Epidemiolog Henry Surendra: Ketimpangan Kesehatan di Indonesia
Kehilangan orang terkasih menjadi titik awal perjalanan karier Dr. Henry Surendra sebagai seorang ahli epidemiologi.
Adik laki-lakinya telah lama berjuang melawan tumor otak. Suatu hari di tahun 2007, kondisinya tiba-tiba memburuk. Keluarga pun bergegas membawanya ke rumah sakit, namun sayangnya, “ia meninggal dalam perjalanan,” kenang Surendra. Rumah mereka di desa Keru, Nusa Tenggara Barat, berjarak sekitar satu jam dari kota terdekat, dan saat itu, mencari transportasi bukan hal yang mudah bagi keluarganya.
Pengalaman kehilangan karena terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan—yang oleh Surendra disebut sebagai “masalah ketimpangan kesehatan”—masih menjadi lensa utama dalam cara ia memahami isu kesehatan masyarakat di Indonesia. Kini, ia menjabat sebagai Associate Professor di Departemen Kesehatan Masyarakat, Monash University Indonesia, posisi yang ia raih setelah satu dekade berkiprah di bidang ilmu kesehatan masyarakat.
Bekerja Bersama Henry: Sisa Kopi dan Virus Zoonosis
Dr. Henry Surendra adalah sosok yang ramah dan penuh semangat. Mengenakan kemeja oranye bata, ia menyambut tim SISJ di kantornya. Di atas mejanya, cangkir porselen putih tampak kosong. “Saya sudah minum dua gelas kopi,” ujarnya sambil tersenyum.
Minggu itu cukup padat bagi Henry. Ia sedang merampungkan susunan tim peneliti yang akan mengerjakan proyek studi hubungan antara perubahan lanskap dan prevalensi penyakit zoonosis di lokasi megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur.
Proyek ini merupakan kolaborasi riset; saat ini, dua mahasiswa doktoral sedang meneliti di bawah bimbingannya. Salah satu mahasiswa, dari Monash Indonesia, akan fokus pada pemodelan geospasial untuk menganalisis dampak perubahan tata guna lahan terhadap risiko munculnya malaria monyet—penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium knowlesii. Sementara itu, mahasiswa lainnya, dari Oxford University di Inggris, akan menangani ribuan sampel serum darah, menyaring keberadaan virus liar seperti henipavirus, filovirus, dan coronavirus.
Mengantisipasi epidemi berikutnya memang menjadi fokus utama riset Dr. Henry Surendra. Pengalamannya selama menangani pandemi COVID-19 membuka matanya bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi dalam sistem kesehatan di Indonesia.
“Kita jelas punya, dan masih punya, masalah ketimpangan akses kesehatan,” ujarnya. Ketika pandemi melanda, situasi itu jadi jauh lebih buruk.
Bagi Surendra, krisis ini justru menyoroti beberapa kenyataan penting. Menurutnya, kemauan politik yang kuat serta birokrasi yang lebih fleksibel, baik di tingkat nasional maupun provinsi, bisa membantu mengurangi dampak dari krisis tersebut. Ia juga menekankan pentingnya riset berkualitas tinggi yang lahir dari dalam negeri—khususnya di bidang kesehatan masyarakat—untuk memberikan dasar ilmiah bagi para pengambil kebijakan agar bisa merumuskan kebijakan kesehatan publik yang lebih tepat sasaran.
Pernyataan itu ia sampaikan berdasarkan temuannya sendiri. Penelitiannya selama pandemi di Jakarta menunjukkan bahwa meskipun pandemi bersifat global, dampaknya bisa sangat lokal.
Pandemi sebagai Ujian Terberat
Dr. Henry Surendra baru saja bergabung dengan Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) ketika kasus pertama SARS-CoV-2 muncul di Indonesia. “Waktu itu kami berpikir tidak akan terlibat langsung dengan pemerintah karena isu politik yang sensitif,” kenangnya. Namun, setelah berdiskusi di grup WhatsApp yang beranggotakan para epidemiolog lapangan Indonesia—yang ia ikuti sejak menempuh studi magister di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta—pendiriannya berubah.
“Aku merasa kapasitas kita dalam menangani pandemi masih sangat terbatas,” kata epidemiolog berusia 35 tahun ini. Surendra mengungkapkan bahwa para epidemiolog pemerintah saat itu bingung bagaimana cara menerjemahkan laporan situasi dari WHO dengan kondisi nyata di lapangan. Awalnya, Surendra—yang meraih gelar PhD dalam bidang epidemiologi dari London School of Hygiene and Tropical Medicine di Inggris—memberikan bantuan secara informal melalui diskusi dengan rekan-rekannya. Namun, seiring memburuknya situasi pandemi, ia sadar bahwa bantuan itu belum cukup.
Pada pertengahan 2020, ia dan rekan-rekannya mengusulkan kerja sama penelitian dengan beberapa dinas kesehatan provinsi. Di luar dugaan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menerima proposal tersebut, memberinya akses untuk menganalisis data kematian akibat COVID-19 di ibu kota.
Hasil temuannya mengejutkan: lebih dari 10% anak-anak di bawah usia lima tahun yang dirawat di rumah sakit meninggal dunia. “Itu tidak terjadi di tempat lain di dunia,” katanya. Surendra kemudian mempublikasikan riset ini di The Lancet Regional Health—penelitian yang kemudian menjadi rujukan penting bagi Dinas Kesehatan Jakarta dalam memperbaiki prosedur perawatan anak di rumah sakit.
Analisis lanjutan Surendra terhadap data perawatan pasien COVID-19 di Jakarta—yang diterbitkan di BMJ Global Health—menunjukkan bahwa ketimpangan dalam akses kesehatan menjadi salah satu faktor utama tingginya angka kematian akibat COVID-19. Ia menyatakan bahwa bukan hanya faktor risiko individu yang menentukan apakah seseorang bisa bertahan dari COVID-19, tetapi faktor komunitas juga berperan besar. Masyarakat yang tinggal di wilayah dengan tingkat kemiskinan dan kepadatan penduduk tinggi memiliki risiko lebih besar untuk tidak selamat. Cakupan vaksinasi dan efektivitas pelacakan kontak juga menjadi faktor penting.
Ketimpangan Kesehatan: Faktor yang Sering Dilupakan dalam Pengendalian Penyakit
Fenomena pandemi COVID-19 di Jakarta hanyalah puncak gunung es, kata Surendra. Ketimpangan kesehatan merupakan masalah yang meluas di seluruh kepulauan Indonesia, mempengaruhi hampir semua penyakit tropis yang ada di negara ini. Di Indonesia bagian timur, sebuah wilayah yang dikenal dengan prevalensi kasus malaria tertinggi, obat antimalaria sangat sulit didapatkan. Dalam sebuah studi, Surendra dan rekan-rekannya menemukan bahwa lebih dari 20% dari 4.655 orang dewasa yang didiagnosis malaria tidak mendapatkan pengobatan antimalaria. “Kami bahkan menemukan beberapa obat kadaluwarsa di fasilitas kesehatan,” ujarnya. Ironisnya, orang-orang yang tinggal di kota memiliki akses lebih baik terhadap obat-obatan ini dibandingkan mereka yang tinggal di daerah pedesaan yang lebih rawan malaria.
Wawasan Lokal: Sering Kali Diremehkan
Saat ditanya bagaimana cara mengatasi masalah ketimpangan ini, Surendra mengenang pengalamannya saat melakukan pekerjaan lapangan di Menoreh Hills, Jawa Tengah. Wilayah pegunungan yang luas ini adalah tempat transmisi malaria dan terdiri dari tiga kabupaten di dua provinsi. “Sebenarnya ini adalah satu daerah yang terhubung, tetapi hambatan administratif menghalangi pengendalian kesehatan masyarakat,” jelasnya.
Ia juga menceritakan ketika satu kabupaten kehabisan stok kelambu nyamuk, mereka tidak bisa meminjam dari kabupaten tetangga karena peraturan yang kaku dan ketat. Untuk mengatasi masalah ini, timnya bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk membuat rencana aksi bersama untuk mengeliminasi infeksi malaria, yang menghasilkan peraturan yang memungkinkan pembagian sumber daya antara kedua provinsi tersebut. “Fleksibilitas semacam ini sangat dibutuhkan dalam sistem kesehatan kita,” katanya.
Tertarik membuat liputan dengan beliau? hubungi/wawancara Henry Surendra disini