Citizen Scientist di Indonesia: Mereka Menamai yang Tak Bernama
Ilmuan warga (citizen scientist) sudah lama memberi sumbangan senyap pada narasi pengetahuan, khususnya ilmu alam. Para naturalis yang hanya berbekal cinta dan hasrat pada penjelajahan memiliki energi tak terbatas untuk mengungkap sains.
Energi yang tak dibatasi oleh cangkang institusi dan kepentingan lembaga tertentu. Kerja mereka tanpa bayaran, bahkan mengeluarkan uang.
Pukul 02.00 WIB di Resort Ranudarungan, Kec. Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Yuda R. Yudistira, 31 tahun, masih membolak-balik buku Orchids of Java karya J.B. Comber yang terbit pada 1990.
Buku setebal 413 halaman itu sudah dalam kondisi dilakban sana sini karena sering dibolak-balik. Matanya meneliti satu demi satu deskripsi dan gambar lalu mencocokannya dengan foto-foto morfologi juga bunga di kamera yang ia dapatkan siang sebelumnya.
Sementara itu, partner diskusinya, Toni Artaka, Kepala Resort Ranudarungan, yang juga punya minat besar terhadap anggrek di luar tugasnya sebagai rimbawan.
Apa yang mereka cari? “Hanya” sebuah nama dari anggrek yang mereka lihat. Bahkan sesekali berharap, Comber atau taksonom lain belum pernah menamainya. Artinya, mereka akan menambah deretan nama spesies baru yang ditemukan tahun ini.
“Ada kebanggaan ketika nama saya tertulis di jurnal internasional. Apa yang saya tulis akan terus dibaca bahkan ketika saya sudah tidak ada di dunia ini,” kata Yuda.
Motivasi para ilmuan warga ini beragam. Namun semua selalu bermuara pada kata cinta dan suka pada apa yang dikerjakan. Cintanya itu memberi energi, mampu meretas batas kemampuan yang dimiliki untuk menapaki kemampuan berikut mempelajari hal-hal keilmuan yang biasanya hanya dipelajari oleh peneliti di balik jas laboratorium.
Pendidikan Formal yang Tak Sejalan
Menjadi taksonom bukan perkara yang sepintas lalu. Dari mulai menyukai anggrek, kemudian mempelajari lebih detail, selanjutnya akan bertemu dengan istilah-istilah sains yang membutuhkan ketekunan untuk mempelajari dan mengingat ribuan spesies yang sudah ternamai. Tantangannya, kebanyakan para citizent scientist ini bukan dari latar belakang pendidikan yang sejalan.
Yuda, latar belakang pendidikan formalnya adalah engineering. Selanjutnya ia bekerja di bidang pertambangan kemudian di BUMN bidang komunikasi di Jakarta. Namun dunia tumbuhan memanggilnya.
“Dulu waktu masih kerja di pertambangan di Kalimantan, kalau lagi kerja, saya sering melihat kantong semar. Saya liatin dan penasaran. Melihat mereka tumbuh di bekas-bekas tambang, rasanya seperti ada kehidupan lain yang menarik,” kenangnya.
Tahun 2015, ia mulai memotret anggrek sampai akhirnya keluarga Orchidaceae menariknya lebih dalam. Tak hanya memotret, Yuda mempelajari anggrek sehingga mampu menulis jurnal ilmiah di bidang taksonomi.
Setidaknya, ia harus mempelajari ratusan spesies anggrek, istilah-istilah yang spesifik, kemampuan observasi, dan sekian bekal lain yang harus dimiliki untuk menjadi taksonom. Bahkan, alumni Fakultas Biologi atau bidang sejenis tak memiliki kemampuan sedetail para ahli botani ini.
Di sisi lain, Yuda adalah penjelajah alam. Pada awalnya hanya mendaki gunung untuk hobi, sampai akhirnya kemampuannya untuk melakukan penjelajahanya ke alam bebas menjadi bekal menjadi ahli botani.
Perjalanan ke hutan Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, hingga Papua Barat bukan sekadar petualangan tapi juga pencatatan spesies tumbuhan.
Hal senada dikerjakan oleh Malcolm Victoriano, 28 tahun, ilmuan warga yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Alumni Fakultas Sastra Jepang ini awalnya menyukai tanaman karnivora sebagai hobi. Kelompok tanaman ini memang banyak diminati anak-anak muda, salah satunya yang tergabung di KTKI (Kelompok Tanaman Karnivora Indonesia).
“Di kelompok itu ada Adrian Yusuf Wartono. Beliau pernah mendeskripsikan Nepenthes dari Jawa Barat, Nepenthes adrianii. Kemudian saya bertanya, bagaimana ia melakukan,” kata Malcolm.
Adrian mendirikan KTKI pada tahun 2006, ketika ia masih mahasiswa Fak. Biologi, Universitas Brawijaya, Malang. Saat itu, ia menemukan dugaan nepenthes yang belum terdeskripsi (undescribe species). Kemudian, nepenthes itu dinamai Nepenthes adrianii. Etika di taksonomi, pemberian nama spesies tidak boleh sama dengan nama yang mendeskripsikan (si penulis jurnal).
Berbekal membaca berbagai literatur, menanam nepenthes di rumahnya, juga penjelajahan ke hutan di Sumatera, akhirnya Malcolm mendeskripsikan Nepenthes longiptera Victoriano, spesies baru dari Aceh yang terbit di jurnal Reinwardtia pada 2021.
Selain Nepenthes, Malcolm juga berkolaborasi dengan Yuda dan beberapa peneliti lain untuk mendeskripsikan anggrek-anggrek jenis baru.
Lebih senior lagi, ada nama Frankie Handoyo, 58 tahun, ilmuan warga di Bekasi. Latar belakang pendidikannya Informatika Management, pernah bekerja di radio panggil hingga era tahun 2000-an.
Ketertarikannya pada anggrek alam menjadikannya ia membangun nurseri di TAIP (Taman Anggrek Indonesia Permai) ketika TAIP masih ramai dan menjadi pusat belanja anggrek alam selain Taman Anggrek Ragunan, Jakarta.
Berbeda dengan pengelola nurseri pada umumnya yang cukup belajar tentang budidaya dan bisnis, Frankie lebih spesifik yaitu menulis tentang anggrek alam. Awalnya ia membangun portal Orchid Indonesia yang menjadikan Frankie sebagai rujukan untuk menimba ilmu, termasuk bagi Yuda dan Malcolm.
Pada awal tahun 2000-an, menulis jurnal untuk mendeskripsikan spesies baru masih didominasi para peneliti yang bekerja di lembaga penelitian (LIPI dan universitas). Awalnya, Frankie menulis buku populer yaitu budidaya anggrek, budidaya kantong semar, dan buku-buku senada.
Kemudian, ia menulis buku “lebih berat” yaitu ensiklopedi anggrek dengan judul Native Orchids of Indonesia (2006) bersama Ramadani Yudha Prasetya. Selanjutnya, Frankie menulis Orchids of Indonesia Vol 1 terbit pada tahun 2010, berisi 560 spesies anggrek.
Dilanjutkan Orchids of Indonesia Vol 2 terbit 9 tahun kemudian, mencatat 410 spesies dan natural hybrid. Buku-buku karya Frankie ini merupakan buku terlengkap tentang anggrek Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia dibanding buku-buku yang pernah ada.
Frankie mengatakan, awalnya ia tidak terpikir untuk menulis jurnal. Ia hanya ingin belajar mendeskripsikan terutama anggrek yang belum pernah ia lihat di buku-buku.
“Saya belajar mendeskripsi anggrek dari Peter O’Byrne. Tadinya ingin published dengan dia, eh keburu meninggal,” kata Frankie.
Peter meninggal pada 11 Agustus 2019 di London. Bersama Peter, Frankie mendeskripsikan Dendrobium spesies baru dari Sumatera, kelak yang akan dinamai Dendrobium kyrae. Selama 6 bulan, Frankie diskusi dengan Peter O’Byrne, ahli anggrek dari Inggris, hingga deskripsi itu selesai.
“Peter bilang, kamu mau apakan Dendrobium itu setelah selesai dideskripsikan? Lalu istri Peter meninggal, jadi stop deh. Tidak dilanjutkan. Lalu saya deskripsi dan terbit Spathoglottis, baru yang Kyarae,” jelas Frankie.
Jurnal pertama terbit adalah spesies baru dari Sulawesi, Spathoglottis calcicola Handoyo, Cootes, Raynalta & Victoriano. Ia menulis dengan Erick Raynalta, Malcom Victoriano, dan Jim Cootes (Philipina). Baru kemudian Dendrobium kyrae terbit dengan penulis Frankie, Peter O’Byrne, dan Jim Cootes pada tahun 2020 di Die Orchidee.
Selanjutnya, setiap tahun selalu saja ada spesies baru yang dideskripsikan oleh para ilmuan warga dari Indonesia. Mengutip kata Carl Linnaeus (1707-1778), Bapak Taksonomi Dunia: nomina si nescis perot et cognitio reum (jika Anda tidak tahu nama, maka Anda akan kehilangan ilmu pengetahuan yang menyertainya).
Bermula dari nama, kemudian akan menempatkannya dalam klasifikasi ilmiah sehingga akan diketahui kekerabatan dari spesies yang bersangkutan. Dari sana akan ada pengembangan mulai dari kegunaan tumbuhan/hewan tersebut hingga kemungkinan pemuliaannya. Termasuk upaya pelestariannya.
Para taksonom amatir ini memang tak selalu kerja sendirian dalam menulis jurnal. Terkadang juga bekerjasama dengan para peneliti di lembaga penelitian maupun institusi pendidikan. Namun, perjalanannya tidak selalu mudah. Sering mereka tak bisa menembus aturan untuk akses perizinan terkait dengan kerja-kerja mereka.
Egoiskah Mereka?
Di dunia taksonomi tumbuhan, dialektika kerap berlangsung sengit. Para taksonom kerap “mematahkan” temuan baru dari taksonom lain dengan menjadikannya sinonim, artinya bukan spesies baru.
“Biasanya kalau yang membuat sinonim itu bisa membaca dari taxonomy treatment-nya spesies baru ada kelemahan. Atau deskripsinya kurang kuat sehingga oleh yang men-sinonim-kan diklaim bukan spesies baru. Bisa dimasukkan ke varietas atau sinonim saja. Kalau si penemu ini ingin mempertahankan argumen bahwa yang ia tulis spesies baru, maka ia harus melanjutkan ke DNA analysis,” kata Yuda.
Meski kadang membuat kesal, namun sebagai ilmuan, hal ini ia tempatkan sebagai konteks dialektika ilmiah sehingga narasi keilmuan yang terbangun.
“DNA Analysis itu mahal, jadi ya kalau sudah begitu, nunggu ada dana. Ya ini tantangannya jadi citizen scientist yang kebanyakan biaya sendiri,” tambah Yuda.
Pertanyaan menggelitik, apakah dialektika ilmiah ini ada hubungannya dengan persaingan antar taksonom atau kegerahan akan kinerja para citizen scientist.
“Pengalaman saya mengelola Herbarium Bogoriense, sifat para taksonom itu sangat egois. Taksonom yang kerja di tempat saya ya,” kata Dr. Irawati, Direktur Herbarium Bogoriense (1997-2003).
Irawati menggambarkan, jika taksonom sedang mengerjakan sesuatu, tidak boleh ada yang mengerjakan sehingga tidak bisa tukar menukar spesimen. Padahal, tukar menukar spesimen ini seharusnya akan lebih memudahkan dalam menyelesaikan pekerjaan.
Pun mindset pada staf di herbarium terkadang sulit memberikan izin kepada para citizen scientist untuk bisa mengakses. Ada kekhawatiran rusak, padahal bisa diajari cara memperlakukan spesimen yang benar. Spesimen herbarium ini seperti buku yang seharusnya menjadi referensi dan dibaca lebih banyak orang.
“Akhir-akhir ini, banyak anak muda yang belajar meski latar belakang pendidikannya bukan Biologi atau sejenis. Saya kira ini sangat bagus. Mereka lebih produktif daripada para pegawai negeri yang tugasnya memang meneliti,” tambahnya.
Para taksonom di bidang anggrek tak selalu dari pendidikan formal. J.B Comber, meski pendidikannya di bidang hortikultura, namun sangat berbeda dengan ilmu yang dibutuhkan untuk menjadi taksonom anggrek.
Contoh lain, Peter O’Byrne, ia adalah guru SMP. Dan masih banyak lagi. Termasuk buku monumental karya G.E. Rumphius, seorang serdadu VOC, berjudul Kitab Jejamuan Ambon (Herbarium Amboinense, 1741). Buku tersebut berisi 1200 spesies tumbuhan Nusantara yang ditulis Rumphius bahkan sebelum Carl Linnaeus meski terbitnya 39 tahun setelah Rumphius meninggal.
“Sedangkan dalam mengakses perizinan untuk mengangkut spesimen, saya sendiri juga sering mengalami kesulitan bahkan saat itu ketika sama masih di LIPI. Jadi mungkin, bisa bekerjasama dengan staf BKSDA atau yang berwenang untuk menulis bersama,” usul Ira.
Mereka yang Menyumbang pada Sejarah
Waskito Kukuh Wibowo menenteng buku seberat 1,7kg dengan hati-hati ketika akan mengadakan pengamatan burung di sisi selatan Gunung Semeru. Ia bersama beberapa orang anggota Birdpacker, sebuah komunitas pengamatan burung, akan menambah data burung di Kawasan Bromo Tengger Semeru.
“Buku ini terdiri dari 739 spesies burung dari total 1771 spesies burung di Indonesia,” kata Kukuh sambil membuka segel lalu menunjukkan ke kami.
Atlas Burung Indonesia (ABI), buku terbitan tahun 2020 tersebut merupakan buku yang bersejarah. Buku pertama di Indonesia yang diterbitkan oleh kerjasama lebih dari ratusan pengamat burung amatir di seluruh Indonesia. Sebanyak 6 penulis utama, 15 kontributor penulis, 6 ilustrator dan 4 kontributor ilustrasi terlibat dalam penyusunan buku.
Buku dengan foto, ilustrasi, dan data ilmuan yang dikoleksi selama 7 tahun oleh para citizen scienstist yang tergabung di aplikasi Burungnesia, aplikasi yang dibuat oleh Birdpacker.
ABI menjadi moment penting yang menandai peran citizen scientist dalam ilmu pengetahuan di Indonesia. Setelah ABI, Birdpacker melanjutkan sejarahnya dengan menerbitkan Panduan Lapangan Burung-burung di Indonesia, Seri 1: Sunda Besar (2022), dan Burung di Kawasan PT. Royal Lestari Utama (on progress).
Selain buku, Burungnesia juga mengorganisir Project Bigmouth 2020, sebuah acara pengamatan burung selama sebulan di Jawa dan Bali. Acara ini dipublikasikan melalui media sosial dan diberi insentif berupa hibah dan kompetisi.
Lebih dari 20.000 daftar yang berisi 100.000 catatan burung dimasukkan ke dalam aplikasi ponsel 'Burungnesia'. Sejumlah 353 spesies burung tercatat, mewakili 74% avifauna di Jawa dan Bali, tidak termasuk burung gelandangan. Juga tercatat 27 spesies terancam punah tercatat. Hampir 25% kontributor adalah perempuan, 72% berusia di bawah 30 tahun, dan sebagian besar adalah sarjana dan anggota klub pengamat burung.
Burungnesia merupakan aplikasi karya Birdpacker. Tujuan untuk mendata burung di Indonesia. Catatan lapangan Anda akan sangat berguna dalam dunia ilmu pengetahuan dan konservasi burung di alam.
Kita sedang berpacu dengan laju kepunahan burung di alam, namun keterbatasan tenaga peneliti dari lembaga penelitian dan konservasi. Para subcriber bisa mengunggah data burung yang mereka temukan/amati di seluruh Indonesia. Data tersebut yang akan diolah Birdpacker menjadi data ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Kegiatan rutin kami yaitu verifikasi data yang masuk lewat aplikasi. Kita kelola, kita analisa sendiri. Atau kalau ada yang minta data, kita kasih. Kita menjadi penjaga data burung di Indonesia,” kata Swiss Winasis, pendiri Birdpacker. Data dari Burungnesia ini bisa menjadi landasan untuk penyusunan kebijakan dalam pengelolaan kawasan.
Sejak diluncurkan pada tahun 2016, kini anggota Burungnesia mencapai 2.300 orang yang mendaftar dan disetujui. Sedangkan pendaftarnya lebih dari 9.000 akun. Dengan jumlah ini, menobatkan Burungnesia sebagai komunitas citizen scientist terbesar di Indonesia.
Menurut Swiss, pendaftar harus melalui verifikasi sebab terkait dengan pengumpulan data ilmiah dan penggunaannya. Sebagaimana dijelaskan di laman Burungnesia, verifikasi dan validitas data dijaga di aplikasi ini.
Selain itu, ada data-data sensitif yang hanya bisa diakses terbatas agar tidak disalahgunakan. Misalnya data tentang lokasi burung sehingga tidak digunakan untuk perburuan.
Azas kerja voluntary (relawan) tetap dipegang teguh oleh Birdpacker meski anggotanya sudah ribuan. Kerja-kerja sukarela ini memiliki keuntungan dan tantangan.
Keuntungannya, Indonesia memiliki data burung yang lengkap yang disumbang oleh para citizent scientist. Data yang tak terbatas karena Birdpacker punya mata di seluruh Indonesia.
Tantangannya lumayan beragam. Karena self-funding organisasi, jadi berjalan agak lambat. Kita juga tidak menyetel settingan untuk rising. Kita slow saja yang penting konsisiten,” terang Swiss.
Selain itu, soal komitmen juga menjadi tantangan yang lain. SDM untuk kerja-kerja tertentu yang membutuhkan keahlian khusus masih terbatas ketersediaannya karena semua serba relawan.
Jadi dibutuhkan seorang relawan dengan keahlian khusus yang mau berkomitmen untuk bekerja, inilah seninya mengelola citizen scientist.
Namun tak diragukan lagi, kekuatannya pada passion. Mereka adalah orang-orang mau melakukan apa saja, mengerahkan tenaga dan materi untuk memberi sumbangan pada sejarah pengetahuan di Indonesia.
Tantangannya adalah pemerintah dan lembaga terkait mampu mengakomodasi kerja-kerja mereka sehingga memberikan kemudahan para citizen scientist dalam melakukan penelitiannya.
(Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan "ISN-LAB" by SISJ dan didukung Google News Initiative")
Artikel ini sebelumnya telah terbit di National Geographic