Krisis Iklim di Dalam Pot Pepaya dan Air Warga Pulau Pari yang Musnah

Sejak lima tahun terakhir, Arief Pujianto tak dapat lagi menanam pohon langsung di atas tanah. Dia terpaksa menanam pohon di dalam pot karena tanah di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sering disapu oleh rob.

"Sudah enggak bisa lagi ditanam di tanah langsung, harus di pot kalau sekarang," kata Arief sambil menunjuk pohon pepaya yang ditanam di dalam pot hitam berukuran sedang. Diameternya sekitar 30 cm.

Ada banyak pohon lain ditanam dengan model yang sama seperti pohon pepaya itu. Hampir semuanya menggunakan pot.
"Kalau enggak di pot ya bakal kayak gitu, bakal mati," ujar Arief di hadapan istrinya yang tengah mencabut mentimun.

Istri Arif terpaksa harus mencabuti tanaman itu karena sudah tak ada harapan hidup lagi. Tanaman itu mati setelah direndam rob beberapa hari sebelumnya.

Sejak rob sering bertamu ke rumahnya tanpa segan-segan, tak ada tanaman yang tumbuh dengan sehat. Air laut yang masuk ke dalam tanah semakin banyak.

Jika tak mati, tanaman dan pohon itu akan tumbuh dengan kerdil serta daunnya menguning dengan cepat.

"Buah kundur juga udah enggak bisa produksi. Dulu Cuma sekali keambil, sisanya di saat udah berbuah, rob datang, dan hancur jadinya," kata Arif.

"Meskipun di pulau, dulu baik baik aja [tanaman], enggak pernah kayak gini, harus pakai pot," lanjutnya.
Bukan sekadar mata-pencaharian

Bercocok tanam sendiri bagi keluarga Arif sangat penting. Sebagai warga yang tinggal di pulau kecil, berbelanja tak sesederhana menyalakan motor lalu pergi ke pasar.

Luasan Pulau Pari sekitar 41,3 hektare. Berdasarkan data BKKBN tahun 2022, Pulau Pari dihuni oleh 1.109 penduduk dengan kepadatan Penduduk 3.736 Jiwa.

Mayoritas penduduk bermata-pencaharian sebagai nelayan. Namun, semenjak banjir rob sering terjadi, warga juga mulai mencari peruntungan dari pariwisata, seperti menyewakan kamar penginapan, menjadi pemandu wisata hingga berdagang.

Para pedagang harus menyeberangi laut menuju ke Tangerang atau Jakarta Utara--warga pulau menyebutnya 'daratan'-- untuk bisa menyediakan stok dagangannya.

Bukannya tak ada sayur dan buah, tetapi menanam sendiri adalah pilihan yang paling efektif. Arif tak harus menunggu stok yang diambil dari daratan. Selain itu, pengeluaran untuk kebutuhan pokok sehari-hari pun tak boncos.

"Buat konsumsi pribadi," ujarnya.

Selain bercocok tanam di pekarangan rumah, warga Pulau Pari juga mempunyai kebun yang dikelola secara komunal. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, kebun komunal itu juga bentuk perlawanan atas perusahaan yang ingin menguasai tanah yang telah ditinggali mereka sejak masa kolonialisme.

Kebun komunal itu berlokasi di RT 01 RW 01, dekat dengan Pantai Rengge. Di kebun itu banyak jenis tanaman dan pohon, mulai dari pokcoy, kangkung, hingga pohon pisang.

Asmaniah alias Aas, salah satu warga Pulau Pari yang aktif berkebun mengatakan banyak warga yang sudah melakukan berbagai cara, termasuk berdemo dan audiensi ke Kantor Pemprov DKI Jakarta, tetapi belum membuahkan hasil. Suaranya tak pernah didengar.

Padahal, untuk sampai ke sana, warga Pulau Pari harus menyeberangi lautan dan mengeluarkan uang. Aas dan warga Pulau Pari lainnya pun mencari alternatif untuk tetap melawan perusahaan.

Menurutnya, berkebun adalah salah satu cara yang cukup efektif agar perusahaan tidak bisa dengan mudah menguasai tanah mereka.

"Kita udah capek demo-demo ke Jakarta demo kan itu harus mengeluarkan uang yang enggak sedikit ya. Kita buat sewa kapalnya, buat sewa mobil ke sananya. Cara berlawan kita, perempuan-perempuan sini ya sekarang berkebun juga," kata Aas.

Dari total luas Pulau Pari sekitar 41,3 hektare, sebanyak 39,7 hektar di antaranya telah berpindah tangan ke pihak lain sejak 1989.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Walhi), terdapat 61 sertifikat dengan total luas 14,4 hektar atas nama perorangan serta 14 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Sebanyak 14 SHGB itu atas nama dua perusahaan yakni PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griya Nusa. Keduanya merupakan anak perusahaan PT Bumi Raya Utama.

Menurut Aas, sertifikat yang dikantongi oleh perusahaan dan pihak yang tak dikenal itu bermasalah. Pasalnya, dia dan ratusan warga pulau Pari lainnya tidak merasa pernah menjual tanah mereka kepada siapa pun.

Dia merasa warga Pulau Pari dibohongi dan ditipu. Tahun 1985, warga Pulau Pari dijanjikan akan mendapat pemutihan. Warga pun diminta menyerahkan surat-surat dan salinan identitas pribadi untuk pemutihan tersebut.

Namun, bukan hak kepemilikan tanah yang warga dapat, beberapa tahun kemudian warga dikejutkan dengan kemunculan perusahaan yang mengaku pemilik izin penguasaan tanah di Pulau Pari.

Aas mengaku tak akan pernah berhenti mempertahankan tanahnya. Sebab, nenek moyangnya jauh lebih dulu tinggal di Pulau Pari, ketimbang orang-orang perusahaan.

"Kenapa kita masih konsisten untuk berjuang, kenapa kita kekeh untuk memperjuangkan walaupun kita ngga punya surat-suratnya? Surat-surat tanah kita ga punya tapi dulu kita ada girik orang tua kita," uar Aas.

"Nah giriknya itu diambil sama pihak oknum kelurahan. Katanya mau bikin pemutihan. Namanya orang pulau mah ya kasih aja, ternyata dimanipulasi," lanjutnya.

Berdasarkan hasil penyelidikan Ombudsman RI, ditemukan adanya dugaan maladministrasi dalam penerbitan 62 SHM dan 14 SHGB atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griya Nusa.

Hal itu tertuang dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya (Ombudsman Jakarta) Nomor 0314/LM/IV/2017/JKT pada tanggal 9 April 2018.

Cerita turun-temurun

Jika ditelusuri dari rekam jejak keluarga Mustaghfirin alias Boby, tokoh yang dihormati di Pulau Pari, warga telah tinggal lebih dari 100 tahun di pulau koral itu.

Boby bercerita kebanyakan warga yang tinggal di Pulau Pari adalah keturunan Banten. Begitu pula dengan nenek dan kakeknya.

Kala itu, kata Boby, kakek-nenek dan sejumlah warga Banten yang lain melarikan diri dari kolonialisme Belanda ke Kepulauan Seribu. Awalnya, mereka tinggal di Pulau Tidung.

Namun, sebagian pindah ke Pulau Pari, termasuk kakek dan neneknya. Kini, sudah tujuh generasi dari kakek-neneknya yang lahir dan tinggal di Pulau Pari.

Boby sendiri lahir tahun 1972. Sementara ibunya lahir tahun 1942. Ibunya adalah anak terakhir dari delapan bersaudara. Semua saudara ibunya lahir dan besar di Pulau Pari.

"Kita itu pelarian dari Banten di saat waktu dulu zaman Belanda. Di sini hanya ada segelintir orang yang tinggal, bisa dihitung dengan jari," kata Boby.

Oleh sebab itu, ketika perusahaan datang mengklaim tanah mereka, Boby juga membuat Forum Peduli Pulau Pari (FPPP). Kini, dia juga turut berkebun dengan Aas.

Para lelaki di Pulau Pari lebih banyak mengurus tanaman yang langsung ditanam di tanah, sementara para perempuan lebih banyak mengurus tanaman yang ditanam dengan metode hidroponik.

Misalnya, berkebun membutuhkan banyak air. Sementara, air di Pulau Pari terbatas. Untuk mengairi perkebunan, warga mengandalkan air tanah yang berasal dari beberapa sumur yang ada di sana.

Lanjutan masalahnya lagi, air sumur itu tak selalu bisa digunakan untuk menyiram tanaman jika tercampur dengan air laut yang masuk akibat rob.

Warga pun kerap menggunakan air yang sudah didesalinasi semata-mata agar tanaman itu tetap tumbuh dengan sehat.

Sementara itu, air hasil desalinasi bisa didapat dengan membeli. Harganya memang cukup terjangkau. Namun, jika dibeli dalam jumlah banyak dan dipakai untuk sehari-hari, gocek yang harus dikeluarkan lumayan juga.

Pendapat warga dari hasil melaut rata-rata Rp2 juta. Sementara itu, harga air per jeriken (30 liter) Rp2 ribu. Setiap rumah rata-rata mengisi 20 jeriken untuk seminggu. Dengan begitu, warga harus mengeluarkan sekitar Rp160 ribu per bulan untuk membeli air.

Sejumlah warga banyak juga yang membeli air dalam kemasan galon untuk minum. Harga per galon Rp20 ribu. Dalam satu bulan, paling tidak, warga mengisi galon dua kali. Jika ditotal, seminimumnya, warga mengeluarkan Rp200 ribu untuk membeli air bersih dan air minum.

"Kami butuh air untuk berkebun," kata Aas.

Krisis Air

Sialnya, beberapa tahun terakhir banjir rob makin rajin terjadi. Air bersih semakin sulit diakses. Mau tak mau, warga Pulau Pari harus lebih banyak membeli air, untuk menyiram tanaman, untuk minum, untuk mencuci baju, bahkan untuk mandi.

Frekuensi kejadian banjir rob di Pulau Pari mulai meningkat sejak tahun 2000-an. Paling parah, banjir rob terjadi pada 2019. Saat itu, rob menggenangi hampir seluruh daratan pulau. Pepohonan banyak yang tumbang.

Tak ada air sumur yang bisa dipakai saat itu karena sudah tercampur dengan air laut.

Pengamat Meteorologi dan Geofisika, Andang Kurniawan menjelaskan banjir rob sangat dipengaruhi oleh pola angin. Ketika pola yang dipengaruhi gerak bulan terjadi pada kondisi gelombang tinggi, maka dampaknya dapat menjadi lebih buruk.

Andang menyebut pola angin juga sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer. Dalam kondisi perubahan iklim terjadi, atmosfer akan mengalami pemuaian yang berbeda dari normalnya, hal ini akan memicu banjir rob yang berbeda dengan sebelumnya.

"Bukan makin sering tapi makin parah, gelombangnya makin tinggi," kata Andang, 16 Oktober 2023.

Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir BRIN Widodo Setiyo Pranowo intensitas banjir rob di pulau pulau kecil seperti Pulau Pari kemungkinan bisa diakibatkan oleh dua faktor besar.

Pertama bisa karena faktor krisis iklim, baik yang berjalan secara cepat (rapid onset) maupun yang berjalan lambat (slow onset). Slow onset contohnya kenaikan muka air laut (sea level rises), sementara rapid onset contohnya adalah perubahan cuaca yang cepat.

Kedua, bisa karena faktor lokal yakni adanya pembangunan di dalam dan atau di sekitar pulau tersebut.

Dalam konteks Pulau Pari, Widodo menduga ada pengaruh dari kedua jenis krisis iklim. Namun, menurutnya, perlu dilakukan observasi langsung dan menyeluruh untuk mengetahui persis penyebab intensitas rob semakin tinggi di Pulau Pari.

"Kayaknya ini udah nyampur antara rapid dan slow onset-nya. Jadi ini yang harus bisa ditilik," kata Widodo saat dihubungi pada akhir September.

Selain itu, Widodo juga tak menampik jika ada kemungkinan pengaruh dari faktor lokal. Pulau Pari berdekatan dengan Pulau Tengah (H).

Di sana, masih ada proyek reklamasi untuk pembuatan dermaga. Sebelum reklamasi dermaga, reklamasi untuk pembuatan vila-vila juga sudah dilakukan lebih dulu.

"Bisa jadi secara lokal kemungkinan ada dampaknya, tapi saya belum bisa menyimpulkan. Nah itu harus ditanyakan ke Pemda. Karena itu kan harus ada AMDAL sebelum dilakukan reklamasi atau apapun," ucap dia.

Banjir rob yang sering dan parah bisa menyebabkan intrusi air laut. Jika melihat fenomena tanaman yang kerap mati jika ditanam langsung di tanah, Widodo memprediksi ada pengaruh dari intrusi air laut.

"Karena dia enggak tahan air laut kan ya," kata dia.

Satu alat desalinasi tak cukup

Di Pulau Pari, terdapat alat desalinasi air payau untuk pengadaan air minum di Pulau Pari, Brackish Water Reverse Osmosis Osmosis (BWRO). Alat itu dihadirkan oleh Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta.

Dengan kehadiran BWRO itu, warga tentu merasa terbantu, meskipun masih harus membayar. Namun, alat itu hanya ada satu untuk memenuhi kebutuhan warga satu pulau. Belum lagi, untuk para wisatawan.

Warga merasa butuh paling tidak satu alat lagi untuk memenuhi kebutuhan air di Pulau Pari. Hal itu juga diamini oleh petugas BWRO, Reli Mujianto.

Reli juga merasa satu alat desalinasi tak cukup. Apalagi, alat itu beberapa kali macet. Jika kondisi itu terjadi, tak ada yang bisa dilakukan warga selain menunggu alat kembali berjalan.

"Memang harus ditambahkan, minimal satu lagi. Kalau ada dua kan enak. Satu macet, kita bisa pakai satu lagi. Kadang kadang kita rusak dua hari, udah teriak warga. Kita sempat ngajuin penambahan RO ini, tapi kan di sini masalahnya lahan. Kendalanya di lahan," kata Reli saat ditemui 3 Agustus 2023.

Kepala Seksi Pemeliharaan Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Glen Santista mengatakan pihaknya juga ingin menambah alat desalinasi di Pulau Pari. Namun, hal itu terhambat karena hampir seluruh tanah di Pulau Pari dikuasai oleh swasta.

"Terkait rencana penambahan alat desalinasi pemprov masih terkendala masalah aset yg mana sebagian lahan masih milik swasta, sehingga ketika mau bikin alat desalinasi kita terkendala untuk trase jaringan air bersihnya," kata Glen kepada CNNIndonesia.com, awal September.

Glen mengatakan pihaknya juga terhambat untuk mengadakan alat Sea Water Reverse Osmosis (SWRO), alat desalinasi air laut menjadi air layak pakai. Oleh sebab itu, SWRO diprioritaskan untuk pulau-pulau lain, sementara Pulau Pari belum ada.

SWRO hanya ada di Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, Pulau Kelapa Dua, Pulau Payung, Pulau Untung Jawa, Pulau Lancang, Pulau Tidung, Pulau Karyadan Pulau Sebira.

Glen mengaku saat ini pihaknya masih berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait rencana penambahan alat desalinasi.

Terkait tarif air desalinasi, Glen menyebut Dinas SDA belum bisa menggratiskannya. Dia mengatakan tarif air yang diberikan kepada warga sudah disubsidi.

"Rencana untuk menggratiskan belum ada mbak. karena tarif air bersih yang dikelola Dinas SDA sudah diatur dalam perda," ujarnya.

Dalam konteks Pulau Pari, Widodo menduga ada pengaruh dari kedua jenis krisis iklim. Namun, menurutnya, perlu dilakukan observasi langsung dan menyeluruh untuk mengetahui persis penyebab intensitas rob semakin tinggi di Pulau Pari.

"Kayaknya ini udah nyampur antara rapid dan slow onset-nya. Jadi ini yang harus bisa ditilik," kata Widodo saat dihubungi pada akhir September.

Selain itu, Widodo juga tak menampik jika ada kemungkinan pengaruh dari faktor lokal. Pulau Pari berdekatan dengan Pulau Tengah (H).

Di sana, masih ada proyek reklamasi untuk pembuatan dermaga. Sebelum reklamasi dermaga, reklamasi untuk pembuatan vila-vila juga sudah dilakukan lebih dulu.

"Bisa jadi secara lokal kemungkinan ada dampaknya, tapi saya belum bisa menyimpulkan. Nah itu harus ditanyakan ke Pemda. Karena itu kan harus ada AMDAL sebelum dilakukan reklamasi atau apapun," ucap dia.

Banjir rob yang sering dan parah bisa menyebabkan intrusi air laut. Jika melihat fenomena tanaman yang kerap mati jika ditanam langsung di tanah, Widodo memprediksi ada pengaruh dari intrusi air laut.

"Karena dia enggak tahan air laut kan ya," kata dia.

Satu alat desalinasi tak cukup

Di Pulau Pari, terdapat alat desalinasi air payau untuk pengadaan air minum di Pulau Pari, Brackish Water Reverse Osmosis Osmosis (BWRO). Alat itu dihadirkan oleh Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta.

Dengan kehadiran BWRO itu, warga tentu merasa terbantu, meskipun masih harus membayar. Namun, alat itu hanya ada satu untuk memenuhi kebutuhan warga satu pulau. Belum lagi, untuk para wisatawan.

Warga merasa butuh paling tidak satu alat lagi untuk memenuhi kebutuhan air di Pulau Pari. Hal itu juga diamini oleh petugas BWRO, Reli Mujianto.

Reli juga merasa satu alat desalinasi tak cukup. Apalagi, alat itu beberapa kali macet. Jika kondisi itu terjadi, tak ada yang bisa dilakukan warga selain menunggu alat kembali berjalan.

"Memang harus ditambahkan, minimal satu lagi. Kalau ada dua kan enak. Satu macet, kita bisa pakai satu lagi. Kadang kadang kita rusak dua hari, udah teriak warga. Kita sempat ngajuin penambahan RO ini, tapi kan di sini masalahnya lahan. Kendalanya di lahan," kata Reli saat ditemui 3 Agustus 2023.

Kepala Seksi Pemeliharaan Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Glen Santista mengatakan pihaknya juga ingin menambah alat desalinasi di Pulau Pari. Namun, hal itu terhambat karena hampir seluruh tanah di Pulau Pari dikuasai oleh swasta.

"Terkait rencana penambahan alat desalinasi pemprov masih terkendala masalah aset yg mana sebagian lahan masih milik swasta, sehingga ketika mau bikin alat desalinasi kita terkendala untuk trase jaringan air bersihnya," kata Glen kepada CNNIndonesia.com, awal September.

Glen mengatakan pihaknya juga terhambat untuk mengadakan alat Sea Water Reverse Osmosis (SWRO), alat desalinasi air laut menjadi air layak pakai. Oleh sebab itu, SWRO diprioritaskan untuk pulau-pulau lain, sementara Pulau Pari belum ada.

SWRO hanya ada di Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, Pulau Kelapa Dua, Pulau Payung, Pulau Untung Jawa, Pulau Lancang, Pulau Tidung, Pulau Karyadan Pulau Sebira.

Glen mengaku saat ini pihaknya masih berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait rencana penambahan alat desalinasi.

Terkait tarif air desalinasi, Glen menyebut Dinas SDA belum bisa menggratiskannya. Dia mengatakan tarif air yang diberikan kepada warga sudah disubsidi.

"Rencana untuk menggratiskan belum ada mbak. karena tarif air bersih yang dikelola Dinas SDA sudah diatur dalam perda," ujarnya.

Liputan ini merupakan program Fellowship "Archipelago of Drought 2023" terlaksana dengan dukungan SISJ, CNN Id Academy dan US Embassy

Artikel ini sebelumnya telah terbit di CNNindonesia.com

Previous
Previous

Perang Tak Imbang Warga Pulau Pari Melawan Krisis Iklim

Next
Next

Reklamasi, Krisis Iklim, dan Pulau Pari yang Tak Lagi Punya Air Tawar