Gusti Ayu: Adaptasi Diperlukan dalam Perubahan Iklim
Gusti Ayu Ketut Surtiari masih belia ketika sang Bapak harus berpindah dari Bali ke Desa Jeruju Besar, Kalimantan Barat. Kalimantan, dalam ingatan belia Gusti Ayu, adalah Sungai Kapuas. Rumahnya persis berada di depan sungai besar ini. Bersama Bapak, Gusti Ayu pun sering menelusuri sungai-sungai. Bukan hanya Kapuas, tetapi juga sungai-sungai lainnya seperti sungai Barito, Barau, Kahayan dan Jeruju.
“Masuk ke rawa-rawa, menemukan banyak jenis ikan dan udang galah yang besar-besar” ucap Gusti Ayu.
Mulai dari situ mungkin sejak muda jiwa petualang dari Gusti Ayu mulai terbentuk. Sebuah pertanyaan kemudian muncul dari dalam dirinya, yaitu mengapa kehidupannya begitu berbeda jika dibandingkan dengan kehidupannya di Bali. Di Jeruju Besar, ia hidup dekat dengan rawa-rawa, memiliki kolam di belakang rumah dan menampung air hujan. Sedangkan di Bali, dengan ekosistem subaknya ia melihat irigasi dengan airnya lebih jernih. Pertanyaan ini membuat Gusti Ayu tertarik dengan ilmu kependudukan atau geografi manusia, suatu bidang studi yang ia kenal nantinya di Fakultas Geografi UGM.
Di SMA, kita belajar bahwa geografi adalah ilmu yang mempelajari bumi dengan pendekatan yang sangat saintifik dan mekanikal, ujarnya. Tetapi, lanskap atau ruang juga berinteraksi dengan kultur dan perilaku, kata Gusti Ayu.
Peneliti Adaptasi Perubahan Iklim
SISJ menemui Gusti Ayu di ruang kerjanya di BRIN Gatot Subroto Jakarta, Saat ini ia adalah peneliti senior di Pusat Riset dan Kependudukan, sebuah profesi yang ditekuninya sejak 2002. Dan kali ini yang ia bicarakan bukanlah Bali ataupun Kalimantan, melainkan Jakarta.
“Kita ingin membayangkan Jakarta di tahun 2050 akan seperti apa,” ujar Ayu.
Pertama, ia ingin memetakan pelbagai strategi adaptasi perubahan iklim yang memberikan dampak pada masyarakat. Juga melihat seberapa rentan masyarakat Jakarta terhadap dampak perubahan iklim terutama banjir. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan data spasial (seperti peta, citra satelit atau gambar udara) yang menggambarkan lokasi dan karakteristik Jakarta dengan data skenario perubahan iklim berdasarkan pendekatan kualitatif yang akan menggabungkan data dengan hasil survey lapangan, masyarakat, dan interpretasi spasial dari data spasial yang ada. Maka akan tergambar pelbagai interaksi dari pelbagai faktor lingkungan, ekonomi dan sosial yang akan menggambarkan kondisi Jakarta 2050.
Kedua, Ayu ingin mengukur loss and damage akibat perubahan iklim. Menurutnya, dengan melakukan asesmen pengukuran itu dapat dilihat kerugian dan kerusakan yang dialami masyarakat rentan dan kelompok marjinal. Ketika adaptasi yang dilakukan tidak dapat dilakukan lagi untuk mengurangi dampak, maka harus ada kompensasi yang harus diterima oleh masyarakat rentan dan kelompok marjinal.
“Jadi harus mempertimbangkan masyarakat miskin yang terdampak paling parah akibat perubahan iklim,” ujarnya.
Perubahan iklim merupakan persoalan global. Semua negara secara global terdampak karena perubahan iklim yang mengancam kualitas hidup manusia. Perubahan iklim memicu cuaca ekstrem yang akan memicu bencana hidrometeorologi; banjir, longsor, abrasi. Di Indonesia perubahan iklim sangat berdampak bagi kelompok rentan dan kelompok marjinal, termasuk di Jakarta yang beberapa penduduknya terkonsentrasi di daerah rentan bencana seperti di pesisir. Mereka hidup di pemukiman kumuh dan berada di garis kemiskinan.
Berbagai rencana adaptasi telah dilakukan namun hampir semuanya tidak berpihak pada masyarakat miskin. Dalam pembangunan pesisir Jakarta Utara misalnya, selain melakukan mitigasi dengan pendekatan infrastruktur seperti giant sea wall, sistem polder dan drainase, juga harus memikirkan dampak dari pembangunan itu dalam relokasi warga terdampak. Seringnya pembangunan infrastruktur tidak diimbangi dengan pembangunan yang berkelanjutan bagi kaum marjinal. Maka harus ada kompensasi berupa ganti rugi dengan insentif kompensasi ekonomi dan juga kompensasi sosial berupa jaminan sosial.
Jakarta utara memiliki karakteristik tersendiri; padat penduduk, kualitas air tanah rendah, bekerja informal. Tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk di Jakarta Utara mencapai 1,87 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 12.723,48 jiwa/km². Kualitas air tanah di Jakarta Utara secara umum tergolong rendah bahkan beberapa wilayah telah terkontaminasi oleh bakteri Escherichia coli (E. coli) yang melebihi batas maksimum. Pekerja informal di pesisir Jakarta Utara mendominasi dalam sektor informal seperti nelayan, buruh angkut, dan pedagang kaki lima. Pada tahun 2023, Jakarta Utara tercatat memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 7.05%, yang menjadi urutan ke-3 terbanyak di Jakarta.
Dengan kompleksitas seperti ini, apalagi ditambah dengan ancaman penurunan air tanah menjadikan perubahan iklim sangat nyata mengancam kehidupan orang-orang terutama yang terkonsentrasi di daerah pesisir yang berpotensi menjadi daerah kumuh dan rawan penyakit. Menurut Ayu Jakarta Utara menjadi begitu kompleks.
Apalagi adaptasi masih di level regional belum menyentuh pada masyarakat paling bawah. Yang paling dominan adalah bagaimana masyarakat Jakarta Utara dalam meminimalisir banjir rob. Rumah mereka banyak yang terdampak langsung dari banjir rob yang terus menerus terjadi. Kerusakan akibat banjir rob terutama dalam hal sanitasi dan bangunan rumah yang harus diperbaiki dari tahun ke tahun.
Ketika berbicara perubahan iklim dan ketidakadilan adalah masyarakat miskin yang paling berdampak. Seringnya pendekatan yang bias dengan pembangunan/infrastruktur, maka masyarakat yang berada di kawasan kumuh akan menghadapi dampak relokasi, dari pembangunan. Dalam penelitiannya, Ayu menemukan bahwa relokasi warga harus dilindungi lewat perlindungan sosial.
Apalagi ancaman bagi mereka yang berada di pesisir dan nelayan yang akan mempengaruhi dalam memancing dan memanen ikan. Belum lagi mereka yang harus terpaksa menggantikan pekerjaan, dan kapasitas yang mereka lakukan penyesuaian karena punya prioritas sendiri. Di daerah pesisir seperti Marunda dan Rorotan ketidakadilan itu nampak apalagi aset yang mereka miliki habis untuk melindungi dampak dari banjir rob dan mengeluarkan dana sendiri yang tadinya untuk kesejahteraan jadi untuk membangun dan memperbaiki rumah dan sanitasi yang rusak akibat dari banjir rob.
Dengan adanya adaptasi maka kita tidak akan kaget dengan kejadian bencana ekstrem, ujar Ayu. Di Blue Mountains Katoomba Sydney, masyarakat menyadari ancaman perubahan iklim karena pernah terdampak kebakaran hebat 2019-2020. Mereka mulai beradaptasi dengan membangun kembali ekosistem yang berbasis air, membuat majalah lokal cetak dan daring dan pelbagai solusi dengan memperkuat komunitas masyarakat.
Untuk mengatasi ketidakadilan sosial dalam hal perubahan iklim ini, Ayu merekomendasikan adanya perlindungan sosial kepada masyarakat miskin, rentan, dan marjinal terhadap dampak perubahan iklim. Perlindungan sosial dapat berupa asuransi dan jaminan sosial lainnya, khususnya ketika sudah memberikan dampak negatif pada masyarakat.)
“Mau tidak mau adaptasi harus begitu,” ujar Ayu.