Kala Kubah Gambut Musnah, Warga Pesisir Berada di Titik Nadir
JAMBI, KOMPAS.com - Mesin chainsaw menderu dalam hutan. Pohon sebesar galon tumbang ke tanah. Rusnawati menyaksikan kejadian itu dengan pasrah. Dua lelaki membawa parang dalam hutan, meruntuhkan nyali Rusnawati. “Saya pernah melihat mereka menebang kayu. Tapi diam saja, saya takut,” kata Rusnawati, anggota masyarakat peduli api (MPA) Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung (Tanjab) Timur, Jambi, di rumahnya, Rabu (13/9/2023). Perambah itu menebang kayu pilihan dalam hutan, tetapi tidak banyak. Sekarang aktivitasnya sudah turun.
Ancaman terbesar di desa ini bukan perambah, melainkan kekeringan. Pada musim kemarau, air di rumahnya sering mati. Beberapa tahun belakangan, warga desa memanfaatkan air tanah dengan kedalaman lebih dari 100 meter. “Kalau kemarau air sering mati.
Kalau air berhenti mengalir, maka kami mengambil air di anak danau (lopak) jaraknya lebih dari 1 kilometer dari rumah,” kata perempuan pemadam api saat kebakaran pada 2019.
Rusnawati menyadari banyak yang berubah di desanya, sejak dia lahir 40 tahun lalu sampai sekarang. Setelah perusahaan beroperasi sejak 2004, desanya sering mengalami kekeringan ketika kemarau dan kebanjiran di musim hujan. Perusahaan itu membuka hutan gambut di belakang desa, luasnya ribuan hektar. Mereka menanam akasia dan eukaliptus. Tidak hanya itu, anak perusahaan Grup Sinarmas ini juga membangun jaringan kanal yang mengendalikan air sesuai kebutuhan. “Ketika musim hujan, kanalnya dibuka. Kalau musim kering kanalnya ditutup rapat. Akhirnya kami kekeringan ketika musim kemarau dan kebanjiran ketika musim hujan,” kata Rusnawati.
Perusahaan yang mengelilingi Desa Pematang Rahim bukan hanya PT Wira Karya Sakti (WKS), pemegang izin hutan tanaman industri, melainkan ada perusahaan perkebunan sawit bernama PT Agrotamex Sumindo Abadi (PT ASA). Bahkan, perusahaan pertambangan minyak dan gas (migas), yaitu Petrochina Ujung Jabung Ltd, mengantongi izin di kawasan hutan lahan gambut.
Sementara keberadaan hutan lindung gambut Sungai Buluh seluas 17.476 hektar, yang di dalamnya ada hutan desa Pematang Rahim dengan luas 1.185 hektar bernasib serupa. Kondisinya kritis dikepung PT Wira Karya Sakti seluas 23.993 hektar, kemudian PT Mendahara Agro Jaya Industri anak PTPN VI 3.231,95 hektar, lalu PT Kaswari Unggul seluas 10.500 hektar dan PT Indonusa Agro Mulya 10.670 hektar.
Berbagi Air
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, lembaga yang konsen pada isu konservasi dan pemberdayaan masyarakat, senantiasa mendorong masyarakat menjaga hutan agar tidak terjadi krisis air yang menyebabkan kebakaran. Lembaga berusia 27 tahun ini terus mendorong agar perusahaan memikirkan warga sekitar konsesi dengan menerapkan prinsip berbagi air.
Ade Candra, Koordinator Program KKI Warsi, menuturkan, perusahaan yang mengelilingi hutan lindung gambut Sungai Buluh belum sepenuhnya mematuhi regulasi restorasi gambut. Sesuai aturan PP Nomor 57 tahun 2016, setiap perusahaan yang dibebani izin di lahan gambut harus menjaga tinggi muka air di angka 40 sentimeter.
Tujuan dari aturan ini agar lahan gambut yang rentan krisis air dan terbakar tetap basah. Untuk menerapkan aturan itu, sambung Ade, perusahaan harus memasang sekat kanal untuk mengontrol air dalam jaringan kanal mereka yang mencapai ribuan.
Aturan ini apabila diberlakukan dengan baik, tidak ada daerah yang kekeringan saat musim kemarau dan banjir tidak merendam warga desa, ketika musim hujan. Artinya, prinsip berbagi air dapat terpenuhi. “Tata kelola air di lahan gambut sangat ketat, agar prinsip berbagi air dapat berjalan. Jangan sampai perusahaan memonopoli air ketika musim kemarau,” kata Ade.
Setelah negara telanjur memberikan izin kepada perusahaan sawit dan hutan tanaman industri untuk mengeksploitasi lahan gambut, maka regulasi yang mengatur restorasi gambut harus dipatuhi oleh perusahaan.
Fakta di lapangan gambut dengan kedalaman 3 meter belum dikembalikan ke fungsi lindung. Hingga saat ini, kawasan gambut dengan kedalaman 3 meter, masih diperuntukkan fungsi-fungsi selain lindung. "Gambut dengan kedalaman 3 meter harus dikembalikan marwahnya sebagai fungsi ekosistem lindung," Ade menambahkan. Jaringan kanal di PT ASA, perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit dengan luas hak guna usaha (HGU) sekitar 300 hektar, kanal-kanalnya terhubung ke hutan lindung gambut sehingga air di hutan lindung gambut Sungai Buluh merembes keluar. Perusahaan ini tidak memasang sekat kanal.
Cindy Amanda Putri (21) perempuan pengelola ekowisata gambut di Desa Pematang Rahim merasa khawatir, dengan adanya rembesan air dari hutan lindung gambut yang mengalir ke lahan perusahaan dan kemudian dibuang ke Sungai Mendahara. “Kanal perusahaan itu seolah ingin mengeringkan air di hutan Sungai Buluh. Yang kami bisa lakukan, menjaga hutan agar tidak kering yang dapat memicu kebakaran,” kata Cindy. Humas PT ASA, Sinaga menuturkan konsesinya hanya sedikit ketimbang lahan milik warga. Dia tidak menampik jika berbatasan dengan hutan lindung gambut Sungai Buluh.
Tetapi kanal perusahaan tidak masuk dalam wilayah hutan lindung. “Tidak ada masuk hutan lindung. Kalau mereka (warga Desa Pematang Rahim) tahu batasnya itu masih jauh, sekitar 30 meter,” kata Sinaga.
Dia tidak menampik jika semua kanal perusahaan saling terkoneksi membentuk jaringan untuk mensirukulasi air merata ke seluruh kebun. Dari banyak kanal itu mereka tidak memasang sekat kanal, tetapi membuat pintu air pada pembuangan terakhir. “Kita ada pintu air. Kanal kita semua terkoneksi, jadi tidak mungkin lahan kering,” kata Sinaga.
Yang paling menakutkan bukan PT ASA, tetapi perusahaan raksasa PT WKS. Dikatakan raksasa karena menguasai lahan hampir 50.000 hektar di sekeliling hutan lindung gambut Sungai Buluh.
Di Jambi perusahaan ini mulai beroperasi sejak 1996. PT WKS adalah perusahaan HTI pemasok bahan baku bubur kertas untuk perusahaan raksasa Asia Pulp and Paper (APP Sinar Mas). Dalam dokumen ringkasan publik tahun 2022 disebutkan, secara total perseroan ini menguasai konsesi seluas 290.380 hektar atau empat kali luas Jakarta.
Konsesi perseroan ini tersebar di lima kabupaten di Jambi dan terbagi menjadi delapan distrik. Konsesi perusahaan di Distrik VII berada di dua kabupaten, yakni Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur. Luas area Distrik VII PT WKS di konsesi ini mencapai 23.993 hektar dan merupakan area produksi di lahan gambut di KHG Sungai Batanghari-Sungai Lagan-Sungai Mendahara.
Konsesi di Desa Pematang Rahim, berada di area kerja Distrik VII. Di area tersebut lahan baru dibuka mulai 2004. Perusahaan membangun jaringan kanal dan jalan koridor di lahan gambut. Berdasarkan data ringkasan publik PT WKS yang dikeluarkan tahun 2022, khusus di Distrik VII perusahaan membangun jaringan kanal sepanjang 804.063 meter (804 kilometer) atau setara dengan jarak Jambi-Jakarta. Panjang kanal yang dibangun itu di antaranya kanal primer sepanjang 98.325 meter dan kanal sekunder sepanjang 705.738 meter.
Kanal-kanal perusahaan PT WKS terhubung ke Sungai Mendahara. Untuk kepentingan usaha, kanal-kanal itu dapat ditutup atau dibuka sesuai kebutuhan. Apa yang dialami masyarakat di Desa Pematang Rahim itu diduga akibat eksploitasi ekosistem gambut oleh perusahaan HTI di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di antara Sungai Batanghari-Sungai Mendahara. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi pernah merilis analisis peta konsesi WKS dan sebaran kedalaman gambut. Hasilnya menunjukkan kalau gambut kedalaman 4-8 meter di kawasan HTI WKS di Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur, atau Distrik VII luasnya mencapai 10.806 hektar.
Monopoli air
Aktivitas dari perusahaan ini, membuat masyarakat semakin terjepit. Tidak hanya merasakan dampak kekeringan dan kebanjiran, melainkan harus berusaha keras menjaga lahan dari kebakaran. Rusnawati peremuan dari Desa Pematang Rahim menuturkan semenjak perusahaan hadir, keadaan berbalik dan sukar diprediksi. Pembangunan jaringan kanal yang masif berdampak pada sistem tata kelola air di desanya.
Dia menceritakan pengalaman pahit hampir sebulan bergelut, memadamkan api di belakang kampung pada 2019 lalu. Lahan yang terbakar milik PT WKS. Dia memang tidak langsung memadamkan api, tetapi memasak untuk para pemadam kebakaran hutan. Jarak pos dengan lokasi titik api tidak terlalu jauh, sehingga napasnya selalu sesak dan mata berair. Rusnawati pantang pulang sebelum api padam. Dia bertahan di tengah asap yang terus menebal, hingga jarak pandang hanya 1-2 meter.
Padahal lima bulan selum kebakaran kata dia ratusan rumah di kampungnya tenggelam. Dia begitu heran, mengapa air datang bikin tenggelam, kalau pergi terjadi kebakaran. Pengetahuan tradisional warga, tak sanggup memprediksi alam. “Jarak berapa bulan, dua kejadian besar terjadi.
Bulan 4 banjir, sekitar September terjadi kebakaran. Kami bingung, air cepat datang, cepat juga perginya,” kata Rusnawati di beranda rumahnya. Sebelum kebakaran mengatakan, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) berulang terjadi di perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan HTI. PT WKS sebut Ade, menjadi salah satu perusahaan HTI yang mengalami kebakaran berulang 2015-2019. “Kalau musim hujan dibuka ini (bendungannya), jadi masyarakat kita, termasuk kebun saya sendiri tenggelam kena banjir,” kata Rusnawati. Masih jelas dalam ingatan Rusnawati, pada peristiwa banjir yang terjadi di desa pada April 2019, banjir paling parah yang pernah dirasakan.
Lahir dan besar di Desa Pematang Rahim, Rusnawati mengaku tak pernah melihat banjir separah itu. Banjir yang terjadi pada 2019, merendam hingga ratusan rumah. Bahkan banjir tersebut merendam jalan lintas Muara Sabak. Pada tahun tersebut kata dia, terjadi dua kali. “Ada 5 RT yang terdampak banjir,” katanya. Pejabat Humas PT WKS Taufik Qurochman melalui pesan singkat, Rabu (5/10/2023), berkelit sesuai regulasi di dalam pemulihan ekosistem gambut, sekat kanal dibangun untuk menahan level air di saluran setiap perbedaan elevasi 0,5 m atau di setiap zonasi tata kelola air.
Dengan demikian, ada dua tipe sekat kanal, sekat kanal tanpa limpasan dan sekat kanal limpasan. Sekat kanal tampa limpasan dibangun di batas kawasan lindung dengan posisi di setiap perbedaan elevasi.
Tujuan pembangunan sekat kanal tampa limpasan dibangun di kawasan lindung supaya tinggi muka air tanah (TMAT) yg kita peroleh bisa 0 sentimeter atau gambut dalam keadaan basah. Yang kedua sekat kanal dengan limpasan dibangun di posisi Kawasan budidaya di setiap perbedaan elevasi 0,5 meter dan pemisah zonasi tata kelola air. “Teknis pembangunan sekat kanal bisa secara mekanis dengan menggunakan alat berat dan konvensional dengan sistem cerucuk dan timbun tanah,” kata Taufik.
Dari regulasi yang ada, pemegang izin bebas menggunakan teknik apapun, untuk menerapkan sistem sekat kanal yang penting tujuannya sama, pemulihan ekosistem gambut dan menjaga TMAT yang sudah ditentukan pemerintah.
Aswandi, Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Jambi melihat masih ada "super power" dari perusahaan di kawasan hutan lindung gambut, sehingga tingkat kepatuhan dan pengawasan rendah.
Hasil penelitian Aswandi memprediksi kawasan pesisir timur, melingkupi Desa Sungai Beras dan Sinar Wajo, terancam tenggelam pada 2030, apabila gambut tidak dikelola secara berkelanjutan karena fenomena subsiden (penurunan muka tanah) dan dekomposisi (kerusakan gambut). Kanalisasi dari perusahaan di lahan gambut terbukti telah merusak gambut yang melepas banyak karbon ke udara, yang terburuk terjadi subsiden. Dampaknya masyarakat pesisir akan tenggelam karena penurunan muka tanah dan terjadinya kenaikan air laut. “Kubah gambut itu, analoginya seperti bubur panas. Apabila terus dimanfaatkan, maka dia akan mengalami subsiden dan dekomposisi,” kata Aswandi yang sudah menekuni bidang keilmuan ini selama 20 tahun.
Gambut dan air berteman. Apabila air dikeluarkan melalui kanal, kata Aswandi, tentu gambut akan hilang dengan cepat, sebab hampir 80 persen kandungan gambut adalah air. Penelitian gabungan antara lembaga yakni Delv Hidrolik, Belanda, Singapore-Delft Water Alliance (SDWA) dan Universitas Jambi, menunjukkan konektivitas hidrologi gambut terganggu karena fenomena subsiden. Hal ini melepas banyak karbon.
Kemudian sinaran mentari 12 jam, akan mempercepat kerusakan gambut. Studi yang dilakukan 2004-2020, menunjukkan terjadi subsiden hingga 150 sentimeter terhadap perkebunan yang dibuka periode 1992-2002. Lalu pada periode 2003-2009 subsiden sebesar 72 sentimeter. Dan, periode 2009-2020 sebesar 5 sentimeter, sehingga total seluruhnya sudah subsiden 272 sentimeter pada lahan yang sama.
Selain itu, kajian dari World Resources Institute (WRI) Indonesia menyebutkan setiap hektar gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton C02 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin. Secara keseluruhan Indonesia telah kehilangan gambut hampir 50 persen sejak tahun 1970an, karena proses dekomposisi dan subsiden.
Hal ini yang dikhawatirkan para peneliti, termasuk Aswandi. “Kalau air laut sudah masuk ke daratan, maka tidak bisa lagi digunakan untuk lahan pertanian,” katanya. Bukti jika gambut sudah rusak, tidak hanya terjadi di Desa Pematang Rahim, yakni air akan menghilang dengan cepat dan datang dengan luapan yang dapat merendam rumah.
Tanda fungsi kawasan hindrologi gambut (KHG) sudah rusak adalah fluktuasi kenaikan atau penurunan debit air sangat cepat dari maksimum ke minimum, begitu juga sebaliknya. Masuknya air laut ke daratan, selaras dengan prediksi yang disebut dalam analisis Climate Central, Inc. Analisisnya menunjukkan pada 2030 tiga kabupaten seperti Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi bagian timur tenggelam.
Tiga wilayah ini, wilayahnya didominasi gambut dalam. Selain kerusakan gambut, perubahan iklim mempercepat kenaikan muka air laut. Ketika level tahun dinaikkan pada 2050, maka air memasuki Kota Jambi. Sedangkan pada 2070 hampir semua Kota Jambi telah terendam air.
Gunakan air tanah
Pipanisasi air kepada masyarakat pesisir harus ditempuh pemerintah. Agar mereka tidak menggunakan air tahan.
Penggunaan air tanah untuk kepentingan rumah tangga di pesisir, karena sumber air gambut dan sungai tidak dapat dimanfaatkan lagi. Aswandi menegaskan penggunaan air tanah dalam waktu yang lama, juga menyebabkan subsiden atau penurun muka tanah. Dengan demikian penggunaaan air tanah, karena terjadi krisis air dapat mendorong terjadinya subsiden. Tanah di bawah turun, tanah di atas juga turun. Abdul Hamid warga Sungai Beras mengaku hampir seluruh masyarakat di pesisir menggunakan air tanah atau sumur bor untuk kebutuhan mandi dan memasak.
Untuk mendapatkan air yang layak minum, kata dia sumur bor harus menggali ratusan meter ke dalam tanah. “Sumur bor harus dalam kalau tidak airnya seperti karat, berbau dan berminyak. Sumur warga itu butuh 70 pipa. Setiap pipa panjangnya 6 meter,” kata Hamid. Total kedalam sumur bor mencapai 420 meter ke dalam tanah. Sehingga untuk pembuatannya warga harus iuran, karena menelan dana sebesar Rp30 juta.
Warga terpaksa menggunakan sumur bor karena tidak memiliki pilihan. Air sungai sudah tidak layak konsumsi, karena tercampur air laut. Sementara air gambut sangat asam. Untuk itu, dia mengaku benar-benar menjaga hutan agar sumur bor mereka tidak kekeringan air. Menurut dia, meskipun kedalaman sumur hampir setengah kilometer, pada puncak kemarau aliran air tetap tersendat. Sementara cadangan air hujan yang dimiliki sudah habis. Untuk begitu mereka terpaksa membeli air galon dengan harga Rp 15.000 sampai Rp 20.000 setiap galonnya.
Hamid menegaskan kontrol terhadap perusahaan di lahan gambut harus berpihak kepada masyarakat bawah, sehingga kebanyakan warga pesisir tidak terus menderita. Tidak hanya kesulitan secara ekonomi, bahkan air harus dibeli. Kalau terjadi kebakaran, warga juga membeli tabung oksigen, agar anak-anak aman dari penyakit ISPA. “Kami ini kalau hujan kebanjiran. Kalau musim kemarau krisis air. Kalau kebakaran beli udara (oksigen) untuk bernapas. Padahal dekat hutan,” kata Hamid.
Liputan ini hasil kolaborasi dengan Society Indonesian Science Journalis (SISJ) CNN Id Academy dan US Embassy.