Krisis Air Bersih: Industri Nikel Merusak Sungai Halmahera Tengah

Debu tebal menyelimuti ruas jalan saat saya memasuki desa Lelilef. Terpal berwarna-warni dipasang para pemilik warung dan pertokoan guna melindungi dagangan mereka dari debu yang berterbangan di mana-mana.

Sungguh miris, selain diselimuti debu tebal yang membuat mata perih, desa ini juga dilanda banjir setiap bulan. Semua ini terjadi setelah adanya ekstraksi pertambangan di hulu desa.

Perjalanan penuh debu ini melintasi empat sungai yang dulunya digunakan oleh warga Desa Lelilef sebagai sumber air, namun sekarang air sungai sudah tidak jernih lagi. Keempat sungai tersebut adalah Sungai Kobe di Dusun Lukulamo, Desa Lelilef Woebulen, Ake Jira di Dusun Trans Kobe,  Worsea  dan Sunga Ake Doma di Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Sebelum pertambangan nikel PT IWIP masuk ke Desa Lelilef di tahun 2018, air bersih masih melimpah di desa ini, dan empat sungai yang saya lewati masih digunakan sebagai sumber air utama bagi warga desa.

Namun, saat ini, pemandangan air di desa tersebut sangat memprihatinkan. Air tidak hanya tidak dapat digunakan untuk kebutuhan utama, seperti memasak dan mandi, tetapi juga telah berubah menjadi cokelat dan keruh oleh sedimentasi dari aktivitas penambangan nikel di Desa Lelilef. Keadaan ini menjadi gambaran tragis akan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh industri pertambangan yang besar di daerah ini.

Sungai Kobe tak lagi jernis. Foto : Yunita Kaunar

Debu tebal menyelimuti ruas jalan saat saya memasuki desa Lelilef. Terpal berwarna-warni dipasang para pemilik warung dan pertokoan guna melindungi dagangan mereka dari debu yang berterbangan di mana-mana.

Sungguh miris, selain diselimuti debu tebal yang membuat mata perih, desa ini juga dilanda banjir setiap bulan. Semua ini terjadi setelah adanya ekstraksi pertambangan di hulu desa.

Perjalanan penuh debu ini melintasi empat sungai yang dulunya digunakan oleh warga Desa Lelilef sebagai sumber air, namun sekarang air sungai sudah tidak jernih lagi. Keempat sungai tersebut adalah Sungai Kobe di Dusun Lukulamo, Desa Lelilef Woebulen, Ake Jira di Dusun Trans Kobe,  Worsea  dan Sunga Ake Doma di Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Sebelum pertambangan nikel PT IWIP masuk ke Desa Lelilef di tahun 2018, air bersih masih melimpah di desa ini, dan empat sungai yang saya lewati masih digunakan sebagai sumber air utama bagi warga desa.

Namun, saat ini, pemandangan air di desa tersebut sangat memprihatinkan. Air tidak hanya tidak dapat digunakan untuk kebutuhan utama, seperti memasak dan mandi, tetapi juga telah berubah menjadi cokelat dan keruh oleh sedimentasi dari aktivitas penambangan nikel di Desa Lelilef. Keadaan ini menjadi gambaran tragis akan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh industri pertambangan yang besar di daerah ini.

Anggota Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai Maloku Kie Raha Muh. Arba’in Muhmud menjelaskan, dengan adanya pembongkaran lahan di daerah hutan di Halmahera Tengah mengganggu siklus air yang sebelumnya terjaga. Air hujan tidak lagi terserap menjadi air tanah dan justru meluap menjadi banjir.

Air permukaan pun tercemar karena limah tambang yang mengendap dan mengeruhkan air sungai (sedimentasi). Jika hal ini terjadi, maka air tanah pun ikut tercemar.

“Jadi tidak ada istilah tambang tidak berpengaruh pada pencemaran.” Tegasnya.

PT IWIP tidak merespon permintaan wawancara dan sejumlah daftar pertanyaan yang saya kirim melalui surat resmi pada 28 Agustus 2023 Melaui Humas PT IWIP. Tak hanya surat resmi, sejumlah daftar pertanyaan pun dikirimkan melalui email resmi milik PT IWIP  communications@iwip.co.id, dan juga via WhatsApp.

Syafrudin (32), warga Dusun Lukulamo Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, saat ditemui di sungai Kobe, mengisahkan bahwa sebelum PT IWIP masuk di Halmahera Tengah pada tahun 2018, Desa Lelilef ini sangat sepi, hanya dipenuhi dengan hutan lebat.

Aktivitas warga hanya berkebun dan melaut, untuk akses kendaraan yang melewati Desa Lelilef ini juga sangat sedikit, dan dalam sehari mobil yang melintasi hanya 1 atau 2 saja.

Warga sekitar juga mengandalkan hasil pertanian dan juga hasil tangkap di laut. Jika mau mengambil air bersih, cukup ke suangai karena dulunya warga sekitar sungai mengandalkan air bersih dari sungai.

“Saat ini jangankan air bersih untuk minum, tapi mandi dan mencuci sudah tidak bisa, selain kotor dan banyak sampah, sungai ini penuh dengan lumpur.” Kata Syafrudin, Minggu (30/7/2023) saat ditemui kalesang.id di tepi sungai Kobe.

Lanjut Syafrudin, apalagi saat ini jika terjadi hujan, tidak membutukan waktu lama, intensitas hujan hanya dalam 30 menit hingga 1 jam, Desa Lelilef ini sudah dipenuhi dengan luapan air dari sungai Kobe dan juga Ake Jira, kedua Sungai ini saling terhubung.

Warga sekitar saat banjir melanda, mereka hanya mengandalkan air bersih dengan membeli air galon untuk digunakan mandi, minum dan juga kebutuhan lain.

“Air ini sumber utama kehidupan, jika tidak ada air, kita tidak bisa beraktivitas, awal-awal mengahadapi kejadian seperti ini kita masih sok, namun lama-kelamaan kita mulai terbiasa.” Jelasnya.

Saat ini sedang musim hujan, maka pengeluaran jadi semakin besar, karena ditambah dengan membeli air bersih. Pembelian air satu galon dijual dengan harga Rp10.000, dalam 1 rumah tangga tidak bisa membeli hanya 1 galon saja, minimal harus 5 galon atau lebih, jadi pengeluaran air bersih dalam sebulan bisa mencapai Rp300.000.


Pengakuan Syarfan yang harus rela mengeluarkan tambahan untuk air bersih tidak berlebihan. Masri Anwar, Penggiat Lingkungan yang juga merupakan warga Desa Lelilef Sawai saat dihubungi, kalesang id. Jumat (25/8/2023), mengaku setelah beroperasinya perusahaan tambang, kehidupan masyarakat dari segi ekonomi dan ekologi ikut berubah.

Masri mengungkapkan, sejak beroprasinya tiga perusakan raksasa tersebut ini, PT Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP), PT Weda Bay Nikel (WBN) dan PT Trakindo Energi, warga mulai kesulitan air bersih. Sebelum PT IWIP masuk, Desa Lelilef memiliki air yang melimpah, saat ini air bersih menjadi satu kebutuhan yang mahal dan butuh pengeluaran yang lebih besar.

Terdapat dua sungai saat ini tak lagi dikonsumsi warga, yaitu sungai Eke Doma dan  sungai Kobe. Hal ini dikarenakan kedua sungai ini tampak keruh, hitam kecoklatan. Kondisi ini terjadi diduga akibat sedimen lumpur ikut mengalir saat banjir.

“Sejak perusahaan beroperasi, air di sungai ini tak bisa lagi dikonsumsi, karena telah tercemar oleh lumpur mapun limbah rumah tangga.” Katanya.

Ahli Geologi Maluku Utara, Dedy Arif juga merupakan dosen Teknik Pertambangan Universitas Muhamadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate mengungkapkan, bahwa kondisi air sungai yang telah tercemar aktivitas pertambangan seperti di Desa Lelilef Halamahera Tengah, sangat sulit atau butuh waktu lama untuk normal kembali.

“Saya pikir jika kembali seperti semula agak berat, hal ini karena sejauh ini saya belum temukan satu suangai di area konsesi tambang yang tercemar dan bisa kembali pulih seperti kita harapkan bersama. Karena melihat sungai yang telah terkontaminasi sedimentasi tambang bakal berpengaruh pada air tanah.” Jelas Dedy.

Warna air Pam di salah satu penginapan weda Tengah kala hujan. Foto: Yunita Kaunar

Kualitas Air Sungai Kobe

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Dinas Linggkungan Hidup Provinsi Maluku Utara, Yusri Hi Noho, saat ditemui Sealasa (22/8/2023) mengaku bahwa kondisi sungai Kobe di Dusun Lukulamo Desa Lelilef Weda Tengah, memang tak dapat digunakan.

Sungai Kobe merupakan sungai terbesar di Halmahera Tengah dan tingkat pencemaran sungai ini mewakili krisis air bersih yang terjadi pasca masuknya industri nikel di jantung Maluku Utara. Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan DLH Provinsi Maluku Utara pada Juli 2023, di sungai Kobe, Dusun Dukulamo Desa Lelilef Woebulen, ditemukan kualitas air telah melampaui baku mutu.

Data ilmiah menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan akibat sedimentasi (total suspended solid/TTS) harus berada paling tidak di angka 50, namun berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan DLH Maluku Utara, TTS sungai Kobe mencapai TTS 114, ini artinya sudan melebihi angka baku mutu. Sementara untuk kandungan bakteri coliform (yang berasal dari tinja manusia ata hewan), hasil  uji laboratorim mencapai 1300 MPN/100mL, sudah melebih ambang batas, dari standar baku mutu 1000 MPN/100mL.

Sementara Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), sebuah organisasi yang konsen pada ekologi, ekonomi dan social masyarakat, menguji kualitas air di sungai Wosea untuk parameter yang berbeda. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa air di hilir sungai Wosea memiliki derajat keasaman di atas 9.

Hal ini berarti air sungai bersifat basa, cukup kuat untuk membuat karat di pipa dan juga melarutkan logam berat ke dalam air, membuatnya semakin berbahaya untuk diminum. Sifat kebasaan ini disebabkan oleh terbukanya batuan kapur dan batuan karbonat lainnya (seperti batuan karst) oleh aktivitas penggalian dan konstruksi di sisi sungai. AEER juga menemukan tingginya Cr6+ (chromium hexavalent) dalam air sungai Wasea. Logam ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kanker.

Sungai Sagea di lingkar tambang PT IWIP. Foto : Istimewa

Direktur Walhi Maluku Utara, Faisal  Ratuela mengaku, kondisi sungai di lingkar tambang, seperti sungai Kobe dan sungai Wosea, yang tak dapat lagi digunakan akibat dari adanya aktivitas perusahaan tambang.

Tambang di Halmahera Tengah Maluku utara ini merupakan Proyek Strategi Nasional, dimana telah merampah kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat  seperti di Desa Lelilef, Gemaf dan juga Sagea.

Kenapa demikian, karena Halmahera Tengah saat ini dalam kondisi rentang dan telah mencedra lingkungan yang sangat luar biasa. Faisal mengatakan, kerusakan yang terjadi di lingkar tambang ini bakal lebih parah, dengan adanya perluasan area dan penambahan smelter.

“Maka kerusakan ini tidak bisa dihindari, karena saat ini daya dukung dan daya tampung lingkungan Halmahera Tengah, sudah sangat mengkhawatirkan. Dan pemerintah daerah maupun Pemerintah Pusat, seharusnya tidak lagi memberikan ijin kepada perusahaan tambanag untuk beroperasi di Halamahera Tengah tersebut.” Cetusnya.

Penulis : Yunita Kaunar

Editor : Yunita Kaunar 

Sumber: Krisis Air Bersih: Industri Nikel Merusak Sungai Halmahera Tengah

Artikel ini merupakan karya jurnalistik dari Workshop Archipelago of Drought sebuah kolaborasi antara SISJ, CNN Id Academy dan US Embassy. 

Previous
Previous

Srikandi Dalam Pusaran Mata Air Terakhir di Hutan Lindung Gambut

Next
Next

Terancam di Sungai Musi, Beredar di Lokapasar