Krisis air di Pulau Siau: salah urus dan tak ada mitigasi

Wilhelmus Damar terlihat resah. Mobil pengangkut air belum juga tiba, sementara air tersisa beberapa ember. Wilhelmus, yang sudah berusia 64 tahun, terpaksa harus membeli air dari penjual air keliling. Hujan yang belum kunjung turun telah membuat bak penampungan air hujan di samping rumahnya kering.

Sebagaimana warga di Desa Kinali, Kecamatan Siau Barat Utara (Sibarut), Sulawesi Utara, Wilhelmus tak bisa berbuat apa-apa, kala musim kemarau datang. Mereka harus menyisihkan uang lebih untuk membeli air. Bukan hanya untuk air minum dan memasak, tetapi untuk semua keperluan.

“Beli dari Ulu. Di sana ada air hidop. Satu tong Rp 150 ribu, kalau satu galon Rp 5 ribu,” keluh Wilhelmus saat ditemui pada medio September 2023.

Air hidop yang dimaksud Wilhelmus adalah mata air di Ulu, daerah yang lebih beruntung dari Kinali. Berjarak sekitar 15 kilometer dari Kinali, mata air di Ulu menjadi harapan sebagian besar penduduk Pulau Siau saat musim kemarau.

Penduduk di Kampung Kinali dan kampung-kampung di Kecamatan Sibarut, melengkapi rumah mereka dengan bak penampungan air hujan. Itu cara yang mereka warisi sejak dulu untuk mendapatkan air.

“Sejak dari orang tua dulu memang tidak pernah gali sumur, termasuk sumur bor karena memang tidak akan dapat air,” jelas Wilhelmus.

Topografi di Kinali membuat penduduknya susah mendapatkan air. Semakin ke utara, topografi semakin sulit. Kampung-kampung di Sibarut ini berada di ketinggian, berbatu, dan tepat di punggung gunung api Karangetang, yang aktif setiap saat.

Jika musim kemarau tiba, penduduk yang tinggal di Sibarut tak akan mendapatkan air. Setetespun. Akibatnya 4.110 jiwa penduduk (BPS Sitaro, 2023) yang tinggal di 8 kampung di Sibarut (Kinali, Kiawang, Kawahang, Batubulan, Nameng, Mini, Winangun dan Hiung) kesulitan mendapatkan air bersih. Dampaknya tak hanya soal memenuhi kebutuhan air bersih harian, tapi juga berdampak terhadap tanaman dan ternak.

Hopni Kawowode, 74 tahun, warga Kinali, memeriksa bak penampungan air hujan di samping rumahnya. Saat kemarau, bak itu kosong. (Foto: Ronny A. Buol)

“Pernah kemarau sampai sembilan bulan. Tanaman pala sampai kering. Tak ada air sama sekali. Kami terpaksa turun ke pantai,” kenang Wilhelmus.

Hopni Kawowode, 74 tahun, tetangga Wilhelmus, juga punya bak penampungan air hujan. Ukurannya bahkan lebih besar. Bak berukuran 3 meter kali 4 meter dengan kedalaman 3,6 meter itu dibuatnya pada 2005. Bak berkapasitas 43.200 liter inilah yang menjadi topangan mereka untuk cadangan air saat hujan tak turun.

“Jika hujan datang dan cukup lama, bak terisi penuh, cukup untuk kami gunakan selama berbulan-bulan,” jelas Hopni yang punya tanggungan tiga orang di rumah tangganya.

Namun kemarau yang cukup panjang tahun ini, telah membuat Hopni seperti Wilhelmus, harus membeli air.

“Untuk mengisi tandon air berukuran sekitar 1100 liter saya keluar uang Rp 175 ribu, untuk pemakaian sekitar dua minggu” kata Hopni, kala ditemui sedang membuat minyak kelapa secara tradisional itu.

Situasi lebih sulit dialami Melkisedek Tahulending, 52 tahun, yang tinggal di Kampung Kawahang, sekitar 7 km dari Kinali. Tak hanya kesulitan air, akses jalan ke kampung yang nyaris di ujung pulau ini begitu sulit. Kendaraan pengangkut air harus berhati-hati jika tidak tergelincir. Jalan berlubang, aspal tak mulus, memotong kontur tebing dan di tepi jurang acapkali membuat kendaraan terjungkal.

Belum lagi, rumah-rumah penduduk yang berada di ketinggian, jauh dari akses jalan utama, seperti rumah Melkisedek. Ia siang itu harus memikul puluhan jerigen air yang dibelinya dari penjual air keliling dari Paniki. Mobil pengantar air tidak bisa menjangkau rumahnya. Dengan kemiringan sekitar 45 derajat, Melkisedek harus mengangkut 33 jerigen air siang itu, sebelum ditampung di sebuah tandon. Beruntung kernet mobil pengangkut air mau membantunya.

“Setiap hari beli air, karena di sini tidak ada sama sekali air. Hari ini 33 jerigen, mau bikin batako,” ujar Melkisedek.

Untuk 33 jerigen air masing-masing berisi 25 liter itu, dia harus membayar Rp 150 ribu. Harga itu belum termasuk ongkos pikul dari jalan ke rumah. Semakin jauh dan tinggi letak rumah, semakin mahal ongkos pikulnya.

Tapi itulah yang dialami oleh penduduk di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) yang tinggal di daerah yang tidak bisa mendapatkan air tanah. Kondisi semakin sulit bagi mereka yang bermukim di kampung yang berada di ketinggian.

Kampung Winangun, misalnya. Letak kampung ini yang hanya berjarak sekitar 3 km dari kawah Karengatang, membuat pemerintah kesulitan membangun jalan. Sehingga, hingga kini tak ada jalan yang memadai untuk dilewati kendaraan roda empat untuk sampai di Winangun.

“Saat kemarau seperti sekarang, warga saya memang sangat menderita. Mereka harus mengambil pasokan air dari bawah sini, pikul ke atas. Jauh. Tidak semua punya nyali naik motor dengan jalan yang sangat mendaki dan curam itu,” kata Kepala Kampung Winangun, Frangky Tatambihe, kala ditemui di rumahnya, Rabu, 13 September 2023.

Frangky harus mengajukan permohonan ke pemerintah kabupaten melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk memasok air bagi warganya. Pasokan air yang datang pun harus dijatah ke warganya, karena tak hanya Winangun, banyak kampung lainnya di pulau Siau yang juga mengajukan permohonan bantuan air.

Mobil tangki yang mengangkut air tak bisa mendaki ke Winangun. Air ditampung di rumah Frangky yang berada di tepi jalan di Kampung Kinali. Warga Winangun kemudian datang mengambil air yang dijatah tersebut.

“Setiap rumah dapat jatah 5 jerigen berukuran 25 liter air. Mereka harus bawa ke atas, mendaki sekitar 1 kilometer. Ya sulit, tapi di atas sudah tidak ada air sama sekali,” jelas Frangky.

Belajar dari kondisi saat ini, Frangky berjanji akan mengalokasikan dana desa pada tahun depan untuk menambah pembangunan penampungan air bagi warganya.

“Sudah ada 9 bak penampungan yang kami bangun dengan dana desa, dan setiap rumah juga punya bak penampungan sendiri-sendiri. Tapi jika kemarau panjang seperti saat sekarang, air habis,” keluh Frangky.

Topografis Pulau Siau

Keluhan masyarakat yang tinggal di Siau Barat Utara hanyalah sebagian kecil dari persoalan ketersediaan air di Pulau Siau, salah satu pulau besar dan utama di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro).

Kabupaten Sitaro merupakan satu dari tiga kabupaten kepulauan yang ada di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Sitaro adalah daerah pemekaran dari kabupaten induknya Kabupaten Sangihe dan Talaud. Sitaro menjadi daerah otonomi baru sejak tahun 2007. Selain sebagai kabupaten kepulauan, Sitaro juga merupakan kabupaten perbatasan. Pulau Makalehi yang masuk dalam wilayah administrasi Sitaro merupakan salah satu dari 11 pulau terluar yang ada di Sulut. Makalehi berbatasan dengan negara Filipina.

Jumlah penduduk Sitaro hingga akhir tahun 2021 sebanyak 72.135 jiwa, yang mendiami wilayah pada tiga gugusan pulau besar, yakni pulau Biaro, pulau Tagulandang dan pulau Siau. Total ada 47 pulau yang masuk dalam wilayah administrasi Sitaro, 10 diantaranya berpenghuni. Pulau Siau dengan luas 125,05 km2 menjadi pulau utama, pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat perekonomian masyarakat Sitaro.

Daerah datar relatif sempit dan umumnya hanya terdapat di pesisir pantai yang dijadikan tempat pemukiman penduduk, seperti di Ulu, Ondong (Pulau Siau), Buhias (Pulau Tagulandang) dan Lamanggo (Pulau Biaro). Daerah yang memiliki bentuk berombak dan bergelombang di Pulau Siau dapat dijumpai di Pihise dan Pangirolong, sedangkan di Pulau Tagulandang dapat dijumpai di Apengmulengen. Luas dan penyebaran dari kemiringan lereng Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dapat dilihat pada tabel berikut.

Kondisi yang sulit ini membuat beberapa kampung hingga kini bahkan belum terjangkau signal seluler, akses jalan yang sulit serta berbagai infrastruktur yang belum memadai termasuk akses terhadap air baku dan air bersih.

Penjual air sedang membantu warga mengangkut jerigen berisi air bersih, di kampung Kawahang, Siau Barat Utara. (Foto: Ronny A. Buol)

Salah urus sumber air

Di beberapa kampung di pulau Siau, sebenarnya tersedia cadangan air baku yang cukup, seperti yang ada di mata air Akelabo yang ada di Kelurahan Akesimbeka, yang sejak dulu dimanfaatkan sebagai sumber air baku PDAM Ulu untuk melayani sebagian masyarakat pelanggan di Ulu dan Ondong Timur serta kampung-kampung sekitarnya. Selain itu ada pula Danau Kapeta di Siau Barat Selatan, yang meski belum maksimal tetapi airnya sudah dimanfaatkan untuk air baku bagi pasokan air ke masyarakat di Biau, Sawang hingga ke Ulu dan Ondong Barat Selatan.

Beberapa sumber mata air lainnya yang sejak dulu dimanfaatkan oleh warga bisa dijumpai di mata air Tumbio, Biau, dan Tumbule. Ketiga mata air tersebut terletak di lereng Gunung Karangetang.  

Tetapi pemanfaatan sumber air baku ini, belum dimaksimalkan oleh Pemerintah Kabupaten Sitaro. Seperti pemanfaatan air dari Danau Kapeta. Instalasi pengolahan air baku dari Danau Kapeta sudah dibangun oleh Pemerintah Pusat sejak tahun 2006. Namun hingga sekarang, Sistem Penyediaan Air Minum berkapasitas 20 liter/detik yang dibangun di Mburake, Kampung Talawid tersebut tidak termanfaatkan dengan maksimal.

Pada tinjauan ke lokasi yang dilakukan Zonautara.com pada medio September 2023, instalasi tersebut nampak tak terurus. Air yang tertampung meluber keluar dari bak reservoir. Tak ada aktivitas sama sekali. Bangunan kantor nampak rusak dan tak terawat. Perabotan di dalam gedung kantor berantakan, dan mesin-mesin pengolah air baku tak jalan sama sekali.

Keluhan terhadap penyaluran air dari Sistem Penyediaan Air Minum itu dikeluhkan oleh warga yang tinggal di Kampung Biau, yang hanya berjarak sekitar 3 km dari bak reservoir. Selain air dari instalasi penyediaan air minum tersebut masih terasa lengket, pipa distribusi ke rumah warga tak diurus. Sebagian besar rusak, dan air meluber begitu saja ke jalan dan got.

“Sudah sejak tahun lalu air tidak bisa naik sampai rumah. Terpaksa kami mandi di jalan seperti ini,” ujar ibu-ibu yang ditemui saat sedang mandi di tepi jalan di Biau Seha. Mereka menadah air yang meluber dari pipa transmisi yang bocor.

Saat ditemui di kantornya, Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Enos Mandulung menjelaskan bahwa tidak berfungsinya Sistem Penyediaan Air Minum di Mburake itu karena belum ada penyerahan dari Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang membangun instalasi tersebut melalui Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Minum Provinsi Sulut. Padahal instalasi yang jika dimaksimalkan tersebut akan mampu mengatasi sebagian dari persoalan air di Pulau Siau.

“Hingga kini belum dihibahkan ke Pemkab Sitaro. Kami sudah berusaha jemput bola. Terakhir bulan lalu (Agustus 2023 -red). Mereka juga sudah mau serahkan tapi, masih tunggu waktu untuk pengecekan bersama” jelas Enos Mandulung, yang didampingi Kepala Bidang Cipta Karya, Jun Sabanari.

Mandulung mengakui bahwa pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa selama Sistem Penyediaan Air Minum tersebut belum diserahkan kepada Pemkab Sitaro. Bahkan untuk menitip petugas pun mereka tidak punya kewenangan.

Tak hanya soal instalasi yang ada di Mburake yang tidak beres diurus. Beberapa fasilitas air minum dan sanitasi yang dibangun lewat Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pansimas) juga terbengkalai. Salah satunya yang ada di Bumbiha, Kecamatan Siau Barat. Bak penampung yang dibangun melalui Program Pansimas sejak 2018 itu tidak dimanfaatkan. Pompa air yang dipasang untuk mendorong air dari sumur di bawahnya ke bak reservoir tidak jalan.

Mantan Kepala Kampung Bumbiha, Welmi Kinsale menyesalkan pembangunan Pansimas yang tidak dapat menampung air tersebut. Ada dua instalasi Pansimas yang dibangun di Bumbiha.

“Mungkin perencanaannya yang kurang tepat, sehingga bak penampungannya kosong,” ujar Welmi.

Padahal menurut Welmi yang kini membuka usaha depot air bersih di rumahnya, selama dia menjabat kepala kampung (2005-2016) dia mampu membangun 10 sumur bor di lokasi-lokasi strategis di Bumbiha.

“Semuanya ada air dan jalan hingga sekarang. Padahal dulu belum ada dana desa, tapi kami bisa buat sumur bor,” jelas Welmi.

Instalasi air bersih di Depot Grace Almighty yang dibuatnya dengan modal sekitar Rp 50 juta, saat ini mampu mendistribusikan sekitar 100 galon air setiap hari. Produknya adalah air siap minum.

“Sumber airnya tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau seperti saat ini. Kalau perencanaannya bagus, pasti air bagusnya,” kata Welmi.

Pansimas sendiri telah hadir di Sitaro sejak 2017, dengan alokasi dana pendamping APBD sebesar Rp 735 juta, disusul tahun berikutnya (2018) dengan alokasi anggaran hampir sama dengan tahun 2017. Pada 2019, Pemkab Sitaro kembali menggelontorkan APBD sebesar Rp 1,255 milyar untuk membiayai pembangunan Pansimas di 5 desa sasaran, sehingga total intervensi desa sasaran menjadi 25 desa. Sebaran Pansimas di Sitaro antara lain terdapat di Kampung Buhias, Kampung Tapile, Kampung Dalinsaheng, Kampung Karugo, dan Kampung Tope. Selain itu ada pula di Pehe Kecamatan Siau Barat, serta di Kampung Matole Kecamatan Siau Timur Selatan.

Kondisi seperti di Bumbiha juga dikeluhkan oleh Delfis Bawulele, 48 tahun warga Kampung Buhias yang juga ada Pansimas. Menurutnya, setiap saat mereka yang tinggal di pulau Buhias harus mengambil air di Ulu. Tak mudah bagi mereka, karena harus menggunakan perahu untuk dapat mengakses air bersih.

“Setiap ke pasar kami harus membawa jerigen. Pulangnya diisi dengan air. Beruntung airnya tidak dibeli karena bisa ambil gratis di pasar Ulu. Tapi itu hanya untuk mandi dan mencuci. Kalau untuk minum beli air mineral atau isi air galon isi ulang,” ujar Delfis ketika ditemui di dermaga perikanan Pasar Ulu saat bersiap bertolak kembali ke Buhias bersama puluhan warga pulau lainnya.

Menurut Delfis, pompa air yang dibangun di Buhias itu tidak layak digunakan, meski sekadar untuk mencuci apalagi untuk keperluan masak dan minum. Airnya terasa asin dan tidak segar. Sementara sumur bor yang dibangun dari dana Pansimas juga tidak bisa digunakan, pompanya tidak berfungsi karena air tidak ada.

Warga yang tinggal di Pulau Buhias bersiap kembali ke pulau setelah beraktifitas di Pasar Ulu. Kedatangan di Pasar Ulu sekaligus dimanfaatkan untuk membawa pulang air bersih. (Foto: Ronny A. Buol)

Jalan Keluar Yang Tak Mudah

Penyediaan air bersih terutama air minum merupakan salah satu kebutuhan dasar dan hak sosial ekonomi masyarakat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.  Ketersediaan air bersih yang mencukupi dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dan dapat mendorong peningkatan produktivitas masyarakat, sehingga dapat terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, penyediaan sarana dan prasarana air minum menjadi salah satu kunci dalam pengembangan ekonomi wilayah.

Tugas dan wewenang Pemerintah untuk mengatur dan mengelola sumber daya air, termasuk tugas untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat, telah diatur dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Pemerintah termasuk di dalamnya Pemerintah Daerah diamanatkan untuk menjalankan pengembangan sistem penyediaan air minum. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan kebutuhan air baku yang keberadaannya diperlukan dan diutamakan bagi pemenuhan air minum rumah tangga.

Penyediaan air bersih di Pulau Siau menghadapi tantangan sendiri mengingat kondisi geografis, topografis dan hidrologis pulau ini. Secara geografis Kabupaten Sitaro merupakan wilayah kepulauan, termasuk Pulau Siau. Kondisi topografis Pulau Siau bervariasi yaitu dari dataran landai, kelerengan curam sampai dataran tinggi dan puncak gunung Karangetang dengan ketinggian mencapai +/- 1.827 m dpl, yang sangat aktif di bagian utara pulau Siau. Keaktifan gunung berapi ini meski memberi pengaruh bagi kesuburan lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang ada di sekitarnya, tetapi menyebabkan beberapa wilayah terutama di Siau Barat Utara sangat kesulitan mendapatkan air.

Secara hidrologis, di pulau Siau terdapat sungai Kapeta, yang berasal dari Danau Kapeta dan Akelabo. Kedua sumber ini dijadikan sebagai sumber air bersih utama bagi penduduk di sekitarnya. Di pulau ini juga terdapat tiga mata air lainnya yang potensial untuk dijadikan sumber air bersih bagi kebutuhan penduduk, yakni mata air Tumbio, Biau, dan Tumbule. Namun ketiga mata air tersebut yang terletak di lereng Gunung Karangetang menjadi tantangan tersendiri dalam pemanfaatannya.

“Kami terus melakukan kajian, bagaimana mengatasi persoalan air ini terutama di Siau Barat Utara, karena memang di sana tidak ada sumber air tanah. Berharap kedepan ada teknologi tepat guna yang bisa diterapkan untuk menjaring air,” ujar Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Enos Mandulung.

Bersambung ke: Kabar Buruk Dari Masa Depan

Liputan ini atas dukungan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023”, yang terlaksana dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Id Academy, dan US Embassy.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di zonautara.com 

Previous
Previous

Krisis air di Pulau Siau: kabar buruk dari masa depan

Next
Next

Krisis Air Bersih Hantui Warga Kala Abrasi Kikis Pesisir Sulawesi Barat