Hilang Asa di Tengah Sawah

Petani di Distrik Masni, Manokwari mengalami gagal panen dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan karena terjadinya pendangkalan di lahan pertanian milik warga.

Berpayungkan camping yang ia buat dari bajunya, Karsono dengan paculnya yang sedari awal sudah dibawa dari rumah mulai menggali dan memindahkan sedimen pasir dan lumpur yang menutupi aliran irigasi yang mengaliri sawah miliknya.

Sawah milik Karsono sendiri berlamat di Kampung Bowi Subur, Distrik Masni, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Pria asal Jawa Tengah ini sudah kurang lebih 25 tahun menjadi petani di Kabupaten Manokwari.

Dari hasilnya bertani, ia dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan berhasil menyekolahkan putranya hingga perguruan tinggi.

Sejumlah petani di Distrik Masni saat memeriksa saluran irigasi yang melintasi sawah.

Namun dalam 3 tahun terakhir ini, Karsono mengaku padi yang ia tanam sulit untuk tumbuh. Akibatnya hasil panennya dari tahun ke tahun semakin anjlok.

“Karena banyak padi yang susah tumbuh, kalaupun ada yang tumbuh itu tidak sehat” ujarnya saat ditemui medio Agustus 2023.

Penurunan hasil produksi pertanian jenis beras ini menurutnya karena adanya sedimen pasir dan lumpur yang terbawa oleh aliran air dari sungai Wariori.

Wariori merupakan sungai terpanjang yang ada di Kabupaten Manokwari. Lebar dari sungai ini adalah 101 Meter dan memiliki panjang 18.7 KM.

Sungai ini memiliki total 3 anak sungai yakni, Sungai Waserawi, Wamomi dan Kali Kasi.

Aliran yang dialirkan oleh ketiga anak sungai Wariori inilah yang digunakan oleh masyarakat di Distrik Masni untuk kebutuhan sehari-harinya termasuk untuk pertanian.

Karsono menyebut bahwa, sedimen pasir dan lumpur yang hampir setiap harinya ia bersihkan karena menutupi saluran irigasi ini terbawa oleh aliran air dari sungai induk.

“Karena di atas (hulu) sungai itu ada tambang, jadi dari tambang itu kan mereka jadi kita yang kena (terdampak) disini” ungkapnya.

Karsono mengungkapkan, beragam upaya telah ia dan petani yang ada di Distrik Masni lakukan agar pemerintah daerah setempat dapat menindak lanjuti adanya aktivitas penambangan di hulu sungai Wariori.

Karsono saat membersihkan ladang jagung miliknya

Namun upaya yang dilakukan oleh para petani, menurutnya tidak pernah direspon oleh penerintah.

“Untuk pastinya kita sebagai petani tidak tahu apakah tambang itu ada ijinnya atau tidak kami tidak tau. Tapi beberapa kali kita sudah ketemu Almarhum Bupati Demas Mandacan sampai sekarang Bupati Hermus juga sepertinya keluhan kami tidak direspon dengan baik”

“Karena tidak kita lihat sepertinya tidak ditindaklanjuti. Nanti kalau ada kecelakaan kerja di atas sana saja baru semua turun mulai dari SAR sampai Polisi” ucapnya.

Meski keluhan Karsono dan para petani lainnya yang ada di Distrik Masni seakan tidak direspon baik oleh pemerintah daerah setempat namun para petani itu tidak hanya tinggal diam dan berpangku dagu.

Berbagai upaya juga telah mereka lakukan agar sedimen pasir dan lumpur yang terbawa oleh arus air ini tidak masuk ke saluran irigasi pertanian mereka.

Salah satunya adalah membuat kanal. Tujuan dari pembuatan kanal tersebut selain untuk menampung air sebelum dialirkan ke irigasi pertanian, kanal ini dapat mengurangi masuknya sedimen pasi dan lumpur ke aliran irigasi milik warga.

“Kalau dibilang efektif sebenarnya tidak, karena masih saja ada pasir dan lumpur, tapi paling tidak bisa berkurang” tuturnya.

“Hanya itu yang bisa kita lakukan, karena sawah ini adalah harapan kami untuk menyambung hidup” tambahnya.

Dari data Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat, tahun 2020 merupakan puncak keemasan bagi para petani yang ada diseluruh Provinsi Papua Barat.

Dimana pada tahun tersebut, para petani di Provinsi Papua Barat menghasilkan panen beras seberat 23.378,63 Ton beras.

Hasil panen itu berasal dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua Barat kala itu termasuk Kabupaten Sorong dan sekitarnya yang kini masuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Papua Barat Daya.

Distrik Masni yang merupakan daerah pertanian di Kabupaten Manokwari merupakan salah satu penyumbang terbesar dengan hasil panen 573.47 Ton Gabah Kering Giling (GKG).

Namun sejak maraknya aktivitas penambangan ilegal sejak akhir tahun 2021 hasil panen di Distrik Masni setiap tahunnya mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Untuk panen tahun 2022 para petani berhasil memanen sebanyak 320 Ton GKG.

Sementara untuk panen pada bulan Juli lalu para petani di Kabupaten hanya berhasil memanen kurang lebih 274 Ton GKG.

Hal ini disebabkan karena padi yang ada di sawah sulit tumbuh dan banyak padi yang rusak.

Kepala Dinas Pertanian, Hortikultura dan Tanaman Pangan Kabupaten Manokwari, Kukuh Saptoyudo saat ditemui di ruang kerjanya, akhir Agustus lalu mengatakan bahwa saat ini pihaknya telah memberikan bibit padi varietas unggul dan tangguh untuk ditanami di lahan rawan terhadap banjir atau kekeringan ataupun serangan rawa organisme.

Pemberian bibit ini telah dilakukan pihaknya pad awal tahun 2023 lalu.

“Sudah kami berikan langsung kepada petani. Kalau dulu petani itumanfaatkan dua musim tanam dalam satu tahun, dua musim tanam itu Maret dan Oktober. Tapi karena sekarang beras petani sudah dibeli pemerintah, pasaran sudah pasti maka petani di SP1 satu tahun bisa panen tiga kali. Indeks Panen (IP) petani sudah 300,” kata Kukuh.

Ia mengatakan, pemerintah secara rutin membeli beras melalui badan usaha milik desa (BUMDes). Langkah itu selain menghidupi para petani, juga menghidupkan perekonomian di tingkat kampung.

“Pemerintah semula membeli beras dari petani seharga Rp10.973 per kg, tapi sekarang Rp12.500 per kg. Sekarang BUMDes juga tumbuh, tahun ini sudah ada empat BUMDes yaitu di SP1, SP2, SP4 dan SP10, sebelumnya hanya tiga,” ujarnya.

Ia menjelaskan, setelah dibeli pemerintah, BUMDes yang akan menyalurkan beras pada ASN Pemkab Manokwari. Satu ASN mendapat jatah 10 kg, suami-istri 20 kg. Sedangkan untuk anak maksimal 2 anak mendapat jatah 20 kg.

“Ini adalah langkah dari pemerintah untuk stabilkan harga dari petani. Kalau tidak begitu, tengkulak yang akan membeli beras dari petani dengan harga yang lebih murah,” kata Kukuh.

Kukuh menjelaskan, saat ini petani di Manokwari mampu menghasilkan beras 2 ton per 1 hektare sawah. Lahan pertanian tersebar di Distrik Warmare, Prafi, Masni dan Sidey dengan total luas lahan lebih dari 973 hektare.

“Sedangkan kelompok tani beras di Kabupaten Manokwari berjumlah 126,” kata Kukuh.

Pencemaran Air Sungai

Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Kabupaten Manokwari, menerima pengaduan dari masyarakat di SP 6 Distrik Masni, terkait penurunan kualitas air di Sungai Wariori.

Kabupaten Manokwari, P3KHPL bersama mitra Laboraorium PPLH Unipa, mengambil sampel air atas dugaan pencemaran Kali Wariori, Distrik Masni. Foto : Humas DLHP Manokwari

Kabupaten Manokwari, P3KHPL bersama mitra Laboraorium PPLH Unipa, mengambil sampel air atas dugaan pencemaran Kali Wariori, Distrik Masni. Foto : Humas DLHP Manokwari.

Dampaknya, ikan di kolam mati secara mendadak. Tanaman padi dan kangkung mengering. Tim DLHP Manokwari merespons laporan dugaan pencemaran lingkungan itu dan menurunkan tim untuk melakukan peninjauan.

Sampel air Sungai Wariori pun diambil untuk diuji di laboratorium. “Uji Laboratorium di Balai POM dan BPLH Universitas Papua hasilnya sudah ada. BPLH UNIPA baru masuk kemarin sehingga memang kita belum tindak lanjuti,” kata Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran, Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dan Pengaduan Lingkungan, Yohanes A Lebang.

Selanjutnya, DLHP Manokwari akan melakukan kajian analisis untuk menindaklanjuti hasil uji laboratorium. Sehinga, kandungan dalam sampel air bisa diketahui.

“Kalau hasil uji lab tidak menemukan kandungan merkuri dan atau kandungan besi lainya, kita akan menurunkan tim untuk melakukan uji teknis, di samping itu kami akan mencari alternatif lain untuk melihat kandungan sedimen tanah yang dimiliki,” katanya.

Pengaduan masyarakat saat itu lebih banyak terkait lahan pertanian. Sawah milik warga yang seharusnya mengandung sedimen tanah lempung, kini sudah pasir berdebu.

Indepth report ini terlaksana atas dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Indonesia Academy, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di parapara.tv

Previous
Previous

Reklamasi, Krisis Iklim, dan Pulau Pari yang Tak Lagi Punya Air Tawar

Next
Next

“Kalasahan” dan Anak-anak Maratua di Masa Depan