Dilema Air di Maratua, Hujan Tak Tentu, Air Tanah Payau, dan Penyulingan Air Laut yang Tak Mudah

Tiga dari empat kampung di pulau terluar di Kalimantan Timur ini, kesulitan air bersih. Hujan kerap di luar prediksi. Tandon-tandon penyimpan air pun kering. Sementara, air tanah payau. Tersisa sumur di Teluk Harapan jadi tempat bergantung.

Sendu dari Teluk Alulu

Di ujung Pulau Maratua, Berau, seorang ibu menuju teras rumah. Dia melihat langit begitu cerah dan menghela nafas dalam. Sepertinya, hujan yang dia dambakan tak kunjung datang. Padahal, enam tandon berwarna kuning yang menyesaki samping rumah, sudah siap menerima kucuran air dari atap. 

Karena kemarau yang berkepanjangan itu, tandon airnya kini kosong. Apa boleh buat, dia harus menguras pengeluaran untuk membeli air. Untuk mengisi tandon berkapasitas 1200 liter itu, ia sedikitnya harus mengeluarkan Rp 150 ribu. Air itu dibawa dari sumur terdekat ke rumahnya, yang berjarak sekitar 15 kilometer, di Teluk Harapan. 

Tandon air yang menampung hujan di samping rumah warga di Teluk Alulu. (Dokumen: Noffi/Mediaetam.com)

Perempuan itu, Dina Natalia berusaha beradaptasi dengan iklim di kampung ini, sebuah kampung bernama Teluk Alulu yang berada di ujung Pulau Maratua. Di antaranya, itu tadi, dengan membeli banyak tandon air. Namun, tetap saja ia kesulitan, karena cuaca makin tak bisa diprediksi. Kemarau terkadang begitu panjang, seperti kemarau tahun ini.

“Sepuluh tahun di Teluk Alulu dari dulu kayak gini. Kalau kemarau beli air tandon,” kata perempuan asal Samarinda tersebut, pada pertengahan Agustus lalu.

Dia mengaku lebih suka air hujan ketimbang air dari Teluk Harapan. “Lebih segar,” ujarnya.

Menurut Kepala Kampung Teluk Alulu Ali Hanafi, sudah 78 tahun Indonesia merdeka, nyaris tak ada yang berubah maju soal kecukupan air bersih di kampungnya. Air hujan masih jadi satu-satunya harapan sumber air yang bersih nan gratis. Apakah itu yang sedikit berubah?

Ali Hanafi bercerita, dahulu ketika kemarau panjang dan simpanan air hujan tak cukup, warga harus mendayung sampan menuju sumber air di Teluk Harapan. 

“Kalau pas pulangnya cuaca tidak bagus, ya orangtua kita dulu terpaksa membuang airnya ke laut,” kenangnya.

Kini, air Teluk Harapan bisa dibeli di tempat. Di antar dengan mobil hingga ke depan rumah. Masalahnya harganya mahal. Ali Hanafi mengatakan, sebulan, tiap keluarga harus membayar Rp 500-600 ribu. Satu tandon air umumnya habis dalam waktu seminggu.

Padahal, ada 802 warga di Teluk Alulu. Umumnya mereka nelayan dengan penghasilan tak tentu, bergantung cuaca. 

Adapun membuat sumur tidak memungkinkan di kampungnya. “Air sumur di Teluk Alulu, payau dan tak bisa dikonsumsi,” kata Ali Hanafi di kantornya, pada 16 Agustus 2023

Karena itu, ujar Bapak Kampung itu, menjelang kemarau warga bersiap. “Maka dari itu, bantuan tandon untuk menampung air hujan banyak kami upayakan,” ujarnya. 

Ali Hanafi berharap tak lama lagi persoalan air bisa diselesaikan. Ia mendapat kabar, dalam waktu dekat, PLN sudah masuk ke Teluk Alulu. “Semoga habis itu, kita dapat solusi air. Entah penyulingan air laut atau lainnya,” katanya.

Sengkarut Menyaring Air Laut

Sebuah mobil pick-up, dengan beban tandon air di atasnya tekun menyusuri jalanan Maratua. Tujuannya Kampung Bohe Silian. Di kiri dan kanan jalan, pohon pisang berjajar. Deretan pisang itu menutupi perkampungan yang berbatasan dengan pantai, dengan airnya yang berwarna biru. Tiba di kampung, mobil pembawa air itu akan membongkar air pesanan. 

Sebenarnya ada sumur di kampung ini. Hanya saja, airnya payau. Jadi, jika pun terpaksa dipakai, hanya untuk mencuci. Untuk konsumsi, warga mengandalkan air hujan. Minimal tiga tandon pun dimiliki tiap rumah di kampung ini. Jika tak ada hujan?

“Jika kemarau berkepanjangan, dan stok air hujan yang mereka tampung habis, satu-satunya opsi adalah membeli air dari Teluk Harapan,” kata Deni, Sekretaris Kampung Bohe Silian, 16 Agustus 2023 di kantor Kampung Bohe Silian.

Padahal, di Kampung Bohe Silian telah ada—tepatnya pernah ada–instalasi penyulingan air laut. Penyulingan air laut itu milik Dinas Pekerjaan Umum Berau. Namun, alatnya kini rusak.

“Penyulingan berjalan dari 2016,” lanjut Deni. “Alatnya dari air laut ke mesin yang rusak.”

Alat-alat penyulingan air laut di Desa Bohe Silian (dok: Noffi/Mediaetam.comm)

Kasi Kesejahteraan Bohe Silian, Reddi, menambahkan, sempat ada teknisi yang datang ke penyulingan. Namun, untuk perbaikan anggarannya cukup mahal. Pemerintah Kampung pun tak bisa berandil banyak, sebab alat milik Pemkab Berau. 

Penyebab kerusakan itu macam-macam, karena teknologi penyulingan air laut tak sederhana. Salah satunya, menurut Deni, karena alat tersebut tak dioperasikan secara kontinyu. “Kalau sudah musim hujan, enggak dioperasikan. Kalau musim kemarau pas mau dioperasikan, alat rusak,” kata dia.

Soalnya, ujarnya, warga lebih menyukai air hujan, ketimbang air suling. Waktu awal-awal operasional, air sudah didistribusikan. 

“Tetapi, karena musim hujan, warga lebih suka air hujan. Jadi, mesin tak bisa optimal dan berakibat kerusakan,” sambung Deni.

Petugas operasional alat penyuling air laut Bohe Silian, Erna Puspita, memaparkan, ketika alat masih beroperasi, alat ini dalam sehari ada dua kali berproduksi. Prosesnya: air diambil dari laut, disuling, disaring, lalu diberi obat dan disaring kembali, dan baru didistribusikan.  

“Satu kali produksi kita penuhkan bak. Lalu dialirkan ke kampung atau warga ambil airnya ke sini. Baru kita isi lagi,”kata Erna.

Karena kini alat tersebut rusak, Erna kini hanya merawat dan membersihkan area dan alat penyulingan air laut sambil menunggu perbaikan.

Bohe Silian, adalah kampung terpadat kedua di Pulau Maratua. Ada 1.194 warga yang terdiri dari 571 perempuan dan 623 laki-laki, yang hidup dari hasil laut di sekitarnya. 

Tak hanya di Bohe Silian, di tengah panas terik menyengat setelah berminggu-minggu, hujan tak menyambangi Pulau Maratua, mobil pengangkut air dari Teluk Harapan juga terlihat lalu lalang menuju Kampung Payung-Payung. 

“Tahun 2020 sampai 2022, kemarau tidak separah 2023. Agustus tidak ada hujan sama sekali. Suhunya terasa panas,” Kepala Kampung Payung Payung Rico mengabarkan kepada Mediaetam.com pada 16 Agustus 2023.

Kampung Payung-Payung ini berada di antara Kampung Teluk Harapan dan Kampung Bohe Silian. Ada 694 warga di kampung yang 336 orang adalah perempuan.

Kemarau begini, ujar Rico, air makin susah di kampung. Mata air tambah terasa payau. Jika dipaksa pakai, sabun pun tak mengeluarkan busa. Padahal, kampung ini paling banyak resortnya. Ada enam resort dan delapan homestay di kampung ini.  Ada pula Bandara Maratua yang juga perlu air. Kebutuhan air makin banyak, tak bisa mengandalkan pasokan air dari sumur-sumur di Teluk Harapan saat kemarau. 

“Saat ini kami kesusahan sumber air bersih. Sebenarnya, dari nenek kami problemnya begitu. Tetapi kalau dulu kan Maratua tidak setenar ini. Sekarang, kami dituntut mengembangkan pariwisata,” jelasnya.

Rencana menjadikan destinasi wisata unggulan, menurutnya, bakal jadi tantangan besar. Sebab, ketersediaan air bersih, cukup susah. Harapannya ada pada penyulingan air laut. Sebab, sumber air paling banyak ada di laut.

Bandara Maratua yang ada di kampung ini juga turut merasakan kesusahan air. Untuk mengatasinya, Kepala Bandara Maratua, Zaldi mengungkapkan pihaknya sebenarnya telah mengajukan sistem penyulingan air laut ke pemerintah pusat. Usulan miliaran rupiah ini hampir disetujui. Tetapi ada sejumlah kendala. Sebab, jaringan air ke sistem penyaringan melewati rumah orang, yang harus dibebaskan.

Konsep penyulingannya adalah sea water reverse osmosis. Air akan disaring hingga tawar, lalu disesuaikan pH-nya. 

“Setelah jadi air bersih. Ada dua keran. Satu buat warga dan satu buat bandara. Kapasitasnya 0,8 liter per detik,” papar dia.

Pihaknya berharap Pemda ataupun pemerintah pusat bisa merealisasikan penyulingan ini di Payung Payung. Sebab, kampung ini paling banyak resort dan bakal banyak berkembang pariwisatanya. Apalagi, jika IKN datang dan penerbangan menuju Maratua semakin sering.

Kepala Dinas Pariwisata Kaltim Ahmad Herwansyah membenarkan potensi Maratua sebagai destinasi wisata. Dia mengatakan, Pemprov memberikan perhatian untuk pengembangan Pulau Maratua sebagai destinasi wisata bahari. Saat ini, berbagai resort dan penginapan sudah ada di sana, bergantung kelas harga. Namun, dengan adanya “IKN”, kemungkinan akan ada penambahan resort. 

“Wisata bahari mereka maunya. Tetapi karena Maratua adalah pulau terluar, izinnya ke Kementerian,” jelasnya.

Banyaknya resort di Maratua berarti kebutuhan air juga lebih banyak. Iwan mengatakan, masyarakat lebih berminat pada penyulingan air laut. Sebab, air tanah terkadang payau. Tapi opsi yang tersisa di Maratua sebenarnya adalah air tanah dan penyulingan. “Air tanah tak akan habis. Sebab, ada hujan. Meskipun momen kemarau tentu berpengaruh pada pasokan air,” kata dia. Betulkah?

Tersisa Opsi Memanen Air Hujan

Dari data, Badan Pusat Statistik (BPS) Berau, ada 3.927 warga Pulau Maratua. Mereka terbagi dalam empat kampung. Pertama di Teluk Harapan, ada 1.237 orang. Kemudian, di Bohe Silian ada 1.194 jiwa, di Payung Payung ada 694 warga, dan Teluk Alulu 802 orang.

Air, kata Camat Maratua, Ariyanto, menjadi salah satu isu bagi warga Maratua sejak dahulu. Hujan menjadi andalan bagi warga untuk dapat sumber air tawar. Sebab, air sumur tanah, yang stoknya melimpah dan berkualitas bagus hanya di Teluk Harapan. 

“Waktu itu, sudah ada dites. Air kita di Teluk Harapan ini layak konsumsi. Sebenarnya di kampung lain, ada juga sumur-sumur warga. Tetapi kalau kemarau, airnya payau. Kalau yang di Teluk Harapan, tidak,” jelas dia pada 16 Agustus 2023 di kantornya yang ada di Kampung Teluk Harapan. Oleh karena itu, Maka, ujarnya, setidaknya ada 2.690 warga Maratua yang suplai airnya bergantung dari cuaca.

Penyulingan air laut juga menjadi opsi, namun mahal. “Maka dari itu, lebih memungkinkan mengandalkan air hujan untuk saat ini,” kata dia. 

Walhasil, program yang banyak diupayakan di wilayah itu berupa bantuan tandon air. Tujuannya agar masyarakat bisa menampung air lebih banyak. Masyarakat juga sebagiannya telah dibekali bagaimana memanen air hujan dengan baik. Meskipun, tak semua segera menerapkannya dan hanya melakukan tadah hujan seperti biasa.

Tapi ada kabar yang cukup membuat was-was. Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) pada tahun lalu telah melakukan penilaian kerentanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim di empat kampung di Maratua yaitu Bohe Silian, Teluk Alulu, Teluk Harapan, dan Payung Payung. Penilaian ini telah mengidentifikasi bahwa ketersediaan air bersih akibat perubahan pola musim dan curah hujan merupakan salah satu hal yang dapat menjadi masalah lebih besar di masa mendatang.

Hasil studi YKAN telah dipublikasikan pada tanggal 6 Juni 2023 dalam seminar tentang pemanenan air hujan dan pemaparan hasil studi penilaian kerentanan masyarakat pesisir pada 4 Kampung di Kecamatan Maratua. Coastal Resilience Senior Manager YKAN Mariski Nirwan, mengatakan kegiatan ini merupakan salah satu Program Kelautan di YKAN untuk meningkatkan ketahanan pesisir.

Kajian yang dilakukan YKAN menunjukan bahwa tingkat kerentanan pada kampung ini masih di tingkat rendah dan sedang. “Ketersediaan air bersih merupakan salah satu aksi prioritas yang diusulkan oleh masyarakat. Karenanya, ada seminar bagi warga Maratua,” ujarnya,di Pulau Maratua, Juni 2023. 

“Ditujukan untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan air hujan, bahkan hingga menjadi air siap minum,” dia menjelaskan.

Pengetahuan ini penting, pasalnya, perubahan iklim memperbesar risiko bencana dan kerentanan masyarakat pesisir akibat perubahan pola iklim. Perubahan iklim adalah kondisi di mana atmosfer dan laut mengalami perubahan. Misalnya berupa kenaikan suhu air laut, kenaikan muka air laut, perubahan pola musim dan curah hujan. Kondisi-kondisi tersebut diperparah oleh peningkatan populasi dan perubahan penggunaan lahan yang merusak ekosistem pesisir, sehingga masyarakat menjadi lebih rentan saat bencana akibat perubahan iklim terjadi.

Perubahan iklim yang terjadi secara global, termasuk Indonesia, menyebabkan berbagai dampak buruk, terutama bagi ekosistem dan masyarakat di wilayah pesisir, seperti Maratua dan wilayah lainnya. Akibatnya, ketahanan warga pesisir menjadi lebih rentan terhadap bencana dan mengalami tantangan dalam praktik budi daya dan mata pencahariannya yang sangat bergantung pada alam.

Seiring dampak perubahan iklim yang kian intens, dibutuhkan strategi mitigasi dampak perubahan iklim yang tepat dan mengedepankan Solusi berbasis Alam. Di antaranya dengan membangun kesadaran masyarakat lokal agar memiliki ketahanan dan responsif terhadap perubahan iklim serta bencana geologis lainnya. Hal ini penting dilakukan untuk mencapai keberhasilan dari upaya konservasi berbasis masyarakat dalam jangka panjang.

YKAN telah memberikan seminar bagi warga Maratua tentang Instalasi Pemanen Air Hujan (IPAH) dan Gama Rain Filter karya Agus Maryono, Dekan Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada. Sistem IPAH dan Gama Filter menjamin bahwa air tidak terkontaminasi bakteri dan siap minum. Founder Sekolah Air Hujan Banyu Bening Sri Wahyuningsih, menjelaskan bahwa beberapa liter air hujan yang turun di 10-15 menit pertama hujan akan ditampung tapi tidak masuk dalam sistem filter.

“Untuk menghindari polutan yang mungkin masih terbawa. Air hujan kemudian akan difilter dan harus dijaga tampungannya agar terlindung dari sinar matahari. Dengan proses ini, tanpa dimasak pun air hujan dapat siap diminum,” jelasnya.

Saat Krisis Iklim Membuat Maratua Makin Kesulitan Air

Untuk turut mengurangi kenaikan suhu bumi, Kalimantan Timur memiliki Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI). Ketua DDPI Kaltim Daddy Ruhiyat mengatakan pihaknya berusaha menekan gas emisi. Program ini berkaitan erat menekan angka deforestasi.

“Penurunan emisi Kaltim dari 2019 ke 2020 saja sudah dari 27,5 ton CO2e menjadi 9,3 juta ton CO2e di akhir 2020,” paparnya.

Namun, tantangan deforestasi masih besar. Dari hasil  Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Kaltim sepanjang 2010-2020, diketahui sektor kelapa sawit menjadi penyumbang terbesar deforestasi di Benua Etam sebanyak 51 persen. Disusul hutan tanaman industri atau timber plantation, sebanyak 14 persen, lalu sektor pertambangan 10 persen, sedangkan pembalakan liar atau illegal logging menyumbang 6 persen. Masih dari data yang sama, sepanjang 2007–2016, lahan yang sudah mengalami deforestasi di Kaltim sudah mencapai 1.140.536 hektare (ha) atau 114.053 ha per tahun. 

Sejumlah peneliti pun melakukan riset soal peningkatan suhu di Berau dan telah dipublikasikan dalam jurnal Lancet Planetary Health. Mereka menemukan peningkatan suhu 0,95 derajat celcius, dari 2002 hingga 2018 di Berau. Padahal, dunia membutuhkan 150 tahun, untuk menghangat 0,9 derajat celcius. 

Peningkatan suhu dapat berdampak pada akses air. Khususnya yang berada pulau-pulau kecil, efeknya bakal lebih terasa. Berau pun telah mengalami deforestasi 17 persen, tentunya akan berakibat pada kondisi di sana. 

Ilmuwan dari Universitas Jenderal Soedirman Yanto menjelaskan, kenaikan suhu akan meningkatkan laju penguapan baik dari tanaman maupun lahan. Ini mengakibatkan kadar air di lapisan atas tanah berkurang dan menyebabkan kekeringan. Namun, laju penguapan yang tinggi pada permukaan air seperti lautan meningkatkan kelembaban yang berpotensi meningkatkan curah hujan.

“Bagi pulau-pulau kecil, curah hujan menjadi andalan sumber air. Bagi pulau-pulau yang memiliki curah hujan rendah, perubahan suhu dapat meningkatkan tekanan terhadap ketersediaan air di wilayah tersebut,” jelas lelaki yang juga bagian dari jejaring ilmuwan Society of Indonesian Science Journalist (SISJ).   

Yanto menambahkan, upaya mitigasi yang dapat dilakukan pada kondisi ini adalah meningkatkan tutupan lahan vegetasi untuk meningkatkan cadangan air tanah dan mengurangi laju penguapan lahan. Selain itu, memanfaatkan air laut sebagai sumber air menggunakan teknologi sea water reverse osmosis (seri). Juga, harus menggunakan air secara ekonomis.

Air tanah menjadi rujukan, ketika hujan tak lagi bisa ditadah. Namun, Akademisi Fakultas Teknik Universitas Mulawarman Shaloho Dina Devy menjelaskan, keberadaan air tanah itu bergantung pada akuifer. Juga bergantung cuaca.

Akuifer itu seperti kantong yang menyimpan air di dalam tanah. Jika akuifer tipis, air yang ditampung terbatas. Inilah alasan mengapa, air tanah di satu titik bisa lebih berlimpah sedang sisi lain tidak. Namun, keberadaan air tanah ini juga bergantung pada air hujan. Jika tak ada hujan, maka makin lama makin kering. 

Dia menjelaskan, kenaikan suhu akan berdampak pada air tanah. Siklus hidrologi ada air hujan, infiltrasi, dan penguapan. Infiltrasi air tanah dari air hujan itu bisa berkurang, ketika curah hujan rendah. 

“Lalu evaporasi dan run off. Untuk menghitung evaporasi dan run off ini ada komponen suhu. Makin tinggi suhu, penguapan makin tinggi. Kalau penguapan makin tinggi, timbunan akan berkurang. Jadi siklusnya sangat terkait,” paparnya.

Dia menjabarkan, jika suhu makin naik, penguapan makin tinggi. Sementara, perhitungannya, curah hujan dikurangi penguapan, jadinya infiltrasi air tanah berkurang. Maka, jika suhu naik, maka makin susah dapat air.

Senada dengan Yanto, Shaloho juga menegaskan mitigasi hidrologi yang berkaitan erat untuk kasus air tanah kuncinya adalah tata guna lahan. Makin banyak vegetasi, ada daya serap dari akar, akan membantu infiltrasi air tanah. Jenis akar tunggang yang panjang sampai dalam, biasanya lebih banyak menyimpan air.  Kalau banyak vegetasi, koefisien rendah, 80 persen jadi air tanah. 

Tata kelola lahan harus benar-benar diperhatikan di pulau. Pemberian izin pembangunan atau permukiman harus selektif. Jangan sampai, demi kemajuan pariwisata, pembukaan lahan diberikan luas, namun imbasnya pada ekosistem di pulau tersebut. Akhirnya, penduduk lokal yang merasa sengsara karena air makin susah didapat.

—– 

Liputan ini merupakan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023” terlaksana dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Id Academy, dan US Embassy.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di Mediaetam.com

Previous
Previous

“Kalasahan” dan Anak-anak Maratua di Masa Depan

Next
Next

Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?