Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?

HUJAN lebat tiba-tiba mengguyur Dusun Puro, Desa Muntei yang terletak di bagian selatan Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, setelah sepuluh hari panas terus-menerus pada pertengahan September 2023.

Nurbay Albertina Sakerebau berteriak girang sambil bergegas mengambil beberapa ember kosong. Ia berlari ke halaman dan menaruh ember-ember itu di atas tanah untuk menampung hujan langsung dari langit. Merasa kurang cukup, ia kembali ke dapur mengambil periuk, lalu ke sana-kemari mencari wadah apapun untuk menjejerkannya di halaman yang terbuka.

Rahmat Ziki, perawat di Puskesmas Pembantu Dusun Korit Buah, Desa Sinakak, Pagai Selatan di depan tangki air penampung air hujan yang kosong saat kemarau, September 2023. Ia terpaksa mengambil air ke anak sungai yang berjarak satu kilometer untuk keperluan sehari-hari. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Begitu wadah-wadah itu dipenuhi air hujan yang betul-betul terisi penuh oleh curahan air hujan tanpa bantuan apapun, ia mengangkutnya ke dapur. Ember-ember itu ia salin ke ember-ember besar tempat persediaan air minum bagi keluarganya.

Nurbay tidak menampung air hujan dari cucuran atap rumahnya karena atapnya terbuat dari rumbia. Atap rumbia adalah atap tradisional di Mentawai yang dijalin dari pohon sagu.

“Bisa merah nanti warna airnya kena atap rumbia,” kata Nurbay, perempuan 55 tahun itu, tertawa ketika ditanya.

Kemarau awal September itu benar-benar membuat Nurbay sekeluarga merana. Sepuluh hari yang selalu panas membuat ia kesulitan mendapatkan air minum, karena sumber air minumnya selama ini adalah air hujan. Ia biasa menampung air hujan di beberapa ember untuk persediaan minum dan memasak hingga datang hujan berikutnya.

Hujan juga akan mengisi sumur di belakang rumahnya untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Jika kemarau datang sumurnya akan mengering. Terkadang ia menunggu air tanah muncul di sumur itu, tapi dapatnya hanya seember. Itupun terasa payau.

“Air itu saat direbus untuk air minum, saya harus memasukkan sepotong kayu ‘pangerejet’ dalam periuk agar airnya harum, tidak ada bau air payau,” ujarnya.

‘Panggerejet’ adalah nama pohon yang di Pulau Siberut sering dipakai masyarakat untuk mengharumkan air minum dengan memasukkannya ke air yang sedang direbus. Aromanya wangi dan meminumnya terasa menyegarkan.

Selama musim kemarau, setiap pagi Nurbay membawa jeriken untuk mengambil air di anak sungai di pinggir hutan yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Biasanya di sana juga sudah banyak orang yang mengantre. Tidak hanya warga desanya, tapi juga dari desa tetangga, seperti Desa Muara Siberut.

“Kami ke sana hanya mengambil air minum dan mencuci, kalau kami mandi di sungai yang lebih besar, Sungai Rereiket, tapi airnya agak asin karena sudah dekat ke muara,” ujarnya.

Sejak dulu warga di dusun Nurbay mengandalkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Karena itu kesulitan air bersih akan terasa saat kemarau. Semakin panjang kemarau maka semakin lama penduduk merana kekurangan air.

Tidak hanya di Siberut bagian timur, di pantai barat Pulau Siberut juga terjadi krisis air. Di Desa Betaet, pusat Kecamatan Siberut Barat penduduknya juga sering mengeluhkan kesulitan air minum. Padahal desa yang berawal dari kampung tradisional itu berada di dalam kawasan Taman Nasional Siberut.

Fachri, wakil kepala SMA 1 Betaet pada 9 Oktober 2023 mengatakan sudah satu setengah bulan hujan tidak turun di Betaet. Sebagian sumur warga mengering, termasuk sumur di rumahnya.

“Saya minta air ke pemilik penginapan di sebelah rumah saya yang air sumurnya masih ada, warga lainnya juga minta air ke sana untuk air minum,” katanya.

Fachri mengatakan saat itu warga kesulitan mencari air bersih. Fachri sudah bertugas lima tahun di Betaet dan selalu merasakan kesulitan air bersih ketika musim kemarau.

Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM milik Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah membuat instalasi air bersih di Betaet. “Tapi sampai sekarang airnya belum jalan,” kata Fachri.

KERENTANAN PULAU-PULAU KECIL

Penggunaan air hujan sebagai sumber air utama bagi warga Mentawai saat ini menandakan kerentanan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim.

Kepala BMKG Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Koto Tabang, Sumatera Barat Sugeng Nugroho mengatakan di Sumatera Barat kekeringan semakin terasa karena fenomena El Nino dan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) yang terjadi bersamaan sejak awal September 2023.

El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah yang mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Sedangkan IOD adalah fenomena naik-turunnya suhu permukaan laut di Samudera Hindia, tepat di mana kepulauan Mentawai berada.

“Sebenarnya di Sumatera Barat pengaruh El Nino tidak terlalu signifikan seperti di Jawa, namun karena ada fenomena IOD yang terjadi di Samudera Hindia di sebelah barat Pulau Sumatera berdampak pada kemarau dan tidak ada hujan,” katanya, Selasa, 10 Oktober 2023.

Menurut Sugeng fenomena IOD menyebabkan suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian barat mendingin. Ini mengakibatkan tidak terjadinya penguapan dan tidak terjadi hujan.

“Dua fenomena ini kalau terjadi berbarengan seperti saat ini dampaknya menjadi luar biasa, seperti pernah terjadi pada 1997, 2015, dan 2019. Kemarau akan jauh lebih kering dan keterlambatan musim hujan. Musim hujan diperkirakan akan mulai pada November,” ujarnya.

Dampak El Nino dan IOD ini, kata Sugeng, lebih terasa bagi pulau kecil seperti di Kepulauan Mentawai. Sebab pulau-pulau di Mentawai tidak memiliki cadangan air tanah yang banyak seperti di Pulau Sumatera.

“Kami tidak punya data langsung tentang Kepulauan Mentawai, tapi sepengetahuan saya, karena di pulau-pulau kecil tidak punya cadangan air tanah yang banyak dibandingkan pulau besar seperti Pulau Sumatera yang punya bukit, gunung dan hutan yang lebat, pulau kecil bisa lebih rentan kekurangan air,” katanya.

KESULITAN AIR DI UTARA DAN SELATAN

Kesulitan air minum juga terjadi di Pulau Pagai Selatan. Tiga hari saja hujan tidak turun membuat Astrina Saogo harus bekerja lebih keras. Pukul enam pagi perempuan 25 tahun itu sudah menenteng jeriken 15 liter dan ember berisi kain cucian.

Bersama perempuan lain, ia berjalan kaki 1 km menelusuri jalan setapak menuju anak sungai. Jalan ke sana menaiki dan menuruni bukit di ladang pinggir hutan. Di anak sungai itulah ia mandi, mencuci, dan mengambil air untuk dimasak.

Pulangnya, Astrina membawa beban yang jauh lebih berat. Ia menenteng jeriken yang penuh air dan ember berisi kain yang sudah dicuci.

Itulah yang terjadi di Dusun Korit Buah, Desa Sinakak, Pulau Pagai Selatan. Rumah penduduk, seperti rumah Astrina, mengandalkan air hujan yang ditampung untuk air minum dan kebutuhan lain.

Selain bak penampungan air hujan, mereka juga memiliki sumur. Tapi sumur itu juga sangat tergantung hujan. Jika musim hujan, air banyak di dalam sumur dan cukup jernih. Tetapi jika hujan tidak turun tiga hari saja, air di dalam sumur sangat sedikit dan keruh. Air itu tidak bisa lagi digunakan untuk keperluan sehari-hari.

Kesulitan air juga terjadi di desa-desa relokasi korban tsunami di sepanjang jalan utama Pulau Pagai Selatan. Di Desa Bulasat, ibu Kecamatan Pagai Selatan, beberapa sungai kecil mengalir di belakang permukiman. Airnya dalam, jernih, dan biru. Cuma ketika air itu disimpan di ember semalam saja maka di bawahnya mengendap material seperti kapur.

Sumur yang digali warga di belakang rumah juga tidak menghasilkan air yang bersih. Akhirnya mereka mengandalkan air hujan untuk air minum serta air sungai untuk mandi dan mencuci.

Puskesmas Bulasat yang melayani tiga desa, Desa Sinakak, Desa Tinumbu, dan Desa Bulasat juga mengandalkan air hujan. Di sana ada tiga bak penampung air hujan yang terhubung ke talangan cucuran atap dari seng.

Dokter Sanjettro, dokter satu-satunya di Puskesmas Bulasat menceritakan ia sekeluarga meminum air hujan selama tujuh tahun bertugas di sana.

“Kalau hujan tidak turun, saya juga harus mencari air bersih ke sungai, membawa jeriken dengan sepeda motor,” katanya.

Kesulitan air minum tidak hanya terjadi di Pulau Pagai Selatan, tetapi juga di Pulau Pagai Utara. Kedua pulau itu hanya dipisah selat selebar 800 meter.

Warga di Pulau Pagai Utara juga mengandalkan air hujan untuk air minum. Sedangkan untuk mandi dan keperluan rumah tangga mereka lakukan di sungai.

Penduduk yang sangat kesulitan air adalah perkampungan yang berlokasi di punggung perbukitan. “Setiap hari mereka hanya sibuk dengan masalah air,” kata Gabriel Sakeru, camat Pagai Utara.

Gabriel mengatakan di Pulau Pagai Utara seminggu saja tidak turun hujan masyarakat akan kesulitan mendapatkan air minum. Sumur yang digali airnya kotor. Jika tidak turun hujan, satu-satunya air hanya didapat dari sungai, termasuk untuk sumber air minum.

Menurut Gabriel kesulitan air yang terjadi di Pulau Pagai Utara maupun Pagai Selatan erat kaitannya dengan hilangnya banyak hutan alam akibat penebangan yang dilakukan perusahaan kayu. Di Pagai Utara banyak hutan yang memiliki pohon-pohon besar sudah habis ditebangi perusahaan.

“Hutannya sudah tidak punya pohon dan tanah tidak bisa menampung air,” katanya.

IBU KABUPATEN JUGA KESULITAN AIR

Kesulitan air minum juga terjadi di Tuapeijat, ibu Kabupaten Kepulauan Mentawai. Akibat hujan tidak turun berhari-hari, warga di Pulau Sipora itu kesulitan air minum sejak minggu pertama September 2023.

Sebagian besar warga mengandalkan air hujan untuk air minum dan sebagian rumah warga sudah dialiri air PDAM. Namun Sungai Simalelet yang menjadi sumber air PDAM di Tuapeijat jauh menyusut sehingga aliran air PDAM terhenti.

Pinda Tangkas, warga Tuapeijat mengatakan akibat hujan yang tidak kunjung turun di Tupaeijat selama dua bulan terakhir membuat air PDAM tidak lagi mengalir ke rumahnya.

Truk penjual air yang mengambil dari sungai untuk dijual kepada warga di Tuapeijat, ibu Kabupaten Kepulauan Mentawai, 5 Oktober 2023. Satu tangki kotak berisi 1 ton air dijual Rp150 ribu. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

“Untuk kebutuhan memasak dan air minum dalam satu minggu kami harus membeli tiga galon air isi ulang dengan harga Rp10 ribu per galon. Persoalan air bersih sangat berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan dalam rumah tangga,” katanya, 5 Oktober 2023.

Pinda menuding penebangan hutan yang marak di Pulau Sipora dalam dua tahun terakhir sebagai penyebab air sungai sumber PDAM menjadi cepat menyusut saat musim kemarau. Menurutnya salah satu kawasan hutan yang ditebang merupakan kawasan tangkapan air di Tuapeijat.

“Seharusnya daerah kepulauan kecil seperti Mentawai hutannya tidak boleh ditebang dalam skala besar, itu berdampak pada lingkungan seperti menyebabkan krisis air saat ini. Dulu mendapatkan air tidak pernah sesulit ini,” ujarnya.

MASA DEPAN MENTAWAI

Ade Edward, ahli geologi yang pernah menjadi ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) Daerah Sumatera Barat mengatakan Mentawai sebagai kepulauan kecil sangat rentan terhadap perubahan akibat eksploitasi hutan. Dampak kerusakan sistem orologi (tata rupa gunung) dan hidrologi (tata air) akan terlalu besar.

“Pulau kecil seperti di Kepulauan Mentawai sumber air tawarnya terbatas, apabila hutan terbuka keberadaan air tawar akan habis,” kata Ade Edward, Sabtu, 23 September 2023.

Menurut Ade perubahan tata guna lahan akan memengaruhi parameter hidrogeologi daerah ‘catchment area’ atau daerah tangkapan air. Apalagi sumber air berasal dari mata air di lereng bukit yang mengalir ke sungai-sungai kecil. Dampak penebangan hutan secara masif, kata Ade, mengakibatkan banyak terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, serta erosi saat hujan dan kekeringan saat kemarau.

“Pulau-pulau kecil lebih rendah kemampuan menyimpan air tanah, makanya Mentawai potensi air tanahnya minim, harus diatur keseimbangaannya, harus diiringi langsung dengan reboisasi tanaman penutup, juga perlu disiapkan embung-embung untuk menyimpan cadangan air,” ujarnya.

Berkurangnya sumber air minum bisa semakin cepat, kata Ade, jika deforestasi terus terjadi. Sebab hilangnya tutupan hutan yang seharusnya melindungi bantalan air menyebabkan berkurangnya resapan air. Belum lagi ditambah masifnya pembangunan di daerah pesisir yang berpotensi mengurangi sumber daya air.

“Hidrologi adalah siklus yang kompleks, pada dasarnya curah hujan yang turun tertahan di daerah hutan tropis, kalau tempat itu tidak memiliki ceruk air untuk menangkapnya dan tidak ada hutan, maka akan kehilangan air tawar yang akan langsung mengalir ke laut,” katanya.

PULUHAN RIBU HEKTARE AKAN MENGHILANG

Penebangan hutan alam di Kepulauan Mentawai dalam dua tahun terakhir kembali marak akibat Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III (BPHP) Pekanbaru mengeluarkan 31 hak akses SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) di Areal Penggunaan Lain atau APL dengan rata-rata seluas 50 ha. Enam hak akses sudah melakukan penebangan pada 2022 dan delapan lainnya pada 2023.

Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, kayu yang sudah ditebang melalui hak akses SIPUHH pada Januari hingga 18 September 2023 di Pulau Sipora dan Pulau Pagai Selatan sebanyak 15.177 batang atau 29.938 kubik. Pada 2022 penebangan hutan alam di areal penggunaan lain di Pulau Sipora sebanyak 8.388 batang pohon atau 20.237 kubik kayu.

Kayu hasil tebangan dari hutan Pulau Sipora milik salah satu Pemegag Hak Atas Tanah (PHT) yang mendapat Hak Aksis SIPPUH menjelang dibawa keluar dari Pelabuhan Simaubuk, Tuapeijat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Agustus 2023. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai Yosep Sarogdok mengatakan pemberian izin penebangan hutan di APL hanya modus untuk pengambilan kayu yang dilakukan oleh investor sehingga terjadi penggundulan hutan di mana-mana di Mentawai.

“Penebangan hutan di Kepulauan Mentawai saat ini semakin menghawatirkan, dampaknya sangat besar terhadap lingkungan, kami sudah sebulan krisis air karena tidak turun hujan, air Sungai Simalelet yang menjadi sumber PDAM Tuapeijat susut karena hulunya sudah ditebang pemilik PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah),” kata Yosep Sarogdok, Kamis, 5 Oktober 2023.

Menurutnya krisis air juga menyebabkan kebun masyarakat mengalami kekeringan yang menyebabkan tanaman banyak layu dan mati.

Yosep mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus merevisi ulang kebijakan mereka tentang pemberian hak akses penebangan di kawasan hutan APL dan hutan produksi, karena selama ini sebagian hutan di Kepulauan Mentawai sejak 1970 ditetapkan menjadi hutan produksi untuk ditebang perusahaan.

“Seharusnya daerah kepulauan kecil seperti Mentawai hutannya tidak boleh dikelola perusahaan, apalagi skala besar,” ujarnya.

Penebangan hutan yang berlangsung di Mentawai saat ini tidak hanya melalui hak akses SIPUHH, tetapi juga Hak Pengusahaan Hutan. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat ada dua pemegang HPH yang beroperasi di Mentawai, yaitu PT Minas Pagai Lumber dan PT Salaki Sumaa Sejahtera yang saat ini sedang melakukan penebangan hutan.

PT Minas Pagai Lumber yang memiliki HPH seluas 78 ribu hektare di Pulau Pagai Selatan dan Pulau Pagai Utara akan terus beroperasi hingga 2054. Sedangkan PT Suma Salaki Sejahtera yang memiliki HPH seluas 49.440 hektare di Pulau Siberut akan beroperasi hingga 2054.

Penebangan yang dilakukan PT Minas Pagai Lumber di Dusun Matobat, Desa Sinakak menyebabkan banjir besar pada 25 Agustus 2023 yang melanda Desa Sinakak. Banjir besar yang datang setelah hujan yang turun beberapa jam menghanyutkan 39 hekatre sawah di Desa Sinakak, menghantam ladang pisang yang menjadi andalan perekonomian masyarakat serta menggenangi ladang dan jalan dengan lumpur selama tiga hari.

Banjir itu diyakini warga dampak dari penebangan hutan yang sedang dilakukan PT MPL di areal  Rencana Kerja Tahunan (RKT) di Dusun Matobat sejak 1,5 tahun lalu.

“Pohon di tepi sungai juga ditebang oleh perusahaan, hutannya dibuka, ini banjir paling besar yang pertama kali terjadi di Dusun Matobat sejak dusun ini terbentuk pada 1964,” kata Kepala Dusun Matobat Tarsan Saleleubaja di Desa Sinakak pada 26 Agustus 2023.

Meski begitu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terus mengeluarkan izin penebangan hutan skala besar di Kepulauan Mentawai. Pada 26 Desember 2018 KLHK mengeluarkan izin Hutan Tanaman Industri seluas 19.876,56 hektare  di Pulau Siberut untuk PT Biomas Andalan Energi. Tapi perusahaan ini belum beroperasi saat ini.

Pada 28 Maret 2023 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal mengeluarkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas 20.706 hektare kepada PT Sumber Permata di Pulau Sipora. Informasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat menyebutkan izin PBPH juga diberikan kepada PT Landarmil seluas 20.000 hektare di Pulau Siberut.

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Rifai Lubis mengatakan bisnis penebangan kayu, baik melalui PBPH di dalam kawasan hutan maupun melalui akses SIPUHH di luar kawasan hutan, akan berdampak luas terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat di Kepulauan Mentawai.

“Pemerintah pusat harus melakukan evaluasi kehadiran kegiatan-kegiatan pemanfaatan kayu di Kepualauan Mentawai yang memiliki kerentanan, sebagai pulau-pulau kecil secara geologi batuannya muda, gampang mengalami erosi, jadi intervensi sekecil apapun terhadap hutannya itu pasti berdampak terhadap lingkungan. Jadi hutan Mentawai itu seharusnya tidak dieksploitasi,” kata Rifai Lubis pada Jumat, 13 Oktober 2023.

Ketua DPRD Mentawai Yosep Sarogdok menyesalkan apa sedang terjadi di daerah. “Mau diapakan Mentawai ini kalau hutannya terus ditebang, masyarakat sudah kesulitan air minum, juga sering terjadi banjir, apa tidak kasihan dengan masyarakat Mentawai,” ujarnya. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)

*) Liputan ini merupakan program Fellowship "Archipelago of Drought 2023" terlaksana dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Id Academy, dan US Embassy.

Artikel ini sebelumnya sudah terbit di JurnalisTravel.com dengan judul yang sama Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?


Previous
Previous

Dilema Air di Maratua, Hujan Tak Tentu, Air Tanah Payau, dan Penyulingan Air Laut yang Tak Mudah

Next
Next

Kala Kubah Gambut Musnah, Warga Pesisir Berada di Titik Nadir