“Kalasahan” dan Anak-anak Maratua di Masa Depan

Di pulau terluar di Kalimantan Timur, sebuah sekolah gratis berdiri. Di Pulau Maratua ini, anak-anak belajar. Bagaimana mengenal pulaunya, alamnya, dan pengetahuan lain dalam bahasa inggris. Supaya, tak kalah saing saat wisatawan terus datang dan pulaunya selalu nyaman mereka tinggali.  

Nofiyatul Chalimah – Pulau Maratua 

Langit sudah gelap, debur ombak hanya terdengar sambil terlihat remang-remang di bawah cahaya bulan. Sekelompok anak membawa kursi plastik kecil yang mereka atur di bawah pohon dengan lampu kuning di tepi pantai. Seorang lelaki berkacamata, juga menarik papan tulis di depan kursi plastik yang telah berjajar.

Semua anak-anak duduk rapi di kursi menghadap lelaki yang kini membawa sebuah gitar kecil. Nyanyian berbahasa Inggris menggema. Iringan tepuk tangan dan petikan senar gitar terdengar bersahutan. Lalu lagu berganti dengan bahasa bajau, suku yang mendominasi Pulau Maratua.

Ini adalah kelas kedua hari itu. Mereka berada di kelas yang dibuka Yayasan Kalasahan di Pulau Maratua. Di pulau ini, anak-anak belajar gratis. Belajar bahasa Inggris, belajar soal alam, dan juga mengembangkan diri.

Anak-anak Pulau Maratua ini belajar mengenal kosakata bahasa Inggris. Mereka juga belajar bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik. Tak boleh buang sampah sembarangan dan  bertanggung jawab dengan peralatan belajarnya. Anak-anak juga belajar, pentingnya mangrove dan kelestarian alam.

Enter adalah lelaki berkacamata yang mengajar anak-anak di Yayasan Kalasahan, Maratua. Dia menjadi volunteer tetap di Yayasan ini sejak Mei 2022. Awalnya, dia adalah guru di Balikpapan, Kalimantan Timur yang sudah 12 tahun berkarier. 

“Ketika ditawari, saya mau saja. Di Balikpapan saya juga sering volunting begini,” cerita Enter.

Menjejakkan kaki di Maratua, dia punya tantangan besar. Mengajar anak-anak di perkotaan dan yang tinggal di pulau, tentu berbeda. Dia mengajarkan pengembangan diri dan lingkungan yang dikemas dalam bahasa inggris. Hal ini, pasti tidak mudah.

“Tantangannya, bagi saya adalah naik turun peserta dan memastikan mereka selalu antusias,” sambungnya.

Kelas sore di yayasan Kalasahan (dokumen: Noffi)

Wajar, jika tak semua selalu bersemangat belajar. Namun, tetap ada yang sangat bersemangat. Kelas di kalasahan dibuka tiap sore dan malam, pada Senin, Rabu, dan Jumat, tetapi ada yang sudah datang sore, datang lagi di malam hari. 

“Semuanya belajar gembira dan semuanya belajar saling menghargai,” kata dia.

Enter sendiri mengajar, tetapi terkadang tidak. Sebab, banyak relawan yang membantunya belajar. Para turis pun, tak sedikit yang juga meluangkan waktu mengajar anak-anak.

Meskipun terkadang, hambatan masih ada. Seperti fasilitas yang terbatas dan lampu yang redup. Namun, semua diusahakan Enter tak menghalanginya membantu anak-anak di Maratua tak kalah saing dengan anak-anak di perkotaan.

Dari Janji Saat Ulang Tahun

Adalah Marwa Serlyanti Al Idrus. Perempuan asal Balikpapan yang menginisiasi Yayasan Kalasahan, Maratua.  Tujuan mereka, membuat anak-anak Maratua tak jadi penonton di pulaunya sendiri. Anak-anak bisa bersaing dan punya kemampuan yang mumpuni. Bahasa Inggris pun dirasa jadi kunci agar Pulau Maratua yang erat dengan pariwisata, juga bisa dinikmati warganya sendiri. Mengajar soal alam juga penting, untuk memastikan Pulau Maratua masih bisa dinikmati anak-anak di masa depan. 

Yayasan Kalasahan ini, tidak akan ada, jika Serli tak datang ke Maratua pada 2019. Saat itu, dia yang ulang tahun, berdoa jika sehat selalu menyertai, dia akan membuat sesuatu di pulau ini. Dua tahun kemudian, janji pun dia mulai tunaikan. Pelan-pelan, limbah kayu yang terdampar di tepi pantai disulap jadi tempat duduk dan pondok tempat anak-anak belajar di tepi pantai. Nama Kalasahan pun dia pilih. Sebab, artinya adalah kesayangan dalam Bahasa Bajau. Sekolah pun dibuka, di tepi pantai Teluk Harapan. Tak jauh dari dermaga umum Pulau Maratua.

“Kebanyakan anak-anak yang ikut kelas. Untuk belajar Bahasa Inggris,” kata dia.

Anak-anak Maratua bermain di tepi pantai saat senja. (Noffi/Mediaetam.com)

Kalasahan pun kini beroperasi dari uang pribadi, donasi, dan laba dari penjualan merchandise. Walau kadang tertatih, usaha ini dia terus lakukan bersama kawan-kawan yang menyemangatinya. Supaya bisa mewujudkan harapan Pulau Maratua maju dan bisa dinikmati anak-anak hingga mereka dewasa atau punya anak cucu. Cita-cita membesarkan sekolah dan merangkul banyak anak di Pulau Maratua pun, masih ada.

Alasannya, masa depan Maratua, memang ada di tangan anak-anak ini. Dari 3.927 total warga Maratua, 1.232 orang adalah anak-anak di bawah 14 tahun. Sepuluh tahun mendatang, mereka yang akan hidup dan mengambil keputusan untuk Maratua. Anak-anak pun belajar mengenal alamnya yang masih serba kekurangan air. Mereka turut diajak mengenal lebih dekat pentingnya mangrove di pulaunya. Juga, bagaimana menjaga kebersihan. 

Sebab, tantangan 10 tahun ke depan akan makin besar. Nasib baik jika di Kaltim, tak ada degradasi dan potensi kenaikan suhu juga tak ada. Tak seperti 2002 hingga 2018, yang terjadi deforestasi dan membuat Berau mengalami kenaikan suhu 0,95 derajat celcius, seperti yang terpublikasi dalam jurnal Lancet Planetary Health.

Namun yang jelas, ketika Kaltim jadi lokasi Ibu Kota Negara (IKN), dan Pulau Maratua makin tenar. Anak-anak harus dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang makin bergeliat dari wisata, dan juga kewajiban menjaga alam. Supaya, wisata tetap menarik, mereka sejahtera, dan pulau tetap nyaman ditinggali. 

—– 

Liputan ini merupakan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023” terlaksana dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Id Academy, dan US Embassy.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di mediaetam.com

Previous
Previous

Hilang Asa di Tengah Sawah

Next
Next

Dilema Air di Maratua, Hujan Tak Tentu, Air Tanah Payau, dan Penyulingan Air Laut yang Tak Mudah