Sheherazade: Sains Lokal untuk Konservasi Sulawesi
Nama Sheherazade sendiri mungkin sudah tak asing lagi bagi pembaca dongeng seribu satu malam. Sheherazade ialah tokoh fiksi cerita rakyat dari Timur Tengah. Tak jelas siapa penulis cerita itu. Namun sudah diceritakan secara turun temurun.
Tokoh Sheherazade dikenal sebagai tokoh fiksi yang cerdas, bijaksana, dan pemberani. Dia menyelamatkan dirinya sendiri dan ribuan kaum perempuan dari Raja Shahriar yang kejam. Karakter Sheherazade terus menjelma dalam diri perempuan dari zaman ke zaman. Barangkali, nama ini bisa dikatakan sebagai representasi perempuan cerdas dan pemberani di zaman ini.
"Papaku baca di koran. Waktu itu ada berita, di Perancis ada mahasiswi bernama Sheherazade yang menolak untuk membuka jilbab ketika sekolahnya nyuruh. Terus kayaknya dia terinspirasi dengan keberanian anak ini," ungkap Sheherazade, konservasionis muda dari Sulawesi Tengah.
Benarlah juga bahwa nama adalah doa. Perempuan kelahiran 12 Desember 1993 itu dengan penuh keberanian memilih jalannya sendiri. Seiring dengan maraknya generasi muda yang meninggalkan Indonesia demi karir cemerlang di luar negeri, Shera–demikian nama panggilannya– enggan meninggalkan kampung halamannya di Sulawesi Tengah. Semuanya demi melakukan kerja-kerja konservasi keanekaragaman hayati. Sebuah keputusan yang mengakar sejak lama dalam hidupnya.
Inspirasi dari biodiversitas Sulawesi
Sheherazade kecil heran mengapa banyak orang asing datang ke pulau Sulawesi. Kala itu, Shera secara rutin ikut ke lahan pertanian orangtuanya. Lokasinya di dekat Taman Nasional Lore Lindu. Pemandangan orang asing membawa binokuler dan mengamati alam tak asing bagi Shera kecil.
"Saya suka nanya ngapain sih sebenarnya ini orang kulit putih di sini?. Papaku jawab, 'Oh iya jauh-jauh mereka tuh ke sini mau lihat burung doang' gitu," ujar Shera kepada SISJ, Rabu, 14 Mei 2025.
Dari situlah Shera kecil paham, keanekaragaman biodiversitas di Pulau Sulawesi sangat kaya. Sejak Alfred Russel Wallace menginjakkan kakinya di pulau ini, komunitas ilmiah internasional mulai menaruh perhatian pada keanekaragaman hayati Sulawesi yang begitu indah dan unik.
Secara geologi, pulau ini merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia di sebelah barat, lempeng Indo-Australia di sebelah timur, dan lempeng Pasifik di sebelah utara. Sejarah alam ini menjelaskan keberadaan flora dan fauna Sulawesi yang begitu unik dan beragam. Banyak juga di antara mereka yang endemik alias tidak bisa ditemui di tempat lain di dunia. Misalnya saja anoa (Bubalus spp) babirusa (babyrousa), monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra), burung Maleo (Macrocephalon maleo), ataupun burung Nuri Sulawesi (Tanygnathus sumatranus) yang mungkin diamati oleh orang-orang kulit putih yang dilihat Shera sewaktu kecil di dekat Lore Lindu.
Karena karakteristik ini, surga Sulawesi adalah laboratorium raksasa bagi komunitas biologi international. Koleksi-koleksi yang didapatkan Wallace di pulau ini misalnya, membantu sang naturalis menyusun teori biogeografi dan bahkan turut mendukung teori evolusi Charles Darwin yang terkenal itu.
Menyadari biodiversitas Sulawesi yang luar biasa ini, Shera sebagai warga lokal, tak mau kalah. Saat ini Shera sedang menyelesaikan pendidikan doktoral pada bidang Environmental Sciences, Policy, and Management di University of California Berkeley, USA. Ia juga memimpin Prakarsa Konservasi Ekologi Regional Sulawesi (PROGRES), sebuah lembaga yang mendukung konservasi spesies yang terancam punah dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Dikenal sebagai Peneliti Kelelawar
Salah satu hewan endemic Sulawesi yang menarik perhatian Shera adalah kelelawar Sulawesi (Acerodon celebensis) atau poniki yang merupakan nama lokalnya. Menurutnya, binatang endemik itu memiliki peran yang sangat besar bagi ekosistem. Mereka membantu proses penyerbukan tanaman khususnya buah-buahan tropis seperti durian, mangga, pisang, jambu biji, dan nangka. Selain itu juga sebagai pengendali serangga karena mereka memangsa hama tanaman yang merugikan tanaman. Kotorannya juga berperan sebagai sumber pupuk organic.
Selain itu, bagi masyarakat Sulawesi, kelelawar memiliki makna cukup mendalam. Mereka meyakini kelelawar sebagai simbol penjaga alam dan penanda bahaya. Kemunculan Kelelawar dalam situasi yang tidak biasa menjadi peringatan akan terjadinya musibah.
"Semua hal dipelajari tapi I land my heart on bats. Karena sangat misterius. Dan semakin ke sini waktu saya balik ke Sulawesi, saya belajar bahwa kelelawar tuh diancam oleh perburuan untuk dimakan," ujarnya.
Penelitian terhadap kelelawar dimulai pada 2013. Shera bersama mentornya bernama Susan M Tsang melakukan penelitian terhadap masifnya perdagangan daging kelelawar di Sulawesi. Penelitiannya dipublikasikan di Global Ecology and Conservation volume 3, January 2015. Penelitian ini menjadi perhatian global dan mendapatkan Peter Aston Prize sebagai outstanding paper pada 2020.
Perburuan kelelawar yang masif untuk konsumsi mengganggu keseimbangan ekosistem. Berdasarkan hasil penelitiannya, sekitar 30-50 kilogram kelelawar dijual setiap hari di Sulawesi Utara. Ada peningkatan penjualan menjadi 100-300 kilogram pada hari Sabtu dan Senin karena akhir dan awal pekan. Penjualan tertinggi terjadi pada Desember karena adanya perayaan Natal dan Tahun Baru.
Shera dan Tsang menyarankan adanya keterlibatan gereja agar melakukan pendidikan konservasi mengingat konsumsi kelelawar meningkat saat perayaan hari raya. Mereka juga menyarankan regulasi hukum perdagangan antarprovinsi, menganti kelelawar dengan opsi yang berkelanjutan serta melibatkan siswa lokal sebagai juru kampanye memajukan konservasi.
Shera juga meneliti kontribusi kelelawar terhadap ekonomi lokal karena membantu proses penyerbukan pada pohon durian di Sulawesi. Shera bersama Holly K. Ober dan Tsang melakukan eksperimen dengan memasang kamera di pohon durian kurun waktu Oktober 2017 hingga Januari 2018. Penelitian dipublikasikan pada Biotropika Volume 51, edisi 6 dengan judul Contribution of bats to the local economy through durian pollination in Sulawesi, Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bunga durian yang dapat dijangkau oleh kelelawar memiliki pertumbuhan buah yang sangat cepat. Berbeda dengan buah yang tertutup dan tidak terjangkau oleh kelelawar. Peran kelelawar besar dan kecil juga berpengaruh terhadap produksi buah durian yang dihasilkan.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan ekologis antara kelelawar dengan ekonomi lokal. Sehingga menjadi pesan penting bagi pemerintah untuk melakukan konservasi kelelawar demi meningkatkan produktivitas hasil petani durian.
Tambang Nikel dan rusaknya biodiversitas di Sulawesi
Selain akibat perburuan besar-besaran untuk konsumsi, habitat kelelawar juga terancam akibat kerusakan alam yang dibuat manusia. Pembukaan tambang nikel besar-besaran di Sulawesi oleh PT International Nickel Indonesia (PT INCO) tak hanya merusak alam yang terjadi sejak tahun 1968, tetapi juga seluruh ekosistem yang ada di dalamnya.
Potensi nikel di Sulawesi pun merupakan yang terbesar di dunia. Penambangan nikel di Sulawesi sebetulnya sudah ada sejak awal abad 20. Namun sekarang, perluasan industri nikel kian masif seiring dengan adanya krisis energi batu bara, ditambah dengan ambisi Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai produsen baterai dunia. Belum ditemukan data valid untuk perluasan wilayah tambang nikel, namun ekspansi ini terlihat jelas dengan peningkatan produksi nikel yang melesat selama beberapa tahun terakhir. Dengan perkembangan ini, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memproyeksikan Indonesia akan memproduksi 3.74 juta ton nikel di tahun 2030, hampir dua kali lipat dari produksi nikel tahun 2023, yaitu 1.9 ton.
Rusaknya lingkungan akibat pertambangan nikel berpengaruh terhadap kerusakan biodiversitas di Pulau Sulawesi, ujar Shera. "Nah, masalahnya kan kalau tambang nikel di Sulawesi kan banyak endemik tuh. Tapi endemiknya itu bukan hanya endemik se-Sulawesi. Tapi endemiknya itu bahkan pergunung, per danau, bisa endemik per sungai gitu," jelasnya.
“Bisa dibayangkan bagaimana biodiversitas di Pulau Sulawesi sangat kaya,” ujar Shera?. Jadi jika satu gunung ditambang, maka endemik gunung itu punah. Dan kecil kemungkinan spesies tersebut bisa ditemukan di tempat lain.
"Gunungnya botak terus dihancurin, sisa-sisanya itu masuk ke ekosistem ke dalam pantai dan juga ekosistem laut. Jadi semuanya coklat. Jadi dari segi ekologi dan apalagi terutama dari segi sosial itu dampaknya sangat negatif," tegasnya.
Penelitian tentang Pengaruh Industri Pertambangan Nikel Terhadap Kondisi Lingkungan Maritim di Morowali yang dilakukan Nurhayati Syarifuddin dari Universitas Hasanuddin dalam, menemukan limbah logam berat tambang nikel berdampak pada kelangsungan hidup biota laut. Dampak nyata pesisir Morowali rusak. Hutan Mangrove yang menjadi rumah biota laut rusak. Hasil tangkap nelayan menurun drastis, sumber pangan rusak.
Kondisi lingkungan diperparah dengan izin pertambangan yang beralih langsung ke pemerintah pusat. Sebelumnya izin tambang langsung ke Bupati dan warga masih bisa menolak dan melakukan pendekatan intensif. Apalagi, Shera menilai dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia masih carut marut.
Shera menyebut supplier nikel dari negara barat sekarang sudah semakin kritis tentang tambang berasal dari mana. Tapi ini masih belum efeknya belum besar. Maka perlu mendorong pemerintah membuat regulasi yang ketat dan kebijakan berbasis ilmiah. Termasuk bagaimana pertanggungjawaban perusahaan dan sustainability setelah penambangan harus seperti apa.
Potensi biodiversity loss di Sulawesi akibat tambang nikel sangat besar. Karena tambang dilakukan dengan mengeruk tanah. Sedangkan mengembalikan tanah seperti semula mustahil dilakukan. Tanah yang rusak menyebabkan kerusakan ekosistem karena tak ada flora dan fauna yang bisa bertahan di atas tanah yang rusak.
“Jadi dampak untuk kehilangan keanekaragaman? ini juga sangat besar gitu," ujarnya.
Gagas PROGRES, komunitas konservasi bagi anak muda Sulawesi
Belajar dari penelitiannya tentang poniki sang kelelawar sulawesi, Shera sebagai ilmuwan dan praktisi konservasi, berusaha keras untuk mencari tahu bagaimana pemuda local bisa turut berperan aktif dalam menghentikan perburuan kelelawar di Sulawesi. Misalnya saja dengan mengedukasi warga lokal pentingnya satwa endemik demi keberlanjutan ekosistem. Sains berpadu dengan aktivisme sehingga menghasilkan contoh kerja nyata berbasis fakta.
"Jadi kita melihat bagaimana sih status perguruan kelelawar di Sulawesi Tengah dan bagaimana kita bisa bekerja sama dengan masyarakat terutama anak muda lokal untuk melakukan perlindungan," jelasnya.
Aktivisme Shera mengedukasi pemuda-pemudi local melahirkan PROGRES, sebuah wadah yang mendukung konservasi binatang endemik Sulawesi yang seringkali dinilai tidak seksi, ujar Shera. Dia menilai dana konservasi selama ini belum merata. Kecenderungan hanya fokus di Indonesia bagian Barat dan Tengah. Spesies yang didanai juga yang umum dikenal khalayak. Sebut saja misalnya harimau Sumatra (panthera tigris sumatrae) dan gajah Sumatra (elephas maximus sumatranus). Sedangkan binatang endemik lain di Timur Indonesia seperti kelelawar poniki, monyet hitam, atau burung maleo di Sulawesi tidak terlalu mendapatkan perhatian. Padahal, pulau terbesar keempat di Indonesia ini termasuk dalam kawasan biogeografi Wallacea yang kaya akan flora dan fauna yang unik.
"Justru sebenarnya (binatang endemik, red) sangat unik di Sulawesi. Secara ekologi dan juga secara budaya sangat penting gitu bagi masyarakat," ujarnya.
Dengan PROGRES juga, Shera memberikan warna baru dalam pendekatan konservasi. Dalam pelaksanaanya, Shera mengajak kaum anak muda di Sulawesi terlibat dalam upaya konservasi. Jadi, sekali dayung dua pulau terlampaui.
"Bagaimana sih dengan melalui konservasi kita bisa membantu pengembangan anak-anak muda di Sulawesi terutama di desa-desa," ujarnya.
PROGRES melakukan pendekatan langsung kepada kelompok pecinta alam di desa-desa. Mereka dinilai memiliki wawasan lokal tentang daerahnya termasuk satwa endemik dan budaya lokal yang melekat di dalamnya. Jadi PROGRES tak hanya berbasis pengetahuan ilmiah saja. Namun juga mengedepankan pengetahuan tradisional, adat, budaya dan kearifan lokal.
"Jadi, pemahaman kita tentang spesies itu beragam. Nggak hanya secara ilmiah tapi juga secara budaya itu bagaimana sih?,” tutur Shera. Sebagai seorang peneliti, ia belajar bahwa sistem pengetahuan lain itu sama validnya dengan pengetahuan ilmiah.
Melalui PROGRES, perempuan yang hobi membaca buku itu mendapatkan sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri. Sebut saja, penghargaan re-generation leader dari Foundation of Prince Albert II de Monaco, Young changemaker of the IUCN leader forum di Geneva Switzerland, hingga People's choice award Conversation Optimism Southeast Asia Award. Terbaru, tahun ini Shera dinobatkan menjadi Women for Change ChangeNOW di Prancis.
Adalah mimpi Shera agar anak-anak muda di Sulawesi berada di garda terdepan untuk konservasi. 'Tak hanya memperjuangkan diri mereka, tetapi juga alam dan kesejahteraan di Sulawesi,” ujarnya.