pemerintah, katanya, telah menggelar penanaman satu juta mangrove dan melibatkan pelajar bersama warga pesisir, akhir tahun 2022. Harapannya, mangrove akan tumbuh dan jadi sabuk pelindung.

Penanaman mangrove itu mulai Desember, ketika musim barat hingga sebagian gagal hidup. “Tetapi di beberapa tempat, mangrove mulai tumbuh.”

Ketika Darwis menemani saya berkeliling di Mampie, dia menunjuk ke tanah. “Di sini itu pipa PAM.”  Pemerintah sudah memasang pipa di Mampie, beberapa tahun lalu, tetapi gagal beroperasi.

Warga bahkan membangun bak air setinggi lima meter. Awalnya, mereka dapat bantuan air. Truk bak air keluar masuk. Truk angkut air, katanya, hanya beberapa bulan lalu setop.

Darwis meminta PDAM Polewali Mandar, menyalurkan air bersih ke Mampie. Permintaan itu dikabulkan.

“Tapi hanya satu kali saja datang,” kata Darwis.

Kedua kalinya, permintaan Darwis tidak dikabulkan. “Katanya hanya untuk yang langganan saja.”

“Saya bilang, kami juga mau langganan. Tapi yah tidak ada lagi kabarnya.”

Kini, bak air hanya jadi penampung air hujan. Saat kemarau, bak itu kosong. Warga hanya mengandalkan air galon dan air bersih di Galeso, berkilo-kilo meter dari Mampie.

Darwis pun harus ke rumah keluarganya di dusun sebelah, berkilo-kilometer untuk ambil air bersih.

“Saya yang bayar tagihan PAM-nya tiap bulan, Rp35.000.”

Hingga kini, daerah-daerah pesisir di Sulawesi Barat ini, belum ada sumber air bersih pengganti setelah air sumur-sumur mereka asin. Sudahlah, hidup was-was karena pesisir terus terkikis, hak dasar air bersih pun tak terpenuhi…

*Liputan ini merupakan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023” terlaksana dengan dukungan SISJ, CNN Id Academy dan US Embassy.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di Mongabay.co.id

Previous
Previous

Krisis air di Pulau Siau: salah urus dan tak ada mitigasi

Next
Next

‘Ambon Keringe’ Krisis Air di Kota Ambon dan Hilangnya Wilayah Resapan