Srikandi Dalam Pusaran Mata Air Terakhir di Hutan Lindung Gambut

JAMBI, KOMPAS.com Dua perempuan muda Cindy Amanda Putri (21) dan Sonia Anggraini (20) berjalan beriringan melewati jalanan berdebu yang bercampur kabut asap tipis sisa kebakaran. Sinar matahari yang menyengat, tak menyurutkan langkah kaki menuju hutan lindung gambut di Desa Pematang Rahim. Mereka hendak memeriksa tinggi muka air di dalam hutan. Dengan tongkat kayu mereka menusuk-nusuk tanah hitam, rembesan air tampak mengkilap tertampar sinar surya. Pertanda hutan gambut masih menyimpan air, meskipun puncak kemarau sedang terjadi. Raut wajahnya berubah suram, khawatir kemarau tak kunjung mereda.

Potensi kebakaran selalu ada, jika air dalam hutan mengering. Meskipun hutan lindung gambut Sungai Buluh menaungi banyak kubah gambut dengan kedalaman lebih tiga meter, tetap rentan kebakaran. “Kita ini semut melawan gajah. Kanal perusahaan itu menyedot air ketika musim kemarau,” kata Cindy di lokasi ekowisata hutan gambut Desa Pematang Rahim, Rabu (13/9/2023). Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi, luas kebakaran di Jambi 550,33 hektar. Beberapa daerah Jambi mengalami kabut asap. Total penderita inspeksi pernapasan akut (ISPA) di Kota Jambi tembus 18.939 pasien. Kejadian kekeringan dan kebakaran membuat mereka khawatir, maka Cindy dan rekannya tiga kali dalam sepekan memeriksa cadangan air hutan gambut. Titik fokus patroli mereka berada di kawasan ekowisata yang nyaris membelah hutan. Ekowisata hutan gambut bukan untuk umum, tetapi wisata minat khusus, misalnya para mahasiswa, peneliti dan pecinta lingkungan. Pendapatan dari ekowisata, kata Sonia selaku Bendara Ekowisata Hutan Desa Pematang Rahim, sangat fluktuatif.

Biaya masuk hanya dibanderol Rp 5.000 setiap orang, tapi pendapatan dari pemandu dan penginapan (home stay) disisihkan untuk biaya perawatan dan patroli. Sedangkan, biaya pemasangan sekat kanal sekitar Rp 60 juta per unit.  “Kita tidak mampu bangun sekat kanal. Kita dorong perusahaan. Lagi pula yang punya kanal mereka,” kata Sonia. Dengan pemasangan sekat pada kanal yang masuk dalam wilayah Hutan Desa Pematang Rahim, maka kebocoran air dapat terkontrol. Dengan begitu meskipun kemarau panjang, tidak terjadi krisis air.

Cindy Sekretaris ekowisata hutan Desa Pematang Rahim saat menunjuk alat pematau tinggi muka air di lahan gambut, untuk memastikan hutan lindung gambut tak kekeringan di musim kemarau(Suwandi Kompas.com)

Krisis air memicu kebakaran

Perempuan lain dari Desa Sinarwajo bernama Nuraini Dewi (33). Semenjak kobaran api menyala di belakang kampung dan matahari berwarna merah darah. Anak-anak berselimut asap dan para lansia batuk sepanjang malam. Pemandangan mengerikan itu terjadi di rumah Dewi. Para lelaki mengeluh harus bolak-balik pulang ke rumah, sementara rambatan api terus meluas.

Dewi menawarkan diri, ingin membantu pemadaman. Banyak yang menolak karena Dewi perempuan. Tak kehabisan akal, dia menawarkan diri sebagai juru masak. Dewi menceritakan 20 hari menderita di lokasi kebakaran. Kala berada di lokasi kebakaran matanya selalu basah, perih dan dadanya sesak. “Mata selalu berair. Masker ganti lima kali dalam sehari,” kata Dewi. Sepekan di dalam hutan memang Dewi bertugas sebagai juru masak. Namun, banyak lelaki tumbang, hingga harus pulang ke rumah untuk penyembuhan. Dalam kondisi minim pasukan pemadam, angin bertiup, api menari-nari menuju tempat Dewi berdiam. Dengan cekatan, dia dan rekannya menghidupkan mesin pompa air.

Tangan mungilnya memegangi selang air dan memadamkan api yang hendak melahap dirinya. “Itu pengalaman paling menakutkan ketika memadamkan api,” kata Dewi di rumahnya. Usai peristiwa mengerikan itu berlalu, tahun berikutnya Dewi bergabung ke dalam masyarakat peduli api (MPA) Desa Sinarwajo. Tugasnya berkeliling ketika musim kemarau. Lokasi pemeriksaan pertama adalah lahan warga yang berada dekat dengan hutan. Matahari sampai merah. Jarak pandang ketika di hutan hanya 2-3 meter.

Ketika angin kencang, asap tebal dan api akan muncul dari dalam gambut. Ketika patroli pada titik-titik gambut kering, Dewi pergi ke lahan-lahan warga yang berbatasan hutan untuk melakukan sosialisasi. Apabila lahan gambut itu kering, maka dia menasehati pemilik lahan agar tidak membuat api. “Sejak kebakaran 2019 sampai sekarang, kita rutin patroli di musim kemarau. Minggu ini kita kembali mengadakan pertemuan, bahas pembagian jadwal patroli karena karena sudah hampir tiga hari tidak turun hujan,” kata perempuan yang sehari-hari menjadi guru di sekolah dasar. Patroli itu biasanya satu kelompok dua orang, setiap hari dan terus tanpa henti. Untuk semua hutan dan wilayah gambut kering maka didatangi. Awalnya berangkat menggunakan motor tetapi untuk masuk hutan harus berjalan kaki. Pada lahan yang dijejali pinang, kopi dan sawit, Dewi berdiam lama. Tongkatnya menusuk gambut dalam-dalam. Tak ada tanda-tanda air yang melekat pada tongkat.  

Dia kembali menghela napas panjang. Dia memakai masker di bawah sinar mentari yang terik. Dengan cekatan dia menerabas kebun, meliuk di antara rimbun pohon kopi liberika. Dia menyampaikan pesan kepada pemilik kebun, lahannya sudah mulai kekeringan.

Apabila tidak ada sumber air yang bisa diakses untuk pembasahan, kata Dewi, sebaiknya mengurangi aktivitas di kebun yang berpotensi memicu kebakaran. Terkadang petani tidak menyadari kondisi gambut kering, maka tugasnya mengingatkan. Keinginan kuat dari Dewi sebagai penjaga hutan, agar peristiwa kebakaran pada 2019 tidak berulang. Secara langsung kebakaran membunuh pohon-pohon. Butuh puluhan tahun agar kembali pada kondisi semula. Tidak hanya itu, kebakaran menyita waktu para lelaki, karena sibuk memadamkan api, sehingga terpaksa para perempuan yang mengurus kebun. Selain itu, anak-anak dan lansia banyak menderita inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Memang tidak ada yang meninggal karena itu, tetapi seorang lelaki meninggal karena lahannya habis terbakar. Petani itu meninggal karena gagal jantung, setelah menyaksikan tiga hektar kebun miliknya habis dilumat api dalam semalam.

Ekonomi alternatif

Mariyati (40) mengamini ucapan Dewi. Baginya kekeringan di lahan gambut sangat menyiksa para petani, terutama perempuan. “Kemarau sebulan itu rasa setahun,” kata Mariyati. Perempuan ketika musim kering terpukul dua kali dibanding lelaki. Ketika musim tanpa hujan, sumur kering, maka perempuan akan berjalan kaki 2-3 kilometer untuk mengambil air. Selain itu, lelaki pada musim kebakaran lebih banyak di dalam hutan, turut memadamkan api. Perempuan di rumah sendirian, mengurus anak, mencari air dan harus bekerja mengurusi kebun. “Kebun kalau tidak diurus, tidak menghasilkan. Suami harus madamkan api. Jadi perempuan mengambil peran suami,” kata Mariyati.

Penderitaan akan semakin bertambah jika anak ada yang sakit, maka perempuan harus berjaga sepanjang malam. Tidur paling banyak itu dua jam. Selebihnya mengurusi anak dan bekerja di kebun pada siangnya. Mariyati mendukung suaminya untuk menanam kopi dan pinang. Memang penghasilannya tidak sebanyak sawit, tetapi sangat aman di musim kemarau. Apabila suami sedang tidak bisa bekerja saat musim kemarau, maka isteri bisa memanen pinang dan kopi. “Kita perempuan mana bisa panen sawit. Berat. Kalau kopi dan pinang, panennya mudah, lebih berkelanjutan dan aman dari kebakaran,” kata Mariyati.

Tanaman kopi liberika, kata Mariyati memang cocok hidup di lahan gambut. Hidupnya tidak membutuhkan banyak air. Berbeda dengan sawit, agar tetap hidup dia harus menyerap banyak air, dan lahannya harus dikeringkan dengan sistem kanalisasi.

Warga tidak pernah melakukan kanalisasi dengan lebar dan kedalaman lebih dari dua meter. Kebanyakan itu warga menggunakan kearifan lokal bernama parit cacing. Parit cacing itu saluran dengan kedalaman dan lebar kurang dari satu meter, fungsinya untuk sirkulasi air, agar ketika air laut pasang tidak merendam tanaman.

Sementara perusahaan selalu melakukan kanalisasi, sehingga lahan kekeringan ketika musim kemarau. Kanal mereka lebarnya 2-3 meter dan sangat dalam. “Kita itu orang dewasa bisa tenggelam,” kata Mariyati. Eksploitasi lahan gambut telah mengeringkan air secara alami, sehingga ratusan hektar lahan pertanian di Desa Sinarwajo, telah hilang berganti pinang, kopi dan sawit. “10 tahun lalu warga masih menanam padi. Sekarang tidak ada lagi, karena kering tidak ada air,” katanya.

Sementara itu, Dinda Novitasari perempuan di Desa Sungai Beras berkisah ketika musim kemarau turut khawatir. Ibu dan ayahnya harus pergi ke hutan untuk menjaga hutan tetap basah dan tidak muncul titik api. Dia sebenarnya ingin pergi bersama mereka, tetapi tugasnya sebagai bidan desa harus merawat anak-anak ketika terjadi kebakaran. Ketika kebakaran di Desa Sinarwajo, anak-anak di Sungai Beras banyak menderita ISPA. Lebih dari 50 kasus setiap hari.

Bahkan bayi baru lahir, meninggal dunia. “Orangtuanya tak sempat kasih nama,” kata Dinda.

Sementara itu, Abdul Hamid, warga Desa Sungai Beras, seorang perambah yang bertobat menuturkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap lahan dan menghindari eksploitasi gambut, maka dia menghimpun warga untuk membuat piring Upe Pinang.

Piring ini untuk acara seremonial pemerintah maupun masyarakat. Bentuknya bundar selebar piring yang berfungsi pengganti piring. Bahan bakunya dari kelompak daun pinang. Produksi dari pagi sampai malam yang dikerjakan 4-5 orang. Kelompok warga yang menginisiasi ekonomi alternatif ini dapat memproduksi 150 piring setiap hari dengan harga Rp3.000 per unit. Total pesanan pada momen tertentu bisa tembus 1.000-1.500 piring. Kalau pesanan harian itu sekitar 200-300 dari acara pengantin dan pengajian.

“Pesanan dari acara pengantin dan ibu-ibu PKK juga sering pesan,” kata Hamid. Dia menyadari sebagai mantan perambah, warga yang hidup sekitar hutan harus memutar otak agar tidak bergantung dengan hutan gambut. Produksi piring Upe Pinang, telah menjadi andalan, tetapi kendalanya terbatas pada alat masih terbatas.

“Kalau pesanan banyak kita kewalahan. Kalau alatnya banyak, tentu kita bisa produksi dengan jumlah yang banyak dalam waktu singkat,” kata Hamid.

Dengan inisitatif sendiri dan dipandu Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi para perempuan dan sebagian besar warga telah menyadari penting menjaga hutan lindung gambut Sungai Buluh dari krisis air dan kebakaran. Perjuangan mereka kerap kali kandas. Sebab perusahaan dengan keinginan sendiri, mengabaikan peranan para perempuan yang kian merana.

Peluh untuk Sungai Buluh

Kesadaran para perempuan untuk menjaga hutan lindung gambut Sungai Buluh tumbuh, lantaran trauma kebakaran empat tahun lalu. Kekeringan membuat perempuan menderita.

Kabut asap telah merenggut bayi baru lahir. Bahkan kematian dini itu, sebelum ia memiliki nama. Perjuangan sekarang untuk mewariskan hutan ke anak-cucu. Untuk menemukan sumber ekonomi baru dengan agroforestry.

Peluh perempuan untuk menjaga kelestarian hutan lindung gambut Sungai Buluh. Luas hutan lindung gambut Sungai Buluh sekitar 17.476 hektar di Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung (Tanjab) Timur, Jambi.

Terletak di kesatuan hidrologi gambut (KHG) Sungai Batanghari-Mendahara. Termasuk kubah gambut dengan antara 2-6 meter. Dengan begitu penting menjaga hutan gambut tak terbakar. Tidak hanya menyelamatkan bumi dari pemanasan global, tetapi melindungi keberagaman hayati yang hidup dalam hutan gambut. Dalam kawasan ini, hidup pohon-pohon endemik bernilai konservasi tinggi. Punak (Tetrameristra glabra), meranti (Shorea), kempas (Koompassia malaccensis), rengas (Gluta rengas) dan jelutung rawa (Dyera polyphylla), ramin (Gonystylus bancanus), medang (Sizygium lacypalum), berumbung (Adina minutiflora), dan mersawa (Anisoptera costata). Dengan potensi pohon endemik ini, para perempuan turut terlibat dalam pengembangan pohon asuh sebanyak 381 batang. Setiap pohon menghasilkan uang Rp 200.000 per tahun.

Hutan lindung gambut Sungai Buluh juga rumah bagi beragam fauna dilindungi seperti macan dahan (Neofelis diardi sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), berang-berang (Lutra sumatrana), macan akar (Prionailurus bengalensis), trenggiling (Manis javanica), burung elang (Elanus caeruleus), dan cekakak hutan melayu (Actenoides concretus). Selain itu, hutan lindung gambut Sungai Buluh menunjang ekonomi warga dengan skema perhutan sosial, Hutan Desa Pematang Rahim dengan luas 1.185 hektar, Hutan Desa Sinar Wajo dengan luas 5.500 hektar, dan Hutan Desa Sungai Beras dengan luas 2.200 hektar.

Sementara perusahaan yang mengeliling hutan lindung gambut Sungai Buluh, PT Wira Karya Sakti seluas 23.993 hektar, kemudian PT Mendahara Agro Jaya Industri anak PTPN VI 3.231,95 hektar, lalu PT Kaswari Unggul seluas 10.500 hektar dan PT Indonusa Agro Mulya 10.670 hektar.

Kanalisasi dari perusahaan menjadi ancaman krisis air dan kebakaran di hutan lindung gambut Sungai Buluh.  

Sebagian besar perusahaan memang tidak mematuhi aturan restorasi gambut dengan menjaga tinggi muka air 40 sentimeter dan memasang sekat kanal, agar tata kelola air di lahan gambut, dapat disesuaikan dengan kondisi musim kemarau atau hujan. Selain ancaman krisis air, aktivitas perambah di hutan lindung gambut Sungai Buluh masih ada. Baik yang berasal dari warga lokal maupun dari luar.

Dewi bilang ketika tangan tak mampu ‘menghidupkan’ kembali pohon yang mati, maka berhentilah menebang pohon dan mengeringkan air yang mendatangkan nyala api. “Mungkin lahan yang kami jaga sedikit. Hanya sebutir pasir di tengah gurun, apabila dibanding dengan perusahaan. Tapi kami tetap akan menjaga hutan,” tutup Dewi penuh harapan.

Liputan hasil kolaborasi dengan Society Indonesian Science Journalist (SISJ), CNN Id Academy dan US Embassy.

Previous
Previous

Kala Kubah Gambut Musnah, Warga Pesisir Berada di Titik Nadir

Next
Next

Krisis Air Bersih: Industri Nikel Merusak Sungai Halmahera Tengah